Share

Hus!Hus!

Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.

Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.

“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.

Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.

“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.

“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucapku padanya, “sepatu ini membuatku lebih tinggi dan tubuhku terlihat lebih berjenjang,” tambahku lagi.

“Kamu sudah lama tidak menggunakannya Kiran, nanti kamu jatuh dan ditertawakan,” jawabnya sembari memperhatikan sepatuku.

“Aku masih bisa ko pakai hak tinggi begini, coba kamu lihat aja,” aku berjalan bak model di depannya, tetapi tiba-tiba …,

“Aaaw!” tubuhku bergoyang dan hilang keseimbangan, Atha segera menangkapnya dan mendudukanku di kursi.

Tanpa berkata apapun, tangannya membuka sepatuku dan menggantinya dengan sepatu yang ia bawa, aku hanya bisa mengerucutkan bibir, rasanya sedih sekali, karena tetap saja aku akan kelihatan kurang tinggi dengan sepatu ini.

“Athaa …,” aku masih berdiam saat dia sudah melenggang ke luar.

“Apalagi?” tanya Atha yang nampak kesal dengan sikapku yang bersikeras ingin memakai sepatu itu.

“Aku tidak terlihat tinggi kalau memakai sepatu ini,” bibirku masih tidak terima, hatiku meronta ingin memakai sepatu berhak tinggi.

“Kamu bisa menginjak kakiku sebagai bantalan kalau mau terlihat tinggi,” jawabnya acuh dan berlalu.

“Athaaaaaaaa …..,” teriakku meronta.

“Cepatlah, kita sudah terlambat!"

“Benar-benar berhati baja!” gerutuku, berjalan cepat memasuki mobil.

“Besok kamu tidak perlu menjemput lagi!” sungutku padanya, Atha sama sekali tidak terganggu dan tetap fokus pada kemudinya, “kamu banyak ngatur,” sungutku lagi, membuang wajah ke samping pintu.

Atha memarkir mobilnya tepat di halaman kantor, aku turun dengan perasaan yang masih kesal, “Pulang kantor aku jemput lagi,” tiba-tiba dia berucap setelah selama perjalanan sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun.

“Terserah,” jawabku sembari menutup pintu.

“Selamat pagi Bu, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu seorang satpam, mereka pasti tahu kalau aku orang baru.

“Saya ada janji dengan Pak Haidar, apakah beliau sudah datang?”

“Sudah Bu, mari saya antar ke ruangannya,” jawabnya, sembari mempersilahkan aku untuk mengikuti.

Sedikit informasi yang kudapatkan ketika berbicara lewat panggilan seluler dengan Mas Haidar sebelumnya, perusahaan yang di pimpin oleh Mas Haidar ini adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa cleaning-service perkantoran, gedung, dan rumah, sehingga kantornya terlihat sangat bersih, nyaman dan harum, sudah seperti masuk hotel bintang 5.

Di perjalanan aku melihat ada sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka, percakapan dari keduanya terdengar sedikit keras karena suasana kantor masih sepi.

Merasa tidak asing dengan suara itu aku sengaja berhenti untuk sekedar mengecek kebenarannya.

“Sudahlah Mas, tidak perlu kamu sesali kehilangan perempuan dekil dan memalukan itu,” ucap Renata sembari duduk berputar di kursi milik Mas Irawan. Setelah kubaca papan jabatannya tertulis 'Manager Marketing'.

Aku mengernyitkan alis, kenapa Renata bisa sampai masuk ke kantor ini, setahuku dia tidak bekerja di sini, tetapi di kantor sebelah, hanya terhalang satu gedung dari kantor ini.

“Aku harus turun jabatan seperti ini, kamu kira mudah?” sungut Mas Irawan sembari membereskan peralatannya, sepertinya dia sedang bersiap-siap untuk pindah.

“Terus, kamu masih mau nyalahin aku lagi? ingat loh Mas kamu yang ngejar-ngejar aku karena istrimu bau dan tidak enak dipandang,” ucapnya lagi santai.

“Tapi bukan berarti kamu bisa mengaku-ngaku sebagai istriku seenaknya begitu dong.”

“Emang kenapa sih Mas, sebentar lagi kita akan menikah juga, meski kamu sudah turun jabatan, gajiku masih tinggi, kamu tidak akan kelabakan seperti waktu bersama Kirana, kaum rebahan yang bau bawang,” mulutnya itu, begitu mudah dia mencercaku.

Aku sungguh tidak menyangka, kalau Renata seorang pengkhianat.

“Bu, ruangan Pak Haidar di sebelah sana,” satpam itu berkata dari kejauhan.

Aku menghampirinya sebentar, “Iya Pak, terimakasih sudah mengantar, sebenarnya saya sudah berbicara dengan Pak Haidar kemarin.”

“Baik kalau begitu, saya permisi, Bu.”

Setelah berbicara dengan satpam itu aku kembali ke ruangan Mas Irawan, dan membuka pintunya.

Aku berdiri menyaksikan dua pasangan bej*t itu sedang beradu argument, “Jadi, ini yang selalu kamu lakukan di kantor Mas?” ucapku santai, melipat tangan di dada.

Mas Irawan dan Renata menatapku aneh, mungkin sedang mencoba mencerna siapa yang sedang berbicara dengan mereka.

“Kenapa Mas, apa aku begitu terlihat berbeda?” kelakarku, Mas Irawan masih menatap penampilanku dari ujung rambut sampai kaki.

Pakaianku kali ini adalah fit dress yang terlihat elegant dan anggun, apalagi dipadu dengan warna hitam dan putih di ban tangan dan bagian kerah yang membuatnya terkesan lansing dan sangat feminim.

“Tidak ada urusanmu lagi di hidupku, Kirana, keluar!” sentak Mas Irawan setelah menyadari kalau aku mantan istrinya yang ia hina-hina.

“Iya, jangan so kamu sekarang berubah, bisa seenaknya mengusik kehidupan Mas Irawan lagi. Sudahlah, tidak perlu kamu pamer-pamer pakaian hasil pinjam itu, kaum rebahan mana sanggup beli-beli baju mahal,” selorohnya dengan congkak, lalu ia berdiri dari duduknya dan menghampiri Mas Irawan.

“Untuk apa kamu masih berdiri di sini! pergi sana!” cercanya lagi.

Aku tidak mendengar ocehan mereka, berjalan lurus ke depan meja, mengusap papan nama jabatan yang terpasang di atasnya.

“Heh …! ngapain kamu pegang-pegang meja saya? jangan bilang kalau kamu menyesal meninggalkan suami seorang manager, mana ada di luar sana laki-laki yang sehebat aku akan melirikmu,” ucap Mas Irawan menghempaskan tanganku kasar dari atas papan nama itu.

Aku hanya melihat keduanya dengan seksama, “Kalian adalah pasangan yang sangat cocok,” ucapku pelan, hingga membuat Renata mengalungkan tangannya ke leher Mas irawan dan mendelik kasar padaku, “benar-benar pasangan cocok dengan moral rendahan,” lanjutku lagi sambil menggelengkan kepala.

“Kamu perempuan rendahan berani…,” tangan Renata hampir melayang di udara.

“Ada apa ini?” sentak Mas Haidar di ambang pintu, kulihat Renata segera menurunkan tangannya dan pura-pura sopan.

“Mas,” sapaku padanya.

“Kamu sudah datang Kiran? bagaimana ruangannya?” tanyanya.

“Ruangannya cukup besar Mas, tapi saya ingin mensterilkannya terlebih dulu, terlalu menumpuk sampah kotor di sini sebelumnya,” jawabku menyeringai pada mereka.

“Bagaimana bisa?” bibir Mas Irawan bergerak pelan dengan wajah pucat pasi.

“Mas …, mas …, hanya dipecat dari jabatan manager aja kamu langsung pikun. Lupa kamu, siapa aku dulu?” Gelengku, sembari mengibaskan tangan agar mereka segera keluar.

**

Hus...hus...kalian bikin alergi🤣

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
keren kirana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status