"Melihat bagaimana stamina Kalila, aku bahkan yakin dia bisa melahirkan lebih banyak dari itu." Mas Dareen menatap ke arahku. Lebih tepat menatap bagian kepala hingga kaki, hingga membuatku kikuk sendiri.
Mataku menyipit ke arah Mas Dareen. Ingin sekali mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu sudah keterlaluan. Namun, justru akulah yang terkesan keterlaluan di depan semua orang. Dia kan sekarang suamiku, wajar jika bercanda demikian.
'Tapi ... Apa maksud pria mesum itu sekarang? Apa dia ingin mengatakan pada semua orang bahwa kami sudah melakukannya? Dasar gila! Nggak secepat itu juga kale, Mas!'
"Kamu lagi ngapain, Mas?" tanyaku dengan nada heran. Pria itu seolah tak mau berkedip menatap ke wajahku sekarang.
"Menatap masa depan. Gak boleh?" Mas Dareen mengangkat kedua alisnya.
Aku mendesis. Tersenyum masam. Kalau cewek lain bolehlah klepek-klepek dibucinin. Tapi aku? Yang ada pengen muntah!
"Uhuk, uhuk." Mas Dewa kembali batuk-batuk. Pak Rano cepat menuang air putih ke gelas dan memberikannya pada pria itu.
"Minum, Mas."
"Oh ya, terimakasih, Pak." Mas Dewa mengucap ramah dan santun. Seperti biasa. Sesuatu yang menjadi satu sebab yang membuatku jatuh hati padanya.
Duh, kasihan sekali dia pasti panas mendengar gombalan suami dadakanku. Untuk satu hal ini aku menyukainya. Sangat menyukainya.
'Kamu harus membiasakan semua ini, Mas. Sama halnya aku yang juga harus membiasakan diri melepasmu untuk Qinara, dan agar bisa move on darimu.'
"Duh, so sweet banget sih, kamu Dareen ...," puji Mama. Iyalah, so sweet. Dia kan anak orang kaya, coba aja nggak!
Berkali-kali Mama memintaku mempertimbangkan hubunganku dengan Mas Dewa, entah ada saja alasannya. Tapi ... setelah obrolan panjang dengan wanita paruh baya itu, satu hal yang bisa kutahu, bahwa karena Mas Dewa bukan orang kaya.
Ya. Dia hanya pegawai yang kebetulan punya jabatan bagus di perusahaan. Jelas beda level seperti Mas Dareen yang keluarganya pemilik perusahaan. Dan sekarang, mendapati Mas Dareen yang tajir melintir menjadi menantunya, pasti Mama sangat bahagia.
Atau sebaliknya? Apa jangan-jangan Mama ingin menghukum Mas Dewa atas kekacauan semalam?
Di sini ... di meja makan ini, Mas Dareen lah raja yang menjadi pusat perhatian dan banyak dipuji semua orang. Berbeda dengan Mas Dewa. Dia sendiri, tak ada istrinya di sampingnya, tak ada papinya yang kaya seperti Mas Dareen. Ck. Kenapa aku jadi kasihan padanya?
"Em, saya harus mempersiapkan sesuatu." Mas Dewa bicara sambil mengusap mulutnya. Kini semua orang beralih perhatian padanya. "Saya duluan." Pria itu kemudian bangkit.
"Ahm, ya." Papa menyahut ragu.
"Wah, sayang sekali. Padahal kita belum sempat ngbrol." Papi mertuaku, yang terkenal berkepribadian supel terlihat kecewa.
Entah, apa dia tak memahami posisi Mas Dewa. Atau tak punya empati. Pernikahan kami batal, dan calon istri Dewa sekarang adalah menantunya. Menikah dengan Dareen. Siapa yang kuat ada di posisinya? Atau ... posisiku?
Atau memang niatnya ingin memperbaiki keadaan? Tak ingin masalah ini berlarut-larut. Ah, entahlah. Kalau iya, orang-orang tua itu terlalu memaksa.
Mas Dewa tak kuat rupanya hingga perlu pergi. Yah, mungkin dia sadar. Baper atas pujian Mama ke Mas Dareen. Dia pasti langsung ingat bagaimana dulu Mama menanyakan padanya, apa yang dimiliki sampai berani meminangku? Jika sekarang membandingkan diri dari harta, jelas dia insecure pada Mas Dareen.
Pria itu berjalan gontai, meninggalkan meja makan dan tatapan semua orang yang memandangnya dengan tak nyaman.
"Apa aku salah bicara?" tanya Mas Dareen.
Aku menghela panjang. Lalu melirik pada Mama tak suka. Wanita itu menggedikkan bahu seolah-olah aku tak tahu apa yang tersembunyi dalam hatinya.
"Kalila harus ke kamar sekarang." Aku bangkit. Lalu pergi begitu saja.
Entahlah, hatiku sakit melihat sikap Mama. Bolehlah menghukum Mas Dewa karena kesalahannya, tapi jangan membandingkannya dengan Mas Dareen karena harta. Aku tak suka. Itu hal keji menurutku. Apa dia seorang kapitalis, yang menjual anaknya demi keuntungan?
"Kamu mau ke mana?" Nenek menatapku dengan bingung.
"Ehm, itu Nek ... aku ...." Duh, malah sekarang bingung cari alasan apa.
"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.
"Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya.
Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan?
Bersambung
Dari sini udah mulai ketahuan, ya sifat-sifatnya. Udah ada yang pindah ke hati Mas Dewa? Uhuk.
"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.Kontan saja aku menatap bingung, wajahnya lalu jemarinya yang tertaut dengan jemariku erat. Aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran Mas Dareen. Apa dia ingin menyelamatkanku dari kebingungan menjawab pertanyaan Nenek? Atau dia sengaja mengejek?Ah, seenggaknya kalau memang mau bantu, ya jangan nyebut lingerie lah. Kan bisa bilang mau beli sabun, odol kek, skincare. Ck. Emang aja, otak dia mesum."Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya. Tersenyum pada semua orang, lalu tersenyum padaku.Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan? Lalu pasrah mengikutinya meninggalkan meja makan ke kamar kami.
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen," ucapnya dengan tatapan takjub.Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!Aku tergelak menahan tawa, tapi tak lama tawa itu pecah juga."Hahaha."Aku bahkan sampai lupa kalau saat ini tengah berduka. Pernikahan dengan orang yang kucintai telah gagal.Kalau dipikir, Mas Dareen selalu mengalihkan perhatianku tanpa sadar. Saat di meja makan dan tadi saat melihat pasangan pengkhianat itu terlihat mesra, di bibir kamar mereka."Ck. Sudah kuduga kamu akan tertawa seperti ini. Mana ada wanita yang bisa menolak pesona seorang Dareen?" Pria itu bangkit dari ranjang."Wokeh! Ayo kita lanjutkan
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa. [Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini] Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini. Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh? "Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. "Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur. "Pesan dari siapa? Rentenir?" "Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir
"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Lebih tepatnya terlihat tenang. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?"Oya?" Mas Dareen manggut-manggut kemudian."Huft." Pria itu meniup pelan udara dari mulutnya. Lalu berbalik tubuh menatapku.Sadar ia akan bicara padaku, aku pun menghadap Mas Dareen hingga kami saling tatap."Katakan padaku, kamu ingin bicara padanya?" tanya Mas Dareen, menatapku dalam.Aku menggeleng. Meski aslinya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Mas Dewa lakukan sampai Qinara bisa hamil? Kenapa dia bisa tiba-tiba menjalin hubungan dengan Qinara, dan sejak kapan?"Aku ulangi lagi." Mas Dareen masih menautkan tatapannya padaku. Tak berali
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku," ucapku kemudian.Tak a
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku,"
"Ap-apa yang ...?" Ucapanku bahkan tertahan sambil memegangi bibir bekas Mas Dareen menciumnya.Ingin marah, tapi ada Mas Dewa di sini. Sangat aneh kalau aku marah dicium oleh pria yang dari kemarin sengaja kubuat tameng untuk memanas-manasi mantanku.Aku juga tak mau pernikahanku dianggap pura-pura olehnya.Tapi ....Kalau nggak marah, Mas Dareen akan merasa besar kepala karena aku membiarkannya menciumku begitu saja. Dan besok-besok pasti diulangi. Oh tidak!Ish, kenapa juga harus menciumku? Sikapnya membuatku bingung!"Pandai sekali kamu mencuri start, Dareen. Cuih!" Mas Dewa mengucap sinis. Aku tahu kini dia benar-benar terbakar!Pria itu pasti tak menyangka kalau aku akan berciuman di depannya. Sesuatu yang mematahkan pikiran Mas Dewa, bahwa aku tak mungkin bermesraan dengan suamiku karena pernikahan kami hanya pura-pura."Ah, sudahlah. Terserah kalian mau ngapain apa pedulik
"Dareen ....""Ya, Nek?""Kamu tahu kan aku tak pernah minta apa pun pada keluargamu?" Wanita yang matanya tengah dipenuhi kaca-kaca itu, tiba-tiba mengungkit masalah pengorbanan.Sesuatu masalah yang besar sedang menimpa keluarga ini. Puteri sulung mereka harusnya menikah. Namun, adiknya tiba-tiba datang mengatakan hamil anak mempelai pria. Tentu saja orang tua mereka bukan hanya malu, tapi juga syok berat.Setelah tadi Nenek terjatuh di depan semua orang, aku segera membopongnya ke mari. Ke kamarnya.Benar yang Nenek katakan, banyak hal yang Papi tawarkan. Namun, Nenek selalu saja menolaknya."Nenek tahu kamu pria baik, karena selama ini kita dekat," katanya lagi.Aku tak menjawab. Entah, apa kemauan Nenek kali ini?"Setahu Nenek kamu tak pernah menjalin hubungan dengan gadis, Dareen." Wanita mengingatkanku pada kebiasaan.Bagaimana aku bisa menjalin hubungan dengan para gadis?Aku terlalu sibuk mengurus perusah