Share

Menemui Teman Lama

Hatiku gerimis, tersiram perih yang membuatnya terluka, goresan-goresan rasa sakit yang Mas Irawan torehkan sebelumnya, ternyata bersatu menjadi luka yang besar saat ia mengatakan dengan jelas kalau aku bukanlah istrinya.

Selama pernikahan kami, ia memang tidak pernah sekali pun mengucap cinta, kukira mungkin karena ia tak pandai mengungkapkan rasa. Tidak sekali pun ia memperlakukanku seperti ratu, kukira mungkin karena ia terlalu sibuk dan lelah mencari nafkah. Tidak pernah sekali pun ia bertanya, apakah aku baik-baik saja? kukira karena ia selalu dapat melihatku seperti biasa. Aku sibuk memikirkan alasan ketiadaan cinta di antara pernikahan kami agar ada alasan untukku bertahan, sedang aku lupa melihat kedalaman hatinya, apa yang ia lihat tentang cinta yang selama ini kuberikan?

Dan,

Jawabannya, sungguh mengejutkan. Jangankan cinta, ia bahkan tidak mengakuiku sebagai istrinya, perempuan yang ia halalkan di depan penghulu dua tahun lalu.

Setelah kudengar itu, jangan lagi kamu tanyakan kemana cintaku? karena ia sudah pergi bersama keringnya bibirmu setelah mengucap kata itu.

Gggrr! Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari Mas Irawan, ada apa lagi?

[Kalau sampai dua hari kamu tidak kembali dan tidak minta maaf pada Pak Haidar, selamanya aku tidak akan menerimamu lagi Kirana. Pikirkanlah! kamu hanya perempuan mandul, tidak akan ada lagi laki-laki yang bisa menerimamu selain aku! pulang sebelum itu atau kamu akan menghabiskan masa tuamu sendirian!]

Mataku terbelalak, hatiku berdegup kencang, tubuh bergetar menahan amarah, tega sekali laki-laki itu menyumpahiku perempuan mandul dan tidak ada lagi pria yang dapat menerimaku!

“Huaaaa." Tangis yang kutahan sedari tadi akhirnya tumpah juga, perempuan mana yang tidak ingin menjadi Ibu, sesulit apapun hidupnya ia pasti ingin memiliki keturunan dan pendamping yang setia.

“Tega sekali kamu, Mas!” Kurekatkan tangan dengan kuat, kamu akan lihat siapa aku Mas! Jangankan orang lain, aku akan buat kamu menyesal telah memperlakukanku seperti ini.

Meskipun pernikahan kita hanya sebuah kesalahan. Harusnya kamu melakukan yang terbaik untuk kesempatan ini, tapi kamu malah menyia-nyiakannya, kamu benar-benar tidak menganggapku ada!

“Maaf Mbak, kita akan kemana?” sopir taksi menengokku dari kaca spion.

“Hah?” aku hampir lupa kemana tujuanku, uang pun masih belum kuambil, tidak semudah itu juga mendapat tempat tinggal, butuh proses dan pemilihan yang tepat.

Tidak ada sanak saudara di Jakarta, aku tidak ingin pulang ke Yogyakarta, Ibu dan ayah akan sangat sedih kalau aku pulang dalam keadaan seperti ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini selain ...?

“Hah … ya, Atha, kemana saja anak itu, kenapa dia tidak pernah menghubungiku?” Gerutuku segera mencari kontaknya. “Semoga saja ponselnya masih aktif.”

Kenapa nggak diangkat? apa dia sudah tidak mau mengangkat panggilanku?

[Ya, Hallo!]

[Athaaaaa …..!]

[Berisik Kirannnnn ….! aku lagi rapat.]

[Ops. Maaf, aku mau ke rumah mu, istirahat sebentar, masih di alamat yang sama kan?]

[Heuh! jangan sentuh dan acak apapun, tunggu aku pulang!]

[Ok.]

“Tolong, ke jalan Mariabaya No 35 ya Pak,” ucapku pada sopir taksi.

“Siap, Bu.”

Awas saja saat ketemu, aku akan mengomelnya habis-habisan, kenapa dia tidak pernah menghubungiku selama dua tahun ini, menyebalkan!

“Sampai juga. " Aku melihat dua lantai rumah mewah yang elegant.

“Dari dulu dia tidak pernah punya satpam, heran." Gerutuku sambil membuka gembok yang tidak terkunci, hanya terpasang begitu saja, entah apa alasannya dia tidak pernah menguncinya, aku melenggang masuk ke halaman sambil menarik koper. "Berat juga ni koper." Tenagaku kewalahan saat mengangatkannya ke atas tangga.

Apakah kata sandinya masih sama? kenapa dia tidak mengatakannya, akan kucoba kata sandi yang lama.

Wow,asuk! Dia masih menggunakan kata sandi yang sama. Aneh memang orang itu! Selama lebih dari 7 tahun dia masih menggunakan sandi yang sama.

‘Brugh!’

Aku menjatuhkan tubuhku di atas sofa, rumahnya bersih dan wangi, “Euhm …, nyaman sekali disini.”

Menikmati suasa rumah yang begitu terkesan rapi, sejuk dan nyaman. Aku berkeliling untuk melihat-lihat. Sudah hampir dua tahun aku tidak pernah lagi ke rumah ini, semenjak pernikahanku bersama Mas Irawan, ia tidak pernah mengijinkanku untuk pergi ke rumah teman, sekedar jalan dan kumpul bersama pun tidak ia ijinkan, selain itu handphoneku sering ia sembunyikan, alasanya karena aku tidak boleh banyak bermain media sosial dan ngerumpi nggak karuan. Dasar bodoh! padahal agar dia lebih leluasa selingkuh dengan Renata! menyebalkan!

Tanganku mengelus pelan setiap foto kenanganku bersama Atha, pria yang kukenal sejak SMA, banyak kenangan kami yang akhirnya di abadikan dan foto-foto itu masih tertata rapih di sini, masih sama dengan beberapa tahun lalu.

“Bukankah sudah kukatakan, agar tidak menyentuh apapun!” Suara Atha sudah terdengar di belakangku.

“Apakah pacarmu tidak marah, kamu masih memanjang foto-foto jelek ini?” tanyaku padanya, menelungkupkan salah satu foto yang terlihat sangat jelek. Bagaimana tidak jelek? dia memotretku dalam keadaan baru bangun tidur saat pergi berkemah.

Atha hanya diam, aku berbalik melihatnya dan kembali berjalan ke sofa, tangannya terlihat meraih sesuatu di belakangku, saat kulirik ternyata dia sudah membuka fotonya lagi.

Aku tidak habis pikir apa bagusnya menyimpan foto-foto jelek itu.

‘Brugh!’

Aku kembali menjatuhkan tubuhku di atas sofa, Atha membawa air dari meja makan. “Kemana saja kamu selama dua tahun ini? Sekali pun tidak pernah menghubungiku, hah!” cercaku padanya.

“Mana berani aku menghubungi wanita bersuami, bisa-bisa aku mati konyol dicemburui suamimu,” jelasnya, “nah, sekarang mau ngapain kamu ke sini bawa-bawa koper segala?" Liriknya sinis saat melihat koper yang kusimpan di samping sofa.

“Aku minggat dari rumah!" jawabku sambil meneguk air, haus sekali rasanya, nangis dari tadi pagi, belum sempat aku minum seteguk pun.

“Ngapain kamu minggat, kalau ada masalah selesaikan baik-baik, bukannya main minggat dan datang ke rumah pria." Bicaranya sudah kaya ustadz saja.

“Menurutmu, kalau Mas Irawan sudah tidak mengakuiku sebagai istrinya. Apa aku harus tetap tinggal di rumah itu?”

“Apa?” wajah Atha berubah merah. "Apa yang telah dilakukannya padamu?” tanyanya lagi, ia sudah terlihat sangat geram.

“Sudahlah aku tidak mau bercerita!" pungkasku. Kalau dia tahu yang sebenarnya, aku tidak yakin Mas Irawan tidak masuk rumah sakit. “Aku mau istirahat di sini sebelum mendapat tempat tinggal, di mana kamarku?”

“Heum!” Terlihat Atha menghembuskan napasnya kasar, ia pasti menahan kesal padaku, lalu membawa kopernya ke lantai dua.

Aku mengikutinya dari belakang, dan menjatuhkan tubuhku di atas kasur.

“Turunlah sebentar lagi untuk makan!” ucap Atha sebelum menutup pintu.

Aku membuka koper dan merapihkan pakaian ke dalam lemari, baju Mas Haidar masih belum dibersihkan, lebih baik aku segera membersihkannya dan bertemu Anna, aku sangat merindukannya.

Aroma masakan sudah tercium harum dari arah dapur, kulihat Atha sedang menggunakan kepiawaiannya dalam memasak, ia bahkan jarang membeli makanan instan dan memilih memasak sendiri.

“Milik siapa itu?” tanya Atha yang melihatku membawa jas ke tempat pencucian.

“Milik Mas Haidar suaminya Anna, masih ingat kan sama Anna?” aku mulai mengaliri mesin dengan air.

“Kenapa ada bersamamu?”

“Euhm …. Mas Irawan ternyata kerja di sana, tadi pagi aku kekantornya untuk membawakan bekalnya yang tertinggal, tapi aku terjatuh dan bertemu Mas Haidar, dia meminjamkan jas miliknya,” jawabku membuka barisan gigi.

Atha menatapku tidak percaya, lalu dia menyiapkan makanan di atas meja dan pergi ke kamarnya, aku curiga pada kelakuannya, biasanya dia berbuat brutal kalau sedang kalap.

Perlahan aku mengintipnya dari balik pintu, mendengar percakapannya dengan seseorang.

[Apakah ada kejadian tadi pagi di kantormu? apakah kamu melihat seorang perempuan datang ke sana?] Atha sedang berbicara dengan siapa? apa mungkin dia sedang menyelidikiku?

[Apa?!] suara Atha terdengar tegas dan keras.

[Terimakasih informasinya.]

Bergegas, Atha keluar membawa suiter miliknya, “Jangan Tha, Please!” Aku menahan tangannya untuk pergi.

“Dia sudah melecehkan harga dirimu, Kiran!” jawabnya dengan nada tinggi.

“Aku tahu, tapi aku tidak mau kamu ribut dengan Mas Irawan,” ucapku lagi masih mencoba menahannya.

“Apa kamu masih takut kalau aku akan menyakitinya?” Atha menatapku.

Kejadian sebelum aku menikah dengan Mas Irawan pun berkelebat, dia pernah memperlakukanku dengan kasar dan Atha memukulnya, sedang aku menolong Mas Irawan. Semenjak itu, Atha tidak pernah menemuiku, ketika aku menikah pun ia bahkan tidak datang.

“Bukan karena aku takut dia terluka, tapi aku takut kamu menjadi brutal dan kasar,” jawabku pelan. "Aku mohon mari kita makan!" Aku menarik lengannya.

Atha menurut, dan duduk di meja makan, tapi sama sekali ia tidak mau berbicara, aku tidak yakin kalau Atha benar-benar akan mendengarkanku untuk tidak melakukan apapun pada Mas Irawan.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
kayaknya Atha suka deh tapi di pendam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status