Home / Romansa / SAHAM 50 PERSEN / Bertemu Kembali

Share

SAHAM 50 PERSEN
SAHAM 50 PERSEN
Author: Rumi Cr

Bertemu Kembali

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-11-07 14:08:01

“Maaf terlambat, Pak,” ujar Nadia. “Ada kecelakaan yang membuat macet sehingga taksi kami tidak bisa lewat.” Itu penjelasan untuk semua, tetapi Nadia memilih melihat ke Pak Yuda, bosnya.

“Tidak apa-apa.” Ayah laki-laki itu menjawab. Dia berdiri dan menyongsong Nadia.

“Kenalkan, ini klien kita, Nad.” Pak Yuda ikut berdiri. Dia mengerutkan kening melihat gestur klien mereka. “Pak Narendra dan Pak Bryan.”

Nadia tersenyum menatap wajah laki-laki paruh baya yang sudah berdiri di hadapannya itu. Buru-buru mengulurkan tangan sebagai bentuk hormatnya.

“Nadia, Pak.” Nadia menyebut nama.

Nadia kembali menyebut namanya saat laki-laki yang lebih muda, anaknya, ganti mengulurkan tangan. Tatapan terpaku seolah tak percaya dengan penglihatan membuat pria tersebut enggan melepaskan tangan Nadia.

"Bryan ..." instrupsi Pak Narendra pada putra keduanya.

“Kita mulai presentasinya sekarang, Pak?” Nadanya lebih mirip perintah daripada pertanyaan. Tanpa menunggu persetujuan Pak Yuda, Nadia membantu Mega menyiapkan bahan presentasi. Meletakkan maket yang dibuatnya di atas meja, sambil menunggu Mega menyetel in focus dan laptop.

Presentasi itu dihadiri lima orang dari pihak klien. Selain Pak Narendra dan Bryan, ada tiga orang pria lain yang kemudian gencar mengajukan pertanyaan, berbanding terbalik dengan dua orang pemilik hotel yang hanya diam menyimak. Walaupun Nadia merasakan pandangan putra kedua Pak Narendra tak lepas dari wajahnya. Dia tak ingin memandang balik, pada laki-laki itu.

Presentasi itu berlangsung sekitar dua jam. Dua jam paling lama dalam hidupnya. Nadia mengembuskan napas lega begitu basa-basi usai presentasi berakhir. Bergegas membantu Mega setelah bersalaman kembali dengan para klien itu. Membiarkan telapak tangannya kembali bersentuhan dengan laki-laki itu meskipun tidak ingin.

Sudut mata Nadia melihat laki-laki itu belum beranjak dari kursinya. Ayahnya sudah berdiri, sedang terlibat percakapan dengan Pak Yuda. Itu kesempatannya. Nadia menghampiri mereka sambil menyeret Mega yang kebingungan.

“Kami duluan, Pak.” Nadia memaksakan senyum pada Pak Yuda. Lalu menoleh kepada Pak Narendra, ayah laki-laki itu. “Permisi, Pak.”

“Nadia, Devan titip salam untukmu." Ucapan Pak Narendra membuat Nadia menyunggingkan senyum. Sungguh, andai dia tahu lebih awal siapa sejatinya sahabat kakaknya itu. Tentu ia tak akan meminta bantuan untuk merekomendasikan biro tempatnya bekerja bersaing dengan biro arsitek lainnya memenangkan tender pembangunan hotel milik keluarga Narendra.

Ada penyesalan di sana. Devan mungkin tidak pantas mendapatkan sikap kasarnya karena bukan dia yang mengiris hati Nadia dengan sembilu sampai menjadi potongan-potongan kecil. Namun itu tidak penting lagi. Nadia tidak ingin bersinggungan dengan siapa pun yang punya pertalian dengan laki-laki itu, sebaik apa pun sahabat dari kakaknya tersebut.

“Terima kasih, Pak. Nanti saya akan mengucapkan rasa terima kasih, karena rancangan dari biro kami dipilih oleh perusahaan Pak Redra."

"Sebenarnya proyek pembangunan hotel ini, dibawah naungan Petra, perusahaan milik Bryan, adik Devan. Nantinya kamu akan bekerjasama dengannya," jawaban dari Pak Narendra membuat Nadia memaksakan senyumnya pada pria yang tak ingin dijumpai di sisa umurnya itu.

Devan sudah memberitahu tentang hal ini, seminggu yang lalu. Dari sanalah Nadia mencari tahu seberapa besar perusahaan milik keluarga Narendra. Petra Jaya merupakan cabang dari perusahaan induk Adijaya pemilik beberapa hotel berbintang di Jakarta. Saat membaca profil keluarga Narendra, ingin rasanya dia menghilang supaya tidak bertatap muka dengan adik Devan, Bryan Putra Narendra.

Nadia menarik Mega meninggalkan tempat itu. Nadia mulai kekurangan oksigen dan merasa sulit bernapas.

“Mbak Nadia—” Mega yang kesulitan menyesuaikan dengan langkah Nadia yang panjang, berkata dengan ragu, “Itu dipanggil...”

Gadis ini tidak bodoh. Dia pasti sudah mencium ada yang tidak beres antara Nadia dan klien mereka, dari sikapnya yang kaku.

Nadia bukannya tidak mendengar suara laki-laki itu yang memanggil namanya, tetapi dia menulikan telinga. “Jangan hiraukan dan jangan berbalik!" Ancam Nadia mempercepat langkahnya. Begitu tiba di depan lift. Ia pun menggerutu kembali. "Ampun! kenapa lift ini, lama sekali bukanya."

Untunglah Nadia berhasil menghindari laki-laki itu. Dengan napas terengah-engah akhirnya mereka masuk ke dalam lift. Saat celah yang tersisa dari pintu lift yang bergerak menutup tidak memungkinkan Bryan memaksa masuk.

Di celah kecil itu, pandangan mereka saling mengunci. Nadia harap pesan kebencian yang matanya kirimkan dapat diterima dengan baik. Hanya saja, dia kenal dengan baik. Bagaimana watak dari pria yang mengejarnya tadi. Menyerah tidak ada dalam kamus hidupnya.

Nadia terus menarik napas panjang, tetapi tidak terasa melegakan. Tangannya spontan menyentuh dada, mencoba menutup perih yang mendadak terasa menyakitkan.

Tuhan, tolong aku. Setelah delapan tahun berlalu, kenapa Engkau pertemukan aku dengannya lagi.

.

Next...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SAHAM 50 PERSEN    Sahabat

    Bryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i

  • SAHAM 50 PERSEN    Pengecut

    Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia

  • SAHAM 50 PERSEN    Jujur

    Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."

  • SAHAM 50 PERSEN    Komitmen

    Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."

  • SAHAM 50 PERSEN    Adelia

    "Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu

  • SAHAM 50 PERSEN    Masa Lalu

    "Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status