Pria itu mengangkat daguku dengan jemarinya, hingga tatapan kami bertemu. Bisa kurasakan kehangatan di kedalaman dua manik mata pekat Mas Dareen.
Perasaan apa ini? Padahal baru ini kami sedekat sekarang.
Segera kutepis perasaan aneh itu. Aku tak boleh terperdaya pada buaya ini! Jelas saja dia bisa membuatku nyaman untuk sesaat, dia kan play boy!
"Apa kamu ingin membalas mereka?" tanya Mas Dareen menatapku dalam.
Kulempar tangannya menjauh dengan kasar.
"Udah deh, jangan modus!" Kuseka mataku yang basah lalu meninggalkannya menjauh.
"Hem. Ya sudah. Aku kan cuma menawarkan diri." Pria itu manggut-manggut.
Kan ... begitu santainya dia menanggapi situasiku. Apa namanya kalau gak modus!
"Lagian, udah aku kasih selimut juga kan? Pakae alasan gak ada penghangat!" ucapku kesal. "Jangan lupa! Mas sudah janji gak akan nyentuh aku! Itu kenapa aku mau menikah sama kamu!"
Buaya seperti dia tak boleh diberi kesempatan apalagi dilelembutin, jadi genderuwo ntar!
"Ck. Siapa suruh percaya?" Mas Dareen memiringkan senyum mengejek.
"Apa?!"
"Hem. Kamu bener-benar galak, La!" Pria itu membanting tubuhnya ke ranjang pengantin yang dipenuhi bunga melati.
"Heh! Sekarang kamu mau ngapain, Mas?!" Mataku melotot. Enak saja malah rebahan di kasurku.
Ah, ini orang. Suasana hatiku sedang sedih dan kacau malah dipancing dengan kemarahan seperti ini.
"Tidur. Capek! Oya, nyalain lagi gih, tapenya. Adekmu Qinara emang gak waras. Aku takut terpengaruh, dan menerkam apa saja yang ada di sekitarku!" ucapnya sambil memejam.
Aku mendesah. Mendengar nama Qinara, lututku rasanya kembali lemas. Kekesalan dan kesedihan dalam hati, membuatku tak punya kekuatan dan bersemangat untuk mengusir Mas Dareen. Memintanya menjauh karena kami tak mungkin berada dalam satu ranjang.
Kulangkahkan kaki mendekati tape dan kembali menyalakannya. Benar juga katanya. Bukan hanya membuat sakit memikirkan sepasang pengantin baru di kamar sebelah. Namun, lebih dari itu bisa meracuni pikiran kotor pria yang berbaring di atas ranjangku. Ah, tak akan kubiarkan itu.
Usai menyalakan musik, aku beringsut hingga menyandar dinding. Melipat kedua kaki, dan menumpu kepala di atasnya. Menatap pria yang tampaknya begitu kelelahan pulas di atas ranjangku.
"Senang menjadi kamu, Mas. Tak mencintai, tak mesti melepaskan sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu, tak punya luka hati dan tak perlu merasakan sakitnya cemburu sepertiku," lirihku. Wanita yang iri melihat posisi manusia lain.
Kuseka air mata yang jatuh lagi ke pipi. Yah, aku terus menangis meski kutahan dan tak ada suara. Sampai tubuh ini tak mampu lagi menahan lelah diikuti mata yang semakin berat ... suara musik yang mengalun lembut dari tape terdengar sayup, dan aku tertidur.
Keesokan paginya, suara gemericik air membawaku pada kesadaran. Saat mengerjap, kudapati diriku berada di atas ranjang. Lalu berusaha mengingat semua yang terjadi semalam. Dan ingat bagaimana Mas Dareen merebahkan tubuh di ranjang.
Kenapa aku ada di sini? Kenapa dia mandi?
"Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di atas ranjang dan ...." Segera kusibak selimut yang menutupi tubuh, takut kalau-kalau buaya itu berhasil modus saat aku kehilangan kesadaran.
"Huh!" Aku membuang napas lega! Pakaianku masih utuh. Melekat rapi di tempatnya.
"Kamu sudah bangun, Sayang." Mas Dareen keluar dari kamar mandi. Pria itu tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil, dan hanya mengenakan celana pendek tanpa memakai pakaian atas. Ck. Sudah semaunya sendiri di kamarku.
"Kamu ngapain Mas?"
"Hem?" Pria itu mengerutkan kening ke arahku. "Mandi. Kamu gak tau dan belom pernah lihat mandinya pria ganteng?"
Mulai deh ... nyesel aku tanya!
"Iya, aku tau. Aku gak buta! Maksudku kenapa pake keramas segala?! Nanti mereka bisa mikir yang nggak-nggak!" protesku.
"Timbang keramas doang. Omes aja yang mikir gitu. Termasuk kamu."
"Hiss!" Aku mencebik sebal. Mau gak omes gimana? Semua orang tahu, ini kan malam pertama kami.
"Sudah ah, aku mau ke masjid. Biar Papa mertua dan Papiku makin sayang," ucapnya merasa membuang banyak waktu. Sudah kuduga, dia benar-benar pencari perhatian. Apa sebenarnya tujuanmu menikahiku Mas?
Dia pasti keceplosan menyebut papa dan papinya.
"Kamu buruan mandi. Ngapain ngelamun gitu? Ya Allah itu iler." Pria itu menghardikku.
Kontan saja kuseka mulut. Takut jika ada iler beneran.
Btw, aku juga belum membahas kenapa bisa tidur di atas ranjang. Kok agak saru, ya. Aku malu Mas Dareen menganggapku wanita dengan otak mesum. Tapi kalau gak tanya, gimana kalau dia apa-apain aku, terus mengulangi lagi besok-besok?
Argh, aku jadi frustasi sendiri menghadapi pria ini.
"Hem? Masih gak mau bangun? Nunggu aku yang gendong dan mandiin?"
"Hiss." Aku mendesis dan lekas bangkit.
____________
Waktu sarapan telah tiba. Tadinya aku enggan keluar, karena harus berhadapan dengan Qinara dan Mas Dewa. Tapi Mama tak membiarkanku untuk itu.
Namun, setelah sampai di meja makan, hanya ada Nenek, Mama, Papa dan Papi mertua.
Hah? Kenapa Papi ada di sini? Apa dia ke sini untuk mengawasi Mas Dareen? Pantas saja dia begitu bersemangat pagi ini. Sebenarnya apa sih tujuan dia memanfaatkan kesialanku?
Mama tampak sibuk menata makanan, dibantu Mbak-mbak yang bekerja di rumah kami.
Aku pun segera mengambil duduk di seberang Papa.
"Selamat pagi. Wah, pagi ini cerah sekali," ucap Papinya Mas Dareen. Seolah tak terjadi apa-apa sebelum ini. Padahal baru kemarin rumah ini diterpa badai besar.
Di waktu yang sama Mas Dewa pun datang. Duduk di seberang bersebalahan dengan Papa. Aku pura-pura tak melihatnya. Meski hatiku masih berdebar hebat ketika sosok itu masuk ruangan pertama kali.
Kenapa rambutnya tak basah? Hemh. Dia pasti mengeringkannya karena tak ingin digoda. Dasar kadal!
"Jadi Dareen masih di masjid?" tanya pria paruh baya itu.
Aku mengangguk kecil menanggapinya. "Iya."
"Hem. Syukurlah. Aku tahu dia akan jadi pria baik setelah menikah." Lelaki itu menyebut begitu saja. "Apalagi bertemu gadis berkepribadian baik seperti Kalila," pujinya.
Aku hanya tersenyum. Lagi-lagi harus dengan menghindari tatapan Mas Dewa yang sedari tadi diarahkan padaku. Apa dia tak takut, kalau Mama atau pun Papa memergokinya?
Detik kemudian, kedatangan seseorang mencuri perhatian kami yang berada di meja makan.
Pak Rano, salah seorang satpam kami. Entah ada keperluan apa.
"Mas Dewa ini ponsel ketinggalan. Takut kalau ada yang penting, jadi saya antar ke sini."
"Hem? Kok ponselnya di Bapak?" tanya Papa.
"Ehm, iya. Tadi malam Mas Dewa tidur di post. Hehe. Nemenin saya katanya," jawab Pak satpam.
Apa? Dia tak tidur di kamar bareng Qinara? Apa itu artinya ... suara-suara aneh dari kamar sebelah cuma akal-akalan Qinara? Atau ada hal lain yang terjadi pada perempuan yang katanya dihamili Mas Dewa itu?
Ah, jangan-jangan benar kata Mas Dareen, aku saja yang kelewat omes!
Bersambung
Hehe kasian Dewa udah disuuszonin. Baca detail dan ikut kuisnya di WAG. π
"Ehm, iya. Tadi malam Mas Dewa tidur di post. Hehe. Nemenin saya katanya," jawab Pak satpam.Apa? Dia tak tidur di kamar bareng Qinara? Apa itu artinya ... suara-suara aneh dari kamar sebelah cuma akal-akalan Qinara? Atau ada hal lain yang terjadi pada perempuan yang katanya dihamili Mas Dewa itu?Aku yang terkejut, menatap Mas Dewa untuk melihat ekspresi pria itu. Lagi, Mas Dewa pun menatapku. Ada sebuah protes dalam tatapannya. Seolah tak terima aku menuduhnya yang tidak-tidak, seolah-olah dia tahu apa yang aku pikirkan tentangnya.Apa dia sebenarnya memang tak pernah menyentuh Qinara? Apa semalam ... Qinara sengaja memanas-manasiku agar aku sepenuhnya melepaskan Mas Dewa? Kalau begitu ... aku sudah melakukan kesalahan besar pada pria, yang namanya masih memenuhi ruang hatiku itu.Ah, nggak! Aku gak boleh lemah.Dosa dia itu guede lho! Hamilin anak orang. Dan lebih menyak
"Melihat bagaimana stamina Kalila, aku bahkan yakin dia bisa melahirkan lebih banyak dari itu." Mas Dareen menatap ke arahku. Lebih tepat menatap bagian kepala hingga kaki, hingga membuatku kikuk sendiri.Mataku menyipit ke arah Mas Dareen. Ingin sekali mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu sudah keterlaluan. Namun, justru akulah yang terkesan keterlaluan di depan semua orang. Dia kan sekarang suamiku, wajar jika bercanda demikian.'Tapi ... Apa maksud pria mesum itu sekarang? Apa dia ingin mengatakan pada semua orang bahwa kami sudah melakukannya? Dasar gila! Nggak secepat itu juga kale, Mas!'"Kamu lagi ngapain, Mas?" tanyaku dengan nada heran. Pria itu seolah tak mau berkedip menatap ke wajahku sekarang."Menatap masa depan. Gak boleh?" Mas Dareen mengangkat kedua alisnya.Aku mendesis. Tersenyum masam. Kalau cewek lain bolehlah klepek-klepek dibucinin. Tapi
"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.Kontan saja aku menatap bingung, wajahnya lalu jemarinya yang tertaut dengan jemariku erat. Aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran Mas Dareen. Apa dia ingin menyelamatkanku dari kebingungan menjawab pertanyaan Nenek? Atau dia sengaja mengejek?Ah, seenggaknya kalau memang mau bantu, ya jangan nyebut lingerie lah. Kan bisa bilang mau beli sabun, odol kek, skincare. Ck. Emang aja, otak dia mesum."Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya. Tersenyum pada semua orang, lalu tersenyum padaku.Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan? Lalu pasrah mengikutinya meninggalkan meja makan ke kamar kami.
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen," ucapnya dengan tatapan takjub.Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!Aku tergelak menahan tawa, tapi tak lama tawa itu pecah juga."Hahaha."Aku bahkan sampai lupa kalau saat ini tengah berduka. Pernikahan dengan orang yang kucintai telah gagal.Kalau dipikir, Mas Dareen selalu mengalihkan perhatianku tanpa sadar. Saat di meja makan dan tadi saat melihat pasangan pengkhianat itu terlihat mesra, di bibir kamar mereka."Ck. Sudah kuduga kamu akan tertawa seperti ini. Mana ada wanita yang bisa menolak pesona seorang Dareen?" Pria itu bangkit dari ranjang."Wokeh! Ayo kita lanjutkan
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa. [Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini] Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini. Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh? "Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. "Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur. "Pesan dari siapa? Rentenir?" "Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir
"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Lebih tepatnya terlihat tenang. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?"Oya?" Mas Dareen manggut-manggut kemudian."Huft." Pria itu meniup pelan udara dari mulutnya. Lalu berbalik tubuh menatapku.Sadar ia akan bicara padaku, aku pun menghadap Mas Dareen hingga kami saling tatap."Katakan padaku, kamu ingin bicara padanya?" tanya Mas Dareen, menatapku dalam.Aku menggeleng. Meski aslinya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Mas Dewa lakukan sampai Qinara bisa hamil? Kenapa dia bisa tiba-tiba menjalin hubungan dengan Qinara, dan sejak kapan?"Aku ulangi lagi." Mas Dareen masih menautkan tatapannya padaku. Tak berali
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku," ucapku kemudian.Tak a
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku,"