Prolog
Revelation: Pembukaan
Klevance
Klevance memejamkan mata, pasrah tatkala kobaran api menyambar kedua sayapnya. Panas api menyungkup bahu dan punggungnya, membuat dirinya merasakan sakit yang amat sangat tak terbayangkan.
Gadis itu menyadari hidup yang dijalaninya sedari awal hanyalah sebuah skenario yang sudah diatur dengan sangat matang oleh seseorang, sehingga dirinya harus hidup dalam penuh bahaya dan resiko di setiap harinya.
Sebagai putri tunggal berdarah campuran dari orang tua yang memiliki ras bangsa yang berbeda sekaligus penerus takhta yang akan memimpin kedua bangsa, dirinya telah berulang kali melakukan perbuatan nekat---kalau tidak mau disebut gila---Klevance selalu berteman dengan bahaya.
Hanya tingal menunggu waktu sampai keberuntungan tak lagi berpihak padanya, maka segalanya akan berakhir.
Tapi tak sekalipun Klevance mengira hidupnya akan terancam seperti ini. Di hadapan orang yang sangat berarti baginya.
“Kenapa kau tega memperlakukanku seperti ini? Kukira kau adalah orang yang paling mengerti diriku!” ucap Klevance dengan nada getir dan terisak, mencoba menerima kenyataan dirinya telah dikhianati oleh orang yang paling dia percaya.
“Karena kau begitu naif, Klevance. Dan yang lebih membuatku muak, kau mempunyai segalanya. Kau sempurna tanpa cacat! Tidak seperti diriku!” jawab seseorang yang berada di hadapan Klevance dan sedang menyaksikannya terbakar.
Panas yang menyambar sekujur tubuh Klevance kini perlahan menghilang. Segalanya menjadi kabur dan gelap. Pikirannya melayang mundur pada peristiwa enam bulan yang lalu, saat semua ini belum terjadi.
***
Enam bulan lalu, sebelum Klevance jatuh kedalam perangkap seseorang.
Warna merah pekat menodai pandangan matanya. Klevance tertegun, mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan apakah dia bermimpi atau tidak. Tapi pemandangan itu tetap tidak berubah, parit dangkal yang terbentang di hadapannya memang sewarna darah. Angin ikut mendukung dengan membawa bau amis darah ke arahnya. Klevance mual, firasat buruk menderanya.
Tapi akal sehatnya segera mengambil alih.
Pasti ada penjelasan yang masuk akal untuk ini.
Mungkin ada orang yang tak bertanggung jawab yang membuang jasad ataupun bangkai hewan ke dalam Sungai Arthur---sumber air parit ini. Mengingat betapa ceroboh dan lalainya Manusia, hal semacam ini bukannya tak mungkin terjadi.
Klevance mendesis gemas. Kalau memang ada yang mencemari sungai, dia harus menemukan sumbernya lalu melapor kepada para Bidadari dan Bidadara Penjaga Sungai.
Sungai Arthur yang mengalir membelah Hutan Aurora ---hutan yang menyambungkan dunia Bangsa Kahyangan dengan dunia Bangsa Manusia--- menopang kehidupan banyak orang. Jika airnya sampai diminum, akibatnya pasti akan buruk sekali.
Akhirnya Klevance memutuskan menyisir parit untuk menemukan sumber darah. Matahari belum terbit, tapi kegelapan dini hari tidak menganggu Klevance. Matanya---yang mampu melihat dalam kegelapan---membantu menemukan rute aman melalui jalan berlumut di tepi parit.
Saat berjalan semakin dalam ke hutan, dia menyadari darah di parit semakin pekat. Sepertinya tidak mungkin kalau sumbernya hanya dari bangkai hewan saja. Firasat buruk yang menghantuinya kembali mendera.
Aliran parit menghilang di sebuah kelokan besar yang dipenuhi rerimbunan semak kaliandra. Klevance tak bisa melihat ke balik rerimbunan, tapi dia bisa mendengar gemuruh Sungai Arthur dengan sangat jelas.
Berhati-hati memilih pijakan, Klevance berbelok dan menemukan Sungai Arthur mengalir dengan derasnya. Tapi sungai itu bersih, sama sekali tidak terlihat bekas darah yang menodai alirannya. Firasat buruknya semakin menjadi-jadi ketika menyadari betapa sunyinya tempat itu. Selain gemuruh Sungai Arthur, tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Tepat ketika Klevance berniat mendekati bibir sungai, dia merasakan kakinya menginjak genangan air. Dia melirik ke bawah dengan bingung.
Memangnya semalam Hutan Aurora dijadwalkan akan turun hujan?
Saat itulah bau amis dan anyir darah menguar semakin pekat. Sambil menelan saliva, dia menoleh ke arah tanah lapang yang membentang di sisinya. Gadis itu menjerit tertahan, mata hijau-kebiruannya terbeliak lebar.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, hanya dipisahkan semak belukar, puluhan tubuh Manusia dan Bidadari serta Bidadara Penjaga Sungai Arthur bergelimpangan. Tanah tempat mereka terkapar memerah, darah menggenang membentuk aliran panjang ke dalam parit.
Klevance mendekat untuk mengamati mayat-mayat tersebut lebih jelas dan mencari tanda-tanda kehidupan di antara banyaknya mayat yang bergeletakan. Tapi melihat banyaknya luka tusuk dan sayatan yang malang melintang di bagian vital tubuh mereka, Klevance tidak berani berharap banyak.
Saat itulah terbesit dalam benaknya, mengapa para Bidadari dan Bidadara juga ikut tertusuk dan meregang nyawa seperti para Manusia? Bukankah mereka abadi? Bagaimana bisa mereka mati begitu mengenaskan seperti ini, mereka kan kaum Kahyangan? Senjata apa yang sampai bisa melawan kehendak Dewa dan Dewi hingga mematahkan keabadian mereka? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang terbesit di benaknya.
Bidadari dan Bidadara Penjaga Sungai Arthur merupakan salah satu suku dari ras besar yang menghuni Bangsa Kahyangan di Benua Isthara. Kulit mereka sangat putih layaknya manusia albino dengan rambut pucat dan memiliki sayap berwarna putih di tubuh belakang mereka. Paras mereka sangat rupawan, sekilas mereka tampak seperti manusia normal berusia dua puluh tahunan.
Tapi sebagai gadis berdarah campuran dan merupakan anak tunggal dari ratu Bangsa Kahyangan, Klevance tentu saja tahu bahwa para Bidadari dan Bidadara itu lebih tua dari penampilannya. Bangsa Kahyangan selalu awet muda karena mereka abadi---harusnya sampai ada yang berhasil membunuh mereka---dan tidak bisa menua karena berkah dari Dewi Esther, dewi yang memberkahi keabadian dan kecantikan awet muda bagi kaum Bangsa Kahyangan. Selain itu, Bangsa Kahyangan memiliki berbagai macam kekuatan sihir yang bisa mereka kendalikan, dan sepasang sayap putih yang besar sebagai tanda khas kaum mereka.
Klevance kembali mengamati wajah para mayat yang tergeletak itu menyadari bahwa dia tidak mengenali para mayat manusia dan hanya mengenali sebagian para Bidadari dan Bidadara Penjaga Sungai Arthur.
Sebagian dari mereka bukan Bidadari dan Bidadara Penjaga Sungai Arthur yang kutahu dan aku tidak mengenali semua Manusia ini.
Lalu seseorang dari belakang tiba-tiba menepuk pundaknya pelan. Kehadirannya sama sekali tidak mengeluarkan jejak dan suara apapun yang membuat Klevance tidak menyadarinya.
Ya, Tuhan! Siapa yang menepuk pundakku? Kenapa aku tidak merasakan kehadirannya sama sekali sebelumnya?
“Tolong aku, Nak.”
Klevance memberanikan diri untuk menoleh kebelakang, kearah orang yang menepuk pundaknya. Dia mendapati seorang nenek tua dengan raut wajah yang sangat pucat berdiri di hadapannya dengan sangat gontai dan tidak berdaya.
Ini—! Manusia?
“Apa ada yang bisa kubantu, Bu?” tanya Klevance memastikan bantuan apa yang sedang nenek tua tersebut butuhkan. Kecurigaan Klevance berkurang dan dia pun sedikit melengahkan kewaspadaannya saat mengetahui yang ada di hadapannya hanya seorang manusia yang sudah tua dan rapuh.
“Tolong bantu aku bawakan kotak ini, Nak.” Nenek tua itu memberikan kotak kecil yang sedari tadi tangan ringkihnya genggam. “Dan juga, carikan aku jalan keluar dari sini. Kumohon…aku sangat takut berada di tempat ini,” lirihnya kembali.
Apa mungkin dia tersesat dalam hutan ini dan ketakutan saat melihat para mayat tersebut? Ya, sudahlah. Nenek ini sangat terlihat ketakutan, aku jadi kasihan padanya.
“Baiklah, Bu. Mari, ikuti aku.” Klevance mengambil kotak kecil tersebut dan ingin segera memandu nenek tua itu untuk keluar dari Hutan Aurora.
Namun belum sempat Klevance membalikkan badannya, nenek tua itu melakukan sesuatu pada dirinya. Dia berhasil memasuki pikiran dan memori Klevance secara tiba-tiba.
“Sial, aku lengah! Siapa kau sebenarnya?!” ujar jiwa Klevance.
Nenek tua itu tersenyum hangat kepada Klevance dan sama sekali tidak menghiraukan amarahnya.
“Tentu saja untuk membantu membangunkan jiwamu yang lain, Klevance.”
“Kau tahu namaku? Apa maksudmu mengatakan hal itu?! Membangunkan jiwa lain dalam diriku? Omong kosong macam apa itu!” desis Klevance heran.
“Kau akan tahu sebentar lagi, sayang. Sekarang yang terpenting kau harus kuat menahan kekuatanku ini.” Nenek tua itu segera mengeluarkan kekuatan yang sangat dahsyat di dalam alam pikiran Klevance dan membuat jiwanya merasakan sakit yang sangat tidak terbayangkan.
“Arrgghh!!! A—apa yang kau lakukan?!” jiwa Klevance meringis kesakitan menahan kekuatan besar itu. Sekujur tubuhnya terasa seperti dicabik-cabik oleh senjata yang sangat tajam. Dia mencoba menahannya agar tubuhnya tidak hancur karena kekuatan tersebut.
Tubuh fisik Klevance saat ini juga berguncang sangat hebat. Dia sampai mengeluarkan banyak sekali keringat hingga darah segar miliknya bercucuran keluar dari dalam hidungnya.
“Maafkan aku, sayang. Ini memang terasa menyakitkan, tapi aku jamin akan sangat membantumu kedepannya. Sekarang kau hanya perlu mengingat mengenai kotak ini. Temukan kuncinya dan dia akan membantumu,” ujar nenek tua tersebut.
Nenek tua itu segera keluar dari alam pikiran dan memori Klevance setelah selesai melakukan tugasnya.
Aku telah memberikan kekuatanku padamu, Klevance. Kau bisa menggunakannya untuk membangunkan jiwamu yang lain. Tapi aku tidak tega membiarkan dirimu mengingat rasa sakitnya. Aku telah memanipulasi ingatanmu.
Hanya ingatan mengenai kotak itu dan kuncinya juga mengenai jiwa lain dalam dirimu yang harus segera kau bangunkan yang ku tinggalkan untukmu.
Kuharap kau tidak mengecewakanku. Sampai jumpa.
Nenek tua itu dalam sekejap menghilang dari hadapan Klevance.
Klevance sontak tersadar dan kembali ke tubuh fisiknya. Saat tersadar, dia seperti orang ling-lung dan seperti telah melupakan sesuatu.
“Apa yang terjadi padaku barusan?” ujarnya bingung.
Kemudian fokus Klevance beralih pada darah yang masih mengucur dari hidungnya, “Darah—?!” Dia mengusap pelan darah tersebut dengan tangannya dan menyadari ada sebuah kotak di genggamannya. “Sebuah kotak—?” pandangan Klevance tertuju pada benda yang ada di tangannya.
Klevance mengerutkan keningnya. “Ini—!” Dia mencoba membuka kotak tersebut namun dia terpental cukup jauh setelahnya. “Kotak ini tidak bisa dibuka begitu saja?” gumam Klevance pelan dan sedikit terkejut.
Kemudian sekelibat memori yang nenek tua itu tinggalkan muncul dalam ingatan Klevance. Klevance dibuat semakin heran dengan ingatannya yang tidak lengkap tersebut.
“Hah? Kunci? Aku seperti mengingat sesuatu, tapi apa? Aneh!” desisnya heran.
“Apa-apaan ini?! Aku tidak bisa mengingat darimana asal kotak ini kudapatkan,” lanjutnya menggerutu kesal saat tidak menemukan penjelasan apapun. “Aku juga mengingat harus melakukan sesuatu pada jiwaku. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat.” Klevance semakin bingung saat memikirkan ingatan dari memorinya itu.
Otakku sepertinya bermasalah. Semua ini terlalu tiba-tiba dan mencurigakan untukku. Akan kucari tahu nanti kebenarannya karena aku juga penasaran apa yang telah terjadi dengan diriku.
“Astaga! Gara-gara kotak ini dan ingatanku yang aneh, aku jadi melupakan para mayat itu.” Klevance kembali teringat akan para mayat yang sebelumnya dia lihat.
-Bersambung-
Halo semuanya, salam kenal!!! Aku Chasalla16, author SACRIFICE :THE LADY. Hari ini, merupakan hari pertama aku menulis di aplikasi ini dan menerbitkan cerita baru bergenre fantasy, genre favorit ku^^ Semoga kalian menyukai cerita ini dan jangan sungkan untuk memberikan saran dan kritikan untukku ya^^ Terima kasih banyak kuucapkan, semoga kalian betah dan suka dengan ceritaku^^
“Tunggu sebentar,” Klevance mengerutkan keningnya. “Ini—!” Matanya menangkap keberadaan sebuah lencana yang membuat rambut di tengkuknya berdiri. “Legiun Isthara ….” Bagaimana bisa pasukan elite Bangsa Kahyangan menjadi bagian dari tubuh yang berjatuhan ini?! “Ada yang tidak beres,” batin Klevance. Manik biru-kehijauannya sekali lagi menyapu pemandangan di hadapannya. “Satu tim patroli Legiun Ishtara umumnya hanya terdiri dari lima orang, tak pernah kulihat pasukan berjumlah besar seperti ini!” Tenggorokan Klevance tercekat, dirinya merasa mual seiring kecemasan menyelimuti dirinya. Pikirannya semakin kemana-mana dan tidak fokus. Klevance bingung harus berbuat apa saat ini. Tidak mungkin untuknya melapor ke kerajaan sekarang. “Siapa yang bisa melakukan ini pada sekelompok Legiun Isthara? Bangsa Kegelapan kah? Tapi mengapa kaum Ayah menyerang kaum Ibu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua bangsa itu selama aku di asin
“Klevance, sialan! Kau selalu saja mengacaukan rencanaku! Mengapa kau harus kembali disaat-saat aku sedang melancarkan serangan?!” decak seorang pria dari kejauahan yang melihat Klevance sedang menyelamatkan sosok Lucifer di Hutan Aurora tersebut. Pria misterius itu memiliki postur tubuh besar dan kekar. Dirinya diselimuti jubah hitam yang membuat siapapun tidak bisa melihatnya dan mengetahui identitas asli pria misterius tersebut. Kini, amarah dari pria misterius itu sangatlah terasa. Aura hitam memenuhi sekujur tubuhnya. “Aku memang akan membunuhmu cepat atau lambat, Klevance. Namun, sikapmu yang selalu naif seperti itu membuatku ingin membunuhmu sekarang juga! Tapi sepertinya kau masih beruntung karena hingga detik ini, aku belum berhasil mendapatkan ‘kekuatan’ itu sepenuhnya!” Pria itu berkata dengan penuh hasrat membunuh dan mengancam. Setelah berkata seperti itu dari kejauhan, pria misterius tersebut segera pergi meninggalkan Klevance dan Lucifer di Hut
Jalan utama dipadati oleh biawak---reptilia karnivora berukuran lebih kecil dari komodo dan termasuk kadal berukuran sedang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya. Jalanan utama juga dipenuhi oleh unicorn dan burung merpati yang beterbangan kesana-kemari di langit Ibukota. Tidak sedikit pula, Bidadari atau Bidadara dan ras lain kaum Bangsa Kahyangan yang juga sibuk beterbangan dengan mengepakkan sayap mereka untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing. “Tidak ada yang berubah disini. Suasana pagi hari di Ibukota masih sama seperti dulu, ramai dan sibuk,” tukas Klevance setelah mengamati suasana yang terbentang di hadapan pandangannya. Setelah melewati jajaran biawak, unicorn dan burung merpati hingga para penduduk Ibukota Irish Bangsa Kahyangan yang sedang beterbangan di langit Ibukota, Klevance melintasi beberapa bangunan kota; berbagai lembaga yang mengatur jalannya kehidupan Bangsa Kahyangan, berbagai toko, penginapan, dan sebuah
Klevance tidak repot - repot berhenti untuk memeriksa apa Dewi Aegle dan para Healer sudah di kantor, sepagi ini kantor Wali Kota pasti masih kosong. “Aku berani bertaruh mereka pasti masih mendengkur di istana mereka,” ujar Klevance sambil tersenyum miring. Wali Kota memiliki istana sendiri dan terpisah dengan Istana Lismore, istana utama. Setiap tahun, kesibukan persiapan Festival Musim Semi selalu memengaruhi para Dewa-Dewi dan penduduk Ibukota, tidak terkecuali dengan Dewi Aegle dan para Healer. Dan saat tertekan, mereka selalu bekerja di cafe sampai larut malam, sambil minum-minum tentunya. Untunglah sejauh ini tidak ada staf yang mengeluh dengan cara kerja Dewi Aegle dan para Healer. Sisi buruknya, hampir selalu dipastikan Dewi Aegle dan para Healer pulang dalam keadaan tumbang. “Hawa nafsu dan hasrat benar-benar musuh terberat dan ternyata setiap makhluk hidup!” tukasnya sambil menggelengkan kepalany
Perut Klevance mendadak terasa dingin, dia sudah membawa pulang seorang Lucifer dari Bangsa Kegelapan dan yang lebih parahnya Lucifer itu mempunyai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang sudah lama hilang dan tidak diketahui keberadaannya oleh siapa pun. Klevance menggeleng pelan untuk menenangkan pikirannya. Perhatiannya kemudian teralih lagi ke senjata pusaka yang dibawa oleh Lucifer itu. “Aegle, apa sekarang kau bisa memberitahuku mengenai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang kau katakan tadi?” Dewi Aegle mendengus kesal mendengar ucapan Klevance yang tidak sabaran. “Hei, Klevance! Perhatianmu memang sangat mudah teralihkan ya! Tapi syukurlah tidak ada yang berubah dari dirimu selama ini.” Dewi Aegle mengembuskan napasnya dan mulai melepas perban yang dililitkan Klevance ditubuh Lucifer itu, memperlihatkan luka-luka yang tersembunyi di baliknya. “Lihat! Lucifer ini terluka sangat parah dan juga sedang sekarat. Jika kau punya hati nurani, bersabarlah menunggu
Klevance kebingungan dalam mencerna semua perkataan Dewi Aegle. “Oh, ayolah Aegle yang benar saja kau! Lalu bagaimana caranya agar Lucifer ini bisa selamat?! Akan sia-sia usahaku menyelamatkan dan membawa dirinya dari Hutan Aurora! Apa kau tahu? Aku sampai harus meninggalkan pedangku demi menyelamatkan Lucifer ini. Jadi tolonglah kau pikirkan cara lain untuk menyelamatkannya!” Dewi Aegle tersentak mendengar ucapan Klevance yang meninggalkan pedangnya di Hutan Aurora. Pedang yang biasa Klevance bawa juga benda pusaka---lebih tepatnya, senjata pusaka pertama yang berhasil diciptakan oleh Ratu Bangsa Kahyangan, ibunya, dan Raja Bangsa Kegelapan, ayahnya sebagai hadiah kelahiran Klevance. “Kau benar-benar sudah gila ya, Klevance? Bagaimana bisa kau meninggalkan pedang yang juga merupakan senjata pusaka di tengah hutan begitu saja? Bagaimana jika pedang itu ditemukan oleh orang asing dan digunakan untuk tujuan yang salah?!” Dewi Aegle mendesis kesal. “Tidak akan a
Baru saja Klevance ingin mencari udara segar di luar gudang tersebut, datanglah segerombol Healer dan Nymph yang ada di Istana Orava menghampirinya. “Ada Baginda Ratu Larissa di ruang tamu utama Istana Orava, Tuan Putri. Beliau menunggu Anda disana dan ingin segera menemui Anda, Tuan Putri Klevance,” ujar mereka serentak dan meminta Klevance agar segera datang ke ruang tamu utama Istana Orava milik Dewi Aegle untuk menemui Baginda Ratu Larissa. Betapa terkejutnya Klevance mengetahui bahwa ibunya sudah berada di kediaman Dewi Aegle untuk menemuinya. “Ah, sial! Aku pasti terlalu lama berada di Istana Orava hingga ibu sendiri yang datang menemuiku disini. Bagaimana kalau dia curiga? Apa yang harus kukatakan padanya?” Klevance bertanya-tanya sendiri di dalam benaknya. Namun dia segera memalingkan kepanikannya dan berusaha tetap tenang di hadapan para Healer dan Nymph yang ada di hadapannya. Tidak boleh ada satupun dari mereka y
Sudah kuduga ini pasti ulah Pama Jerico. Ya… siapa lagi kan? Tidak mungkin Nymph penjaga yang kutemui, bukan? Nymph itu saja tidak punya akses untuk berbicara langsung dengan ibu hingga meminta tolong diriku untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan pada ibu. Orang tua satu itu memang ya, tambah bertambah usia tambah tidak bisa diam saja mulutnya. Klevance sedikit geram dengan Paman Jerico. Tahu gitu dia tidak akan menampakkan dirinya di tengah alun-alun Ibukota dan menyapa pria tua itu saat jubahnya tersingkap sekilas. “Lama tak bertemu, Klevance,” sapa seorang pria tua yang muncul dari balik pintu utama Istana Orava. “Memang sudah lama,” jawab Klevance. “Kulihat kau terus bertambah tua hingga tidak bisa membuat mulutmu diam sejenak, Paman Jerico,” ucap Klevance sarkas. “Ya, memang dia semakin tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri,” sahut seorang pria lagi yang juga muncul secara tiba-tiba dari balik pintu utama Istana Orava