Aku tertegun, menatap sebuah surat yang ketemukan dalam sebuah kotak kecil bersama kenangan lainnya yang kusimpan rapi di dalam laci.
Tanganku bertegar membaca setiap baris kata yang tertulis.23, September 2018Untuk hatiku yang telah terbang ke sana.Bagaimana kabarmu?Sudahkah kamu bersemayam?Ah, aku malu mengatakan ini, tapi hati yang telah terbang pada mu, tidak bisa kupinta untuk kembali.Maukah kamu memberinya sedikit air agar ia bisa tumbuh, sedikit saja Kirana, agar ia tidak mati.Meskipun ia tidak sempat berbunga, tidak apa, meski pun ia sulit tumbuh, tidak apa, akan kupastikan ia bertahan.Kamu tahu aku tidak pandai berkata, apalagi bertatap muka, aku takut tidak bisa memberimu banyak cinta karena ia lebih dulu pergi meninggalkan hatiku dan memilih hatimu sebagai tempatnya beradu.Aku hampir kering Kirana, setelah sebelah hatiku memutuskan untuk pergi padamu, bisakah aku tanyakan bagaimana kabarnya di sana? IRAku menyirami hatimu setiap hari, ia subur dalam hatiku, tapi kenapa kamu malah menyiramnya denga air panas Mas, hingga layu dan mati?Air mataku berjatuhan, membuat titik hitam di setiap kata yang kamu tuliskan.IR?Mataku yang berkaca-kaca seperti menangkap nama lain yang selama ini tidak sempat kuperiksa.Nama Mas Irawan adalah Irawan Ghani harusnya I*, tapi ini IR?Aku segera menghapus genangan air mata yang menutupi penglihatan, kuseka bersih dan kulihat lagi inisial itu dengan seksama.Apakah mungkin surat ini bukan dari Mas Irawan?Hari itu? Aku kembali mengingat serpihan kenangan yang hampir terlupakan, dimana aku menerima surat ini dari seorang anak berusia sekitar 6 tahun saat ia berjalan bersama Ibunya."Kakak ambilah, ini untukmu!" Suara cemprengnya nyaring terdengar di telinga.Aku menerima sepucuk surat dengan satu tangkai bunga berwarna merah. Hatiku melonjak saat menerima itu, untaian kata yang membuatku terbuai."Kirana!" seorang lelaki melambaikan tangan dari kejauhan, saat kutengok ia ternyata adalah Mas Irawan. Lelaki yang sebulan lalu baru kukenal.Aku tersenyum manis menyambutnya, memaknai cinta yang coba ia sampaikan. Apakah mungkin selama ini aku salah orang?Ya Tuhan, sebodoh itu aku melabuhkan hatiku, tanpa memeriksa kebenarannya. Lalu, siapa yang mengirim surat ini?"Kirana, kamu di mana?" Teriakan Mas Irawan di ambang pintu, membuatku terperanjat, secepatnya memasukkan surat itu kembali ke dalam kotak dan menyeka air mata yang masih menggenang."Kirana, apa yang sedang kamu lakukan?" tangannya mencegah lenganku yang sedang menata baju di dalam koper."Lepaskan Mas, jangan sentuh aku lagi!" ucapanku membuat tangannya melerai pegangan."Baiklah Kirana, aku minta maaf!" ucapnya ketus.Aku meliriknya, melihat ia dengan seksama, wajah yang telah salah kukenali, "Apakah kamu pikir aku akan percaya dengan permintaan maafmu yang tidak tulus itu?""Apa yang kamu inginkan sekarang Kirana?" Matanya masih penuh kemarahan, kuselami kedalamnya, bertanya sesuatu yang sangat ingin kudengar, "Apakah kamu tidak menemukan sebagian hatimu dalam hatiku Mas, hingga kamu tidak mampu mencerna apa yang aku inginkan?""Hah ...! kamu sedang berbicara apa Kirana? sejak kapan hatiku ada dalam hatimu? Dari awal pernikahan kita, kamu selalu meracau tentang itu. Agar kamu paham Kirana, kukira dulu kamu akan berbeda, seorang perempuan pegawai kantoran dengan jabatan yang tinggi, cantik dan energik, tapi aku mulai kecewa saat kamu memilih melepaskan jabatanmu dan hanya jadi babu di rumahku.""Aku hanya ingin fokus melayanimu Mas, memberikan semua yang kamu butuhkan, menyiapkan segala kebutuhanmu, dan menjaga agar rumah kita nyaman untuk tempat kamu istirahat, sampai aku lupa pada diriku sendiri." Suaraku melemah, ya itulah kesalahanku, melupakan diriku sendiri."Aku mencoba menerima gaji mu yang hanya cukup untuk makan sederhana setiap hari, aku bahkan tidak mengeluh meski kamu tidak pernah mencukupi keperluanku, aku tetap membuatmu menjadi laki-laki yang dihormati oleh teman-temanmu dengan pakaian yang bersih dan rapi setiap hari, apakah kamu tidak pernah berpikir hal itu Mas?""Aku tidak peduli pada semua itu sekarang Kirana, kamu datang ke kantorku dan membuat kekacauan, kamu tahu kalau jabatanku terancam?" dongaknya begitu dekat dengan wajahku."Sungguh?" Aku pura-pura kaget dan tertegun. Lalu, kuucapkan dengan lantang, "Aku tidak peduli!" kata itu tepat kusampaikan di depan wajahnya. "Bukankah kamu sudah tidak menganggapku istrimu? apa peduliku!""Bagaimana kamu tidak peduli? kita tidak bisa membayar cicilan rumah ini dan tidak bisa makan kalau aku menjadi pengangguran Kirana!" sentaknya."Selama 2 tahun pernikahan kita, aku bahkan tidak pernah menikmati uangmu, kamu hanya memberiku sedikit uang untuk kebutuhan sehari-hari, makanan enak yang selalu dibawa ke kantormu itu, kamu kira uang dari mana? Uang yang kamu berikan mana cukup untuk membeli bahan-bahan mahal seperti itu!" Kutatap wajahnya lebih dekat, "Aku tidak peduli meski kamu harus kehilangan segalanya, karena aku sudah tidak mau bersamamu lagi!"Aku kembali menata bajuku, menutup dan menguncinya di dalam koper."Kamu mau jadi gelandangan di luar sana, Kirana?" tanyanya dengan congkak, saat aku menarik koper ke luar kamar."Aku masih perempuan cantik dan energik, sama seperti dua tahun lalu, sebelum aku salah memilihmu!" jawabku kembali melihat dirinya yang masih berdiri di samping tempat tidur.Aku mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan pada salah satu pegawai Bank Swasta.[Hallo. Bagaimana Pak, uangnya sudah bisa saya cairkan?][Sudah Bu, Ibu sudah bisa mengambilnya.][Baik Pak, terimakasih.]"Aku tidak perlu jadi gembel setelah cerai dari mu, Mas!" ucapku lantang padanya.Mas Irawan hanya terdiam, sepertinya lidahnya tiba-tiba menjadi kelu."Aku sengaja menyembunyikan tabunganku ketika masih bekerja, tadinya akan kugunakan untuk melunasi rumah ini, tapi ternyata kamu sudah menunjukkan betapa buruknya dirimu!"Wajahnya semakin memerah padam, aku melenggang meninggalkan tubuhnya yang mematung seperti tumpukan gunung es."Ada lagi barang yang mau dibawa, Bu?" supir taksi yang sudah kupesan menghampiri."Tidak ada, hanya ini saja," jawabku pelan.Supir taksi mengambil alih koper yang kubawa dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Aku menghembuskan napas berat, tidak pernah kusangka aku akan pergi dengan cara seperti ini. Pelan tanganku membuka gagang pintu mobil, namun sebelum kakiku melangkah untuk masuk.'Brugh ...!'Pintu itu ditutup kembali."Tunggu Kirana!" Tangan Mas Irawan meraih tanganku. "Jangan berpikir gegabah! Perceraian bukan hal yang mudah, kamu harus memikirkan nasibku. Selama 2 tahun ini, aku menanggung hidupmu. Bagaimana kamu bisa pergi seperti ini? Setidaknya, katakan pada Pak Haidar kalau kamu memaafkanku," suaranya memohon dan memelas."Akan kucoba pikirkan!" Leraiku, menarik tangan yang ia genggam. Rasanya, sudah tak sudi lagi tangan ini disentuh oleh Mas Irawan."Tolong Kirana," ucapnya lagi.Aku membuka pintu mobil, tangan Mas Irawan masih mencoba meraih tanganku, namun aku menolaknya kasar.'Brugh ...!'Kututup pintu mobil, hatiku terluka, ternyata apa yang kuberikan padanya selama ini, tidak ada harganya sama sekali dibanding pekerjaan dan dirinya sendiri."Berangkat Pak!"Mobil melaju, teriakan Mas Irawan terdengar samar, menghilang terbawa terpaan angin."Kirana tolong maafkan aku!""Kirana, please!"Bersambung ....Hatiku gerimis, tersiram perih yang membuatnya terluka, goresan-goresan rasa sakit yang Mas Irawan torehkan sebelumnya, ternyata bersatu menjadi luka yang besar saat ia mengatakan dengan jelas kalau aku bukanlah istrinya.Selama pernikahan kami, ia memang tidak pernah sekali pun mengucap cinta, kukira mungkin karena ia tak pandai mengungkapkan rasa. Tidak sekali pun ia memperlakukanku seperti ratu, kukira mungkin karena ia terlalu sibuk dan lelah mencari nafkah. Tidak pernah sekali pun ia bertanya, apakah aku baik-baik saja? kukira karena ia selalu dapat melihatku seperti biasa. Aku sibuk memikirkan alasan ketiadaan cinta di antara pernikahan kami agar ada alasan untukku bertahan, sedang aku lupa melihat kedalaman hatinya, apa yang ia lihat tentang cinta yang selama ini kuberikan?Dan,Jawabannya, sungguh mengejutkan. Jangankan cinta, ia bahkan tidak mengakuiku sebagai istrinya, perempuan yang ia halalkan di depan penghulu dua tahun lalu.Setelah kudengar itu, jangan lagi kamu tanyak
Malam beranjak naik, aku sangsi karena hanya berdua dengan Atha di rumah ini, takut malah jadi fitnah, hatiku sedikit gelisah, meski pun yakin tidak akan terjadi apa-apa pada kami, tetap saja rasa was-was itu ada.Sesaat kemudian kudengar suara orang sedang bercakap-cakap di lantai bawah, Atha bicara dengan siapa? aku keluar dan menengoknya, ada seorang perempuan di ruang tengah.Mungkinkah itu pacar Atha? apa yang harus kulakukan? bagaimana kalau dia salah paham saat melihatku di rumah ini?Pelan aku hendak kembali ke kamar, takut malah membuat suasana menjadi keruh, “Kirana kemarilah!” Tiba-tiba Atha melihat dan memanggilku.Sudah terlanjur terlihat, ya sudahlah, aku berjalan mendekati mereka, “Hallo Mbak Kirana, saya Talita teman kantornya Atha." Perempuan cantik itu mengulurkan tangannya.“Hallo,” jawabku ragu, jauh sekali penampilanku dengan Talita, dia terlihat cantik dan fress. Sedangkan aku? udah kucel, lemak berlebih pula.“Kalau begitu aku akan kembali, silahkan teruskan,” u
Aku memasukkan alamat rumah Anna dari kartu nama yang diberikan Mas Haidar ke google Map, dan mengikuti arahannya, tidak terlalu jauh dari sini, hanya 45 menit sudah bisa sampai.Navigasi berhenti di depan rumah mewah dan besar. Tidak salah! ini pasti rumahnya, rumah bos, wajarlah jika sebesar dan sebagus ini.Seorang satpam datang menghampiri, aku turun dan memutuskan untuk bertanya dari pada salah masuk kandang dan nggak bisa pulang? kan berabe, “Maaf Pak, apakah benar ini rumahnya Ibu Anna?” tanyaku, meski dalam hati yakin ini rumahnya.“Benar Bu, apakah Ibu mau bertemu Ibu Anna?” tanyanya balik.“Benar, tolong sampaikan kalau Kirana mau bertemu.”“Siap, Bu! saya sampaikan dulu.” Satpam itu bergegas masuk ke dalam, tak lama ia pun kembali dan membuka gerbang, aku masuk dan memarkirkan mobil di halaman rumah.Halamannya pun sangat luas, kira-kira cukup untuk menyimpan 10 mobil, dikelilingi dengan berbagai warna bunga lili yang sedang bermekaran, indah sekali.Perlahan aku berjalan m
Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan band
Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah ya
Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha