Share

Jujur

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-11-07 14:10:56

Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur.

"Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah.

"Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."

Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya.

"Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang.

"Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."

Nadia mengangguk, lantas berlalu menuju bufet ruang tengah dimana ponsel miliknya diletak di sana. Bertepatan ia pegang ponselnya ada panggilan masuk dari Devan.

"Halo, Mas ...."

"Aku jemput hari ini jam 9, bersiaplah!" pinta lelaki itu.

"Untuk apa? Aku lagi malas bepergian." Nadia menjawab dengan enggan. Terdengar hembusan napas kasar dari seberang sana.

"Kita ditunggu mama di butik untuk ngukur baju," jawabnya tenang.

"Baju apa?" tanya Nadia setengah terkejut.

"Jas dan kebaya untuk acara lamaran sekalian akad nikah. Mama bilang kalau memang aku sudah siap nikah, langsung saja nikah. Enggak usah nunggu enam bulan lagi."

"Sebentar, siapa yang lamaran dan akad nikah?" Tanya Nadia. "Jangan bilang kita, Mas," lanjut Nadia memastikan.

"Enggak! Yang nikah, upin-ipin!" jawab Devan ngasal sangking kesalnya dengan pertanyaan Nadia. "Sudah enggak sudah banyak tanya, kita ditunggu mama. Dari arisan katanya langsung ke butik. Nanti kita ketemuan di sana."

Nadia memandang Sharman yang sudah berdiri di depannya, mungkin kakaknya itu penasaran saat ia berbicara tentang pernikahan tadi. "Baiklah, aku siap-siap sekarang," sahut Nadia sebelum menutup pembicaraannya dengan Devan.

"Bukannya kemarin Devan sudah dari sini, Dik?"

"Iya, Mas. Padahal aku sudah bilang enggak mau nikah dengannya. Cuma belum sampai bilang alasanku nolak dia karena apa. Belum selesai bicaranya ada paket datang dan adiknya Mas Devan nyusul."

"Ya, sudah. Sana siap-siap, kamu ngomong saja apa adanya, misalkan dia mau terima, bisa kamu pertimbangkan, Dik ... niat baik Devan ingin menikahimu."

Nadia menggelengkan kepalanya dengan mantap. "Walaupun Mas Devan enggak mempermasalahkan. Aku enggak mau nikah dengannya."

Sharman melihat kesungguhan di pancaran mata adiknya, ia pun tak bertanya lagi. "Ya, sudah sana, siap-siaplah. Kalian bicaralah dengan baik-baik."

Nadia segera berlalu menuju ke kamarnya di lantai atas. Sharman menghampiri istrinya yang seolah meminta penjelasan pembicaraan dengan adiknya barusan.

"Devan mau datang, ngajak Nadia keluar. Sepertinya perasaan Devan benar-benar serius pada Nadia, Sayang."

"Udah kelihatan dari awal dia main kemari, Mas. Kalau Mas Devan itu, naksir sama Nadia."

"Iya, sih. Setahun yang lalu saat mampir main kemari, dia dah bilang naksir Nadia lewat pandangan pertama. Cuma, ngomongnya sambil cengégèsan Mas pikir canda saja, isengin Nadia. Dia ngomong seriusan dua bulanan yang lalu, Mas sudah mengatakan untuk bicara langsung ke Nadia. Karena dia yang akan menjalani pernikahan dengannya."

"Semoga Nadia segera menemukan kebahagiaannya, ya, Mas," lanjut Indah dengan mata berkaca, dia dan Sharman yang menemani hari-hari terpuruk Nadia delapan tahun yang lalu.

"Itu, yang selalu kita harapan dan pinta untuk Nadia, bukan? Dia menikah dan hidup bahagia dengan lelaki yang mencintainya dengan tulus."

Indah mengaminkan ucapan suaminya sembari mengusap air mata yang hendak jatuh ke pipi.

Tepat jam 09.00 mobil Devan sudah terparkir di depan rumah Sharman. Nadia segera menghampiri. Devan bergegas turun membukakan pintu dan menutup setelah Nadia duduk dengan nyaman.

"Kita pergi sebentar, Kak Ipar!" pamit Devan dengan nada bercanda melambai pada Sharman dan Indah yang mengantar mereka hingga ke depan pagar.

"Hati-hati bawa mobilnya, Van!" sahut Indah mewakili Sharman yang hanya tersenyum melihat Nadia masuk ke mobil Devan tadi, karena bisa jadi jawaban dari Nadia membuat sahabatnya itu, enggak main ke rumahnya lagi. Seperti prediksi Nadia saat bicara dengannya beberapa hari yang lalu.

🍁🍁🍁

Nadia terdiam selama perjalanan. Tak ada percakapan di antara mereka. Perempuan itu hanya melihat pemandangan sepanjang jalan dari kaca jendela. Devan sesekali meliriknya.

"Kita langsung ke Butik, atau ingin bicara dulu, Yang. Kayaknya kok kayak maksa orang untuk kawin, enggak ada aura kebahagiaan sama sekali," kelakar Devan untuk mencairkan suasana.

Nadia memandang ke arah Devan, "Kita cari tempat untuk ngobrol dulu, Mas. Di taman situ, saja." Tunjuk Nadia saat mereka hampir melewati taman kota.

Setelah memparkirkan mobilnya, Devan mengikuti Nadia yang melangkah ke pohon beringin yang cukup rindang. Ada kursi besi yang tersedia di taman, untuk mereka duduk berbicara.

"Jadi, apa yang harus kudengar sekarang. Wahai calon istriku." Devan menatap Nadia yang telah duduk tenang di sebelahnya.

"Kita sambung pembicaraan kita saat di rumah Mas Sharman kemarin, Mas Devan."

"Yang kamu bilang belum siap untuk menikah ...."

"Bukan belum siap menikah, Mas. Tapi, aku tidak mau menikah dengan Mas Devan." sahut Nadia. Deru napasnya tak beraturan karena menahan gejolak di dadanya. Rahasia tentang masa kelam dirinya, harus terungkap untuk ketiga kalinya di hadapan 3 pria yang serius ingin menikahinya.

"Alasannya?"

"Aku, wanita yang sudah ternoda. Mahkotaku sebagai perempuan terengut delapan tahun lalu."

Devan terdiam, diperhatikan air mata di wajah cantik Nadia. "Aku diperkosa karena menolak cinta temanku, di hari kelulusan sekolah." Nadia mengusap jejak airmatanya, lantas memaksakan untuk tersenyum. "Maaf, aku tidak bisa menerima Mas Devan. Aku enggak ingin, ditolak untuk ketiga kalinya saat ada pria yang serius ingin menikahiku. Makanya, kali ini aku nolak Mas Devan dulu."

"Aku akan tetap menikahimu, Nay. Aku enggak peduli masa lalumu. Bagiku, kau tetaplah wanita yang kucintai dan ingin kunikahi."

"Maaf, aku enggak bisa, Mas." Tegas Nadia menggelengkan kepalanya. "Mas Devan bisa menikah dengan gadis yang lebih baik dariku."

"Tapi, aku maunya nikah denganmu, Nadia."

"Tapi, aku enggak mau, Mas!" sentak Nadia spontan. "Maaf, bukan maksudku bicara kasar."

"Apa masalahmu sebenarnya, Nay?Aku tak mempermasalahkan yang kau katakan tadi. Kenapa kau tetap enggak mau menikah denganku."

Karena aku tak mau berkaitan dengan orang yang menghancurkan hidupku, Mas. Menikah denganmu, akan selalu berkaitan dengan Bryan karena kalian saudara. Aku enggak mau lepas kendali, menghajar adikmu itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SAHAM 50 PERSEN    Sahabat

    Bryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i

  • SAHAM 50 PERSEN    Pengecut

    Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia

  • SAHAM 50 PERSEN    Jujur

    Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."

  • SAHAM 50 PERSEN    Komitmen

    Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."

  • SAHAM 50 PERSEN    Adelia

    "Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu

  • SAHAM 50 PERSEN    Masa Lalu

    "Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status