"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.
Kontan saja aku menatap bingung, wajahnya lalu jemarinya yang tertaut dengan jemariku erat. Aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran Mas Dareen. Apa dia ingin menyelamatkanku dari kebingungan menjawab pertanyaan Nenek? Atau dia sengaja mengejek?
Ah, seenggaknya kalau memang mau bantu, ya jangan nyebut lingerie lah. Kan bisa bilang mau beli sabun, odol kek, skincare. Ck. Emang aja, otak dia mesum.
"Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya. Tersenyum pada semua orang, lalu tersenyum padaku.
Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan? Lalu pasrah mengikutinya meninggalkan meja makan ke kamar kami.
Aku berusaha melepas genggaman tangan suami mesumku itu, tapi ia tak membiarkannya, dan malah menggenggam lebih erat, hingg kami terus bergandengan sampai ke dalam kamar
Saat akan masuk tak sengaja netraku menangkap bayangan Mas Dewa masuk ke kamarnya. Dan Qinara menyambut dengan pakaian yang ... ah, mengesalkan. Kenapa aku harus melihat ini?
Untungnya hanya sebentar aku menatapnya, karena Mas Dareen menarik tanganku cepat masuk ke dalam kamar.
"Udah sandiwaranya. Udah di kamar. Gak ada yang lihat!" ucapku kesal. Kali ini kutarik tanganku kuat-kuat agar genggamannya lepas.
"Siapa bilang sandiwara?" seloroh Mas Dareen.
"Hah?"
"Ya, siapa bilang sandiwara? Aku serius." Pria itu mengulang ucapannya.
Duh, apa dia sudah jatuh cinta padaku? Dan ingin rumah tangga kami berjalan normal seperti pasangan pada umumnya?
Entah, kenapa aku jadi berdebar begini? Jadi ingat saat Mas Dewa dulu kali pertama menyatakan cinta padaku.
Ah, ini tak boleh dibiarkan. Aku belum tahu apa yang menjadi motif Mas Dareen mau menikahiku?
Jangan-jangan pernikahan ini cuma ajang taruhan antar orang tajir, atau ajang balas dendam keluarganya pada keluargaku seperti di novel "Bilik Lain Rumah Suamiku?" atau ada alasan lain yang lebih mengerikan ....
"Bukan sandiwara?" ceplosku lirih.
Mas Dareen mencebik. "Tak percaya?"
Pria itu merogoh ponselnya dalam saku.
Lah, kok gak sekalian membelah dadanya biar dramastis seperti di film-film? Dia kan paling bisa bucinin perempuan.
"Nih, lagi diskon kan?" Mas Dareen memperlihatkan gambar sebuah iklan dengan toko diskon besar-besaran.
"Ap-apa? Jadi yang Mas maksud bukan sandiwara adalah diskon to-ko i-ini?" Aku sampai terbata mengucapnya.
"Hem?" Pria itu menarik kepala dengan alis tertaut menatap padaku.
"Kamu pikir apa?" Pria itu meneleng memikirkan sesuatu. "Oohhh ...." Mulutnya kemudian ber-o panjang.
Lalu terkekeh seperti tengah mengejekku.
Ya Tuhan, ini memalukan sekali. Ketahuan deh, kalau aku besar kepala.
"Jadi apa yang kamu pikirkan?" tanyanya menggodaku.
Ah, pria ini beneran gak peka. Orang sudah malu, malah masih digoda. Merasa kesal, kuinjak kakinya lalu berjalan menjauh.
"Bodo!" ucapku yang kehilangan kata-kata.
"Auh!" Mas Dareen kini mengaduh kesakitan.
Rasakan itu!
Aku memang tak bisa balik mengejeknya, tapi aku bisa membuatnya merasakan sakit! Huh!
"Ah, sudahlah. Aku tak akan membalas dan memaafkanmu kali ini. Ada hal penting yang harus kita lakukan. Tak enak pada pandangan orang-orang yang sudah terlanjur mendengar rencana kita jalan berburu lingerie." Pria itu akhirnya berdiri tegak. Sambil meringis menahan sakitnya.
Sementara aku duduk di sisi ranjang dengan kesal, menyilang tangan di dada.
"Cepat bersiap! Kita harus pergi. Mumpung aku ambil cuti dari Papi. Kamu tahu kan cuti buat pria gila kerja seperti Papi bukan hal mudah."
"Apa lagi kali ini? Aku tak mau ke mana-mana!" rajukku.
"Yah, mau gimana, aku juga malas sebenarnya. Enakan juga tidur begini di kamar. Apalagi pengantin baru gini." Mas Dareen tiba-tiba membanting tubuhnya ke ranjang persis di belakangku sampai aku menoleh padanya.
"Euh ... pasti menyenangkan rasanya," ucapnya sembari memandang mesum ke arahku.
Ya Allah, ini orang! Jangan-jangan otaknya udah traveling ke mana-mana! Oh tidak!
"Oke-oke. Ayok kita pergi!" Aku segera bangkit. Mengacaukan pikirannya yang iya-iya.
Mas Dareen tersenyum penuh kemenangan. Sementara aku hanya bisa mendengkus kesal, pasrah dan selalu kalah darinya. Ya Tuhan, kapan aku menang menghadapi pria semenyebalkan dia?
Setelah bersiap, memakai pakaian tertutup. Setelan gamis motif bunga besar warna dusty ungu, dan khimar warna senada. Pakaian yang dulu pernah dibelikan Mas Dewa.
Aku terpaksa memakai pakaian ini. Karena sebelum akad, lemari
ku sudah kukosongkan dan hanya berisi pakaian yang calon suamiku belikan. Hem, aku tak bisa menolak kala itu, karena Mas Dewa pasti ingin memperlihatkan pada Mama kalau dia juga bisa membelikan pakaian dan perhiasan bagus untuk puterinya, walau dia bukan seorang Presdir.
Mas Dareen yang sedari tadi tampak bermalas-malasan di atas ranjang, segera bangkit kala melihatku mendekat.
Ia seolah terpana melihatku. Ck. Tapi aku tak terpengaruh dengan tatapannya kali ini.
Yang ada udah sempet baper, malah diejek.
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar tentang ini, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen. Jadi biarkan netizen saja yang berkomentar," ucapnya dengan tatapan takjub.
Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri menahan memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!
Bersambung
“Nenek … Nenek … Nenek …” tak hanya Kalila, satu pasukan dikerahkan mencari keberadaan sang nenek.Satu perumahan ditelusuri. Dari rumah ke rumah yang kebanyakan sepi karena menjelang siang hari. Langkah kaki yang berlari kecil seiring keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Semakin lama kaki terasa berat melangkah.Kecuali Kalila yang pasca melahirkan, dia hanya berjalan santai menyusuri gang rumahnya saja, sementara yang lain berjalan ke arah gang sebelah. Gang demi gang ditelusuri Qinara, dewa dan Dareen. Pastinya capek dan sangat melelahkan.Entah terlintas begitu saja di kepala Kalila, pikiran tentang seseorang yang tinggal di depan perumahannya. Kontan wanita berhijab ceruty itu mendekati suaminya yang hanya tiga meter darinya.“Mas, bisa bawa mobil? Antarin aku ke depan sekarang,’ titah wanita itu.“Buat apa?” tanya
Rasa kantuk menghadang membuat Kalila tak kuat membuka lebar kelopak matanya. Kedua matanya terasa berat sekali, dua lengannya terasa lemas seolah hawa dingin menyerang tubuhnya hingga rasanya ingin sekali rebahan. Malam yang melelahkan hingga akhirnya wanita itu memejamkan mata sesaat.“Kalila! Kalila!” Seorang wanita yang tak asing memanggilnya.“Eh …” Kalila membuka mata dengan lilir melihat siapa wanita yang menepuknya sedari tadi.“Bayimu! Zubair” Mama menepuk lengannya berkali-kali dengan menautkan dua alisnya.Mendengar nama bayinya langsung melebarkan mata sempurna. Ingat kalau dirinya tengah menyusui putranya hingga tidur tertunduk. Tak menyadari Zubair di pangkuannya.“Zubair!” Kontan Kalila menegakkan tubuhnya sembari kepalanya menunduk untuk melihat putranya.Ternyata Zubair ketindihan tubuh b
“Duh, kenapa gak diangkat lagi. Astaghfirullah … sabarkan yaa Allah.” Kalila melipat dua bibirnya sembari memainkan dua jempol tangannya. Terlihat kecemasan di raut wajahnya.Jam dinding menunjukkan jam 5 lebih di sore hari menjelang maghrib. Angin sepoi-sepoi menembus jendela kamar wanita itu.Bayi Zubair yang sedari tadi terlelap, tiba-tiba saja menangis begitu saja. Kalila spontan terhenyak dari lamunannya. Tak tega mengdengar bayinya yang bersuara lebih kencang. Dia akhirnya mendekati box bayi, menggendongnya perlahan. Wanita itu merebahkan bokongnya sembari memangku lembut sang bayi yang akhirnya terdia. Mengeluarkan jusur jitu asi favorit putranya.“Kemana kabar abamu sayang,” gumam Kalila sembari mengecup kening putranya.Sejak tadi malam hingga sekarang Dareen susah dihubungi. Lebih tepatnya jarang menghubungi Kalila hingga sekarang. Terakhir kabar dari Dareen h
Dareen berbalik arah dan meraih handuk yang menggantung di samping kamar mandi. Digulung-gulungnya ke telapak tangan kanannya. Kemudian pria itu berbalik arah. Dan dengan cepat mendorong kuat lengan kiri wanita itu hingga menabrak dinding.Ini satu-satu cara agar menyentuhnya tanpa tersentuh. Dareen sangat memahami bahwa haramnya menyentuh yang bukan mahramnya. Bahkan Hadost riwayat Thobroruni menjelaskan kalau ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.“Argh!” Wanita blesteran merintih kesakitan kala lengannya mendapat tekanan kuat dari sang pria di depannya.Mata elang pria itu menyorot tajam seolah kemarahan berkobar di sepasang netranya. Sementara Clara menelan saliva sembari membalas tatapan Dareen dengan berani meski masih terlihat aura ketakutan di matanya.Pandangan Dareen beralih pada tangan kanan wanita di hadapannya itu tengah merogoh sesuatu. Pria i
“Mari kita mulai. Mana kontrak baru kalian. Aku mau baca. Hem.” Mr. Richard menaikkan dua alisnya.Dareen melirik Dewa, mengkodenya untuk menaruh berkas map yang sedari tadi dibawanya.Meja makan yang awalnya penuh dengan piring dan gelas, kini kosong melompong. Pelayan wanita itu sebelumnya telah sepenuhnya membereskannya. Wajar, Dewa segera menunjukkan berkas itu tanpa sungkan.Dareen menyandarkan punggungnya sambil menyilangkan dua tangannya ke dada. “Silahkan. Nyambi ngopi juga bisa. Saya panggilkan, Hahaha …” Pria itu mencoba berkelakar mencairkan suasana. Dia tersenyum percaya diri.Begitulah Dareen cara meyakinkan lawan mainnya. Kata-katanya yang seolah membuatnya tebar pesona, sikap percaya dirinya juga turut jadi daya tarik yang tentu menjadi poin penting dalam berbisnis. Karakter pria yang satu ini memang kharismatik.“Hihihi … Mas Dareen itu yang kusuka darimu.” Clara terkekeh sembari men
“Mana anaknya daddy?” Wajah Dareen terlihat jelas di layar ponsel Kalila.“Lama-lama jadi sugar daddy? Udah ah! Aba aja oke, lebih alim. ” Kalila membujuk dengan mengedipkan mata genit.“Oppa gimana?” Pria itu mengedikkan dua alisnya. “Oppa Dareen Sarange … hahaha …” Dia bertingkah cute dengan suara dimiripin emak-emak yang kesemsem sama actor korea.“ Hahahaha … Mas ihh.” Kalila terpingkal-pingkal dengan tingkah konyol suaminya.Video call yang dari beberapa menit lalu, pagi ini hanya membahas panggilan nama orangtua untuk Kalila dan Dareen.“Appa Amma gimana?” Kalila mengedikkan alisnya sembari melayangkan senyuman manis.“Aa … Aa …” Suara bayi terdengar bangun dari arah belakang wanita itu. kontan Kalila terhenyak dan menoleh ke belakang.“Masya Allah, anaknya jawab tuh.” Mata Dareen berbinar kala Kalil