"Ehm, iya. Tadi malam Mas Dewa tidur di post. Hehe. Nemenin saya katanya," jawab Pak satpam.
Apa? Dia tak tidur di kamar bareng Qinara? Apa itu artinya ... suara-suara aneh dari kamar sebelah cuma akal-akalan Qinara? Atau ada hal lain yang terjadi pada perempuan yang katanya dihamili Mas Dewa itu?
Aku yang terkejut, menatap Mas Dewa untuk melihat ekspresi pria itu. Lagi, Mas Dewa pun menatapku. Ada sebuah protes dalam tatapannya. Seolah tak terima aku menuduhnya yang tidak-tidak, seolah-olah dia tahu apa yang aku pikirkan tentangnya.
Apa dia sebenarnya memang tak pernah menyentuh Qinara? Apa semalam ... Qinara sengaja memanas-manasiku agar aku sepenuhnya melepaskan Mas Dewa? Kalau begitu ... aku sudah melakukan kesalahan besar pada pria, yang namanya masih memenuhi ruang hatiku itu.
Ah, nggak! Aku gak boleh lemah.
Dosa dia itu guede lho! Hamilin anak orang. Dan lebih menyakitkan anak orang itu adalah adikku.
Mana bisa aku maklumin hanya karena dia tak berada di kamar Qinara semalam. Atau ternyata bukan dia yang membuat adikku bersuara seperti orang kesetaanan.
Kubuang pandangan ke arah lain. Tak ingin terlihat bahwa aku masih mengharap pria itu. Yah, aku hanya bisa berpura-pura tak mencintainya lagi.
'Kumohon ... jangan melihatku seperti itu, Mas. Bukankah sekarang ada Qinara di sisimu. Seharusnya kamu bebaskan aku dulu, baru aku bisa benar-benar bisa bebas darimu.'
"Eum, ya sudah. Saya permisi dulu." Satpam itu pamit pergi.
"Loh, sudah ke sini. Makan sekalian." Nenek meminta Pak Rano, satpam keluarga kami untuk bergabung makan.
Nenek memang sebaik itu. Memiliki kepedulian yang tinggi pada manusia lain. Bahkan ketika mereka dianggap banyak orang tak sederajat dan tak pantas berada di satu meja.
"Eum. Tidak usah, Bu. Biar saya makan bareng yang ...." Pak Jarwo mengungkap ketidak enakannya.
Ya, pasti tak enaklah. Seluruh keluarga majikannya berkumpul di sini. Dia pasti akan merasa rendah diri karena merasa bukan level.
Namun, ungkapan tak nyaman itu tertahan, karena tiba-tiba seseorang merangkulnya dari belakang.
"Sudah, Pak. Ayok kita makan bareng." Mas Dareen yang baru datang dari luar menyapa dengan ceria. Sungguh, sejak mengenalnya, aku belum pernah melihat beban di wajah itu. Dia pasti sangat beruntung!
Senyum pria tampan itu tampak menyilaukan. Cih ... pantas saja banyak wanita jatuh hati padanya. Hanya saja kenapa takdir membawa mnya padaku, yang sama sekali tak menginginkannya.
Ia kemudian mendudukkan Pak Jarwo di sebelah Mas Dewa. Kemudian bergerak, mengambil posisi duduk di sampingku.
"Halo, Sayang," sapanya padaku.
"Ah, ya." Aku menyahut kaku. Mau bagaimana juga, kami tak sedang berduaan saja di kamar. Mana bisa aku memprotesnya karena memanggil begitu.
"Ah, rambut ini kenapa tak kering juga?!" Mas Dareen menyurai rambutnya yang basah. Ck. Entah, apa maksudnya.
Aneh memang, masa iya sejak mandi subuh sampe sekarang jam tujuh rambutnya belum juga kering. Untung tak ada yang membahasnya.
Hanya Papa, Mama, dan Papi mertua yang senyum-senyum karena itu. Entah, apa yang mereka pikirkan?
Ah, bodolah! Aku harus terbiasa dengan kegilaan Mas Dareen dari sekarang. Kalau tidak aku bisa kena stroke di usia muda.
Nenek mendekat menggeser kursinya. Bisa kuliah senyum wanita tua itu melihat bagaimana Dareen membantunya membujuk Pak Jarwo duduk.
"Oya, Qinara tak keluar? Sudah lama dia tak pulang dan makan bersama," tanya Nenek pada Mama.
Iya, sedari tadi aku tak melihatnya. Dia memang tak pernah pulang. Lebih seminggu tak kudengar kabarnya, makanya aku syok saat dia datang dan ternyata hanya untuk menghancurkan pernikahanku dengan Mas Dewa. Entah, apa aku bisa memaafkannya.
Kalau boleh jujur, kali ini aku suka tak melihatnya di meja makan. Kalau perlu jangan pernah melihatnya lagi selamanya.
"Ehm, iya dia sedang kena efek hamil, Bu."
"Oh." Kali ini Nenek menyahut ketus.
"Wah, bahagia dan hangat sekali keluarga ini. Tak salah kamu memilih istri, Dareen." Papi mertua memuji.
"Ya, tentu saja."
Mas Dareen tersenyum kecil menanggapi, bahkan senyum itu terkesan misterius untukku. Kenapa ekspresinya begitu.
"Padahal baru semalam keributan terjadi."
"Haha. Ya. Kita harus cepat melupakan hal-hal buruk. Lalu berjalan menatap masa depan dengan memperbaikinya." Papa menyahut.
Tentu saja mudah bagi yang lain. Bagaimana denganku? Aku lah korban sebenarnya. Harus melepaskan pria yang aku cintai demi adikku.
"Apalagi kalau sampai tahun depan punya cucu, pasti makin ramai keluarga ini," celetuk Papa.
Mas Dewa yang tengah minum sampai terbatuk-batuk karena itu. Melihatnya, aku malah sontak tersenyum bahagia. Merasa menang, karena membuatnya cemburu dan merasakan sakit hatiku. Dia harus menyesali perbuatan buruknya.
Tapi ... ini belum seberapa dibandingkan luka yang kamu torehkan untukku dan keluargaku, Mas Dewa.
"Ya. Tentu kami akan buatkan Papa anak yang banyak!" Aku berseru. Berpura-pura bahagia di sini. Lalu melirik sekilas pada pria di seberang meja sana, yang raut wajahnya semakin tampak kecewa..
"Ya, tentu saja, Sayang. Aku berniat memiliki setidaknya enam anak supaya bisa jadi team volly!" Mas Dareen merespon cepat sambil mernagkulku. Bagus! Aku lihat wajah Mas Dewa makin menyedihkan. Rasakan itu Mas.
Mulai sekarang, bukan hanya aku yang merasakan sakitnya cemburu. Aku akan membuatnya kalian lipat sakit untukmu.
"Melihat bagaimana stamina Kalila, aku bahkan yakin dia bisa melahirkan lebih banyak dari itu." Mas Dareen menatap ke arahku. Lebih tepat menatap bagian kepala hingga kakiku.
Apa maksudnya sekarang? Apa dia ingin mengatakan pada semua orang bahwa kami sudah melakukannya? Dasar gila! Nggak secepat itu juga kale, Mas!
Bersambung
Jangan lupa malmingan kita ada kuis di WAG untuk cerita ini.๐๐๐
"Melihat bagaimana stamina Kalila, aku bahkan yakin dia bisa melahirkan lebih banyak dari itu." Mas Dareen menatap ke arahku. Lebih tepat menatap bagian kepala hingga kaki, hingga membuatku kikuk sendiri.Mataku menyipit ke arah Mas Dareen. Ingin sekali mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu sudah keterlaluan. Namun, justru akulah yang terkesan keterlaluan di depan semua orang. Dia kan sekarang suamiku, wajar jika bercanda demikian.'Tapi ... Apa maksud pria mesum itu sekarang? Apa dia ingin mengatakan pada semua orang bahwa kami sudah melakukannya? Dasar gila! Nggak secepat itu juga kale, Mas!'"Kamu lagi ngapain, Mas?" tanyaku dengan nada heran. Pria itu seolah tak mau berkedip menatap ke wajahku sekarang."Menatap masa depan. Gak boleh?" Mas Dareen mengangkat kedua alisnya.Aku mendesis. Tersenyum masam. Kalau cewek lain bolehlah klepek-klepek dibucinin. Tapi
"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.Kontan saja aku menatap bingung, wajahnya lalu jemarinya yang tertaut dengan jemariku erat. Aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran Mas Dareen. Apa dia ingin menyelamatkanku dari kebingungan menjawab pertanyaan Nenek? Atau dia sengaja mengejek?Ah, seenggaknya kalau memang mau bantu, ya jangan nyebut lingerie lah. Kan bisa bilang mau beli sabun, odol kek, skincare. Ck. Emang aja, otak dia mesum."Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya. Tersenyum pada semua orang, lalu tersenyum padaku.Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan? Lalu pasrah mengikutinya meninggalkan meja makan ke kamar kami.
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen," ucapnya dengan tatapan takjub.Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!Aku tergelak menahan tawa, tapi tak lama tawa itu pecah juga."Hahaha."Aku bahkan sampai lupa kalau saat ini tengah berduka. Pernikahan dengan orang yang kucintai telah gagal.Kalau dipikir, Mas Dareen selalu mengalihkan perhatianku tanpa sadar. Saat di meja makan dan tadi saat melihat pasangan pengkhianat itu terlihat mesra, di bibir kamar mereka."Ck. Sudah kuduga kamu akan tertawa seperti ini. Mana ada wanita yang bisa menolak pesona seorang Dareen?" Pria itu bangkit dari ranjang."Wokeh! Ayo kita lanjutkan
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa. [Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini] Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini. Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh? "Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. "Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur. "Pesan dari siapa? Rentenir?" "Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir
"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Lebih tepatnya terlihat tenang. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?"Oya?" Mas Dareen manggut-manggut kemudian."Huft." Pria itu meniup pelan udara dari mulutnya. Lalu berbalik tubuh menatapku.Sadar ia akan bicara padaku, aku pun menghadap Mas Dareen hingga kami saling tatap."Katakan padaku, kamu ingin bicara padanya?" tanya Mas Dareen, menatapku dalam.Aku menggeleng. Meski aslinya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Mas Dewa lakukan sampai Qinara bisa hamil? Kenapa dia bisa tiba-tiba menjalin hubungan dengan Qinara, dan sejak kapan?"Aku ulangi lagi." Mas Dareen masih menautkan tatapannya padaku. Tak berali
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku," ucapku kemudian.Tak a
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku,"
"Ap-apa yang ...?" Ucapanku bahkan tertahan sambil memegangi bibir bekas Mas Dareen menciumnya.Ingin marah, tapi ada Mas Dewa di sini. Sangat aneh kalau aku marah dicium oleh pria yang dari kemarin sengaja kubuat tameng untuk memanas-manasi mantanku.Aku juga tak mau pernikahanku dianggap pura-pura olehnya.Tapi ....Kalau nggak marah, Mas Dareen akan merasa besar kepala karena aku membiarkannya menciumku begitu saja. Dan besok-besok pasti diulangi. Oh tidak!Ish, kenapa juga harus menciumku? Sikapnya membuatku bingung!"Pandai sekali kamu mencuri start, Dareen. Cuih!" Mas Dewa mengucap sinis. Aku tahu kini dia benar-benar terbakar!Pria itu pasti tak menyangka kalau aku akan berciuman di depannya. Sesuatu yang mematahkan pikiran Mas Dewa, bahwa aku tak mungkin bermesraan dengan suamiku karena pernikahan kami hanya pura-pura."Ah, sudahlah. Terserah kalian mau ngapain apa pedulik