Share

SALAH MEMILIH SUAMI
SALAH MEMILIH SUAMI
Penulis: lasminuryani92

Tidak Diakui Istri oleh Suami

"Wan, bukannya itu istrimu?" teman Mas Irawan menggerakkan dagunya, memberitahunya agar melihatku yang sudah berdiri tidak jauh dari meja makan siang mereka.

Mas Irawan mengangkat wajahnya dan memandang, aku melempar senyum dengan kotak makanan yang masih dipegang.

Hari ini Mas Irawan lupa membawa bekal makan siangnya, hingga aku mengantarnya ke kantor, dan bertanya pada satpam.

"Bukan lah!' jawaban Mas Irawan membuat langkahku terhenti saat mendekat untuk memberikan bekal ini. "Kamu tahu kan masakan istriku enak, dan bajuku selalu rapi dan bersih, masa dia bisa melakukan itu untukku tapi tidak bisa mengurus dirinya sendiri," jelas suamiku pada teman-temannya.

Perlahan aku memundurkan kaki, mungkinkah Mas Irawan malu mengakuiku sebagai istrinya di hadapan teman-teman kantornya ini, karena pakaian yang kukenakan jelek dan aku tidak bersolek? Tadi terlalu buru-buru, aku tidak tahu kalau ternyata kotak bekal Mas Irawan tertinggal.

"Terus, kamu kapan ngenalin koki hebatmu itu? aku mau memperkenalkannya pada istriku agar dia bisa belajar banyak," sahut lelaki lain yang duduk di sampingnya.

Mas Irawan melihatku dan berdehem, "Segera, aku akan mengenalkannya pada kalian. Awas ya, jaga mata!" celotehnya di sambut gelak tawa yang lain.

Mas Irawan terus memberiku kode untuk pergi, mataku masih menatap matanya, melangkah mundur perlahan, masih tidak percaya kalau yang mengatakan itu adalah suamiku sendiri.

Air mata ini masih kutahan, tidak ingin menangisi laki-laki seperti itu, aku sudah melakukan tugasku sebagai istri dengan baik, melayaninya setiap hari, tapi justru ia malu memilikiku.

Aku berbalik dan hendak pergi.

'Brank!' Tubuhku menabrak nampan minuman yang di bawa pramusaji. Semua minuman itu membasahi tubuhku hingga dalaman yang kupakai menerawang.

"Maaf Mbak, saya tidak sengaja," ucap pegawai itu sembari berjongkok memunguti pecahan gelas.

"Ngapain juga orang jelek berkeliaran di sini?" teriak salah satu teman Mas Irawan.

Aku melirik pada laki-laki yang sedang sibuk mengocek minuman di gelasnya, Mas Irawan pura-pura tidak melihat dan mendengar semua yang terjadi padaku.

"Meski dalamnya kentara, tidak bisa membuatmu menjadi wanita seksi mbak," timpal suara yang lain.

Aku sudah tidak tahan, tidak ada yang peduli padaku di dalam sini, kotak makan siang ini membuatku dipermalukan seperti orang gila, aku sudah tidak ada harganya di mata mereka. Sebelum pergi aku berjalan cepat ke arah meja makan Mas Irawan.

'Brugh!' aku menyimpan kotak makan itu di hadapannya.

"Habiskan makan siangmu, dan segera urus perceraian kita!" bentakku padanya.

Mas Irawan mengangkat wajah dan memandangku.

Seketika semua hening, semu mata kini tertuju pada kami.

"Hahaha ... perempuan gila, sudah tidak punya malu mengaku-ngaku orang lain sebagai suamimu!" Seorang perempuan tiba-tiba berjalan ke arah kami.

"Maaf sayang, aku lupa membawakanmu makan siang, hingga kamu harus beli di luar," lengannya bergelayut manja di leher suamiku.

Matanya menatapku sinis, lengan mulusnya mengetuk-ngetuk meja agar menyuruhku pergi, tentu aja aku tahu wanita itu, dia adalah sahabatku sendiri.

"Hahahahaha ...." orang-orang tertawa dan mencemooh tingkahku.

Aku tidak ingin mengatakan atau berbuat apapun, di mata mereka kini akulah yang mengada-ngada.

Aku muak, berbalik dan hendak pergi, tapi salah satu kaki lelaki itu menjegalku hingga ...Brugh ...! Tubuhku tersungkur di atas lantai.

Hatiku menjerit, kenapa mereka begitu kejam memperlakukanku seperti ini? Dan suamiku yang harusnya menjaga kehormatanku sebagai istrinya, tidak membelaku sama sekali.

Sesaat suasana hening, lalu ....

Gelak tawa itu kembali terdengar riuh. Rasanya aku ingin mati saja atau pura-pura pingsan. Namun, tiba-tiba suara langkah sepatu datang menghampiri, "Bangunlah! kenapa kamu tidur di sini?" ucapnya seraya menolongku berdiri.

Aku bangkit dengan kedua tangan yang disatukan di dada agar tidak terlalu terlihat dalamnya. Lelaki berjas abu itu membuka pakaiannya dan menutupi tubuhku.

"Begini cara kalian memperlakukan perempuan!?"bentaknya menggelegar, memenuhi ruangan yang tiba-tiba sepi, tidak ada lagi terdengar gelak tawa mereka, semua orang yang kami lewati memberi hormat.

Siapa laki-laki ini?

Langkah kakinya tiba-tiba berhenti, tubuhnya kembali memutar, "Pak Irawan, setelah ini masuk ruangan saya!"

Apa? mungkinkah laki-laki ini adalah atasannya Mas Irawan?

Senyumku yang hilang, kini mengembang. Yakinkah kamu masih bisa bekerja disini, Mas? setelah aku menceritakan semuanya pada bosmu? kurasa kamu akan segera kehilangan jabatan yang membuatmu malu memiliki istri sepertiku ini.

"Saya panggilkan taksi ya," ucap lelaki itu penuh kehangatan, ia masih berjalan di sampingku hingga kami sampai di trotoar.

"Tidak perlu Pak, terimakasih, saya bisa melakukannya sendiri, mungkin Bapak sedang sibuk." Tolakku lembut.

"Tidak apa-apa Mbak, maafkan atas tindakan tidak bertanggung jawab karyawan saya, setelah ini saya aka memanggil mereka." Kentara sekali dari ucapannya ia sangat kesal.

"Sekali lagi, terimakasih Pak," aku berhenti, menghadapnya dan merengkuhkan tubuh, sebagai tanda terimakasihku karena telah ditolong di saat yang sangat tepat.

"Bukankah ini Mbak Kirana?" tanyanya ragu.

Aku mendongakkan wajah, siapa laki-laki ini hingga mengenalku? kulihat wajahnya, tapi tetap tidak bisa kukenali.

Aku menautkan dua alis, berpikir keras untuk mengenali wajahnya, tetapi tetap saja tidak ingat.

"Mungkin Mbak Kirana lupa, karena kita baru bertemu satu kali, saya Haidar, suamina Anna," suara lembutnya diselingi kekehan tawa pelan, mungkin karena geli melihat wajahku yang berkerut.

"Ouh Mas Haidar suami Anna, ya Allah Mas, bagaimana kabar Anna? sudah lama kami tidak bertemu." Raut wajahku berubah bahagia, tidak menyangka bertemu dengan mereka.

Anna adalah sahabat baikku, namun kami berpisah saat Anna memilih Sekolah yang berbeda. Enam tahun lalu, aku datang ke pesta pernikahannya dan mungkin pada hari itu aku bertemu dengan Mas Haidar, tapi kenapa hari ini aku bisa lupa, dan ternyata Mas Irawan adalah karyawan Mas Haidar, betapa dunia terasa begitu sempit.

"Alhamdulillah Mbak, Anna sekarang sedang mengandung anak ke-2 kami, sudah memasuki usia kehamilan yang ke-7," senyum bahagianya tersungging.

"Ouh ya ampun, saya ingin sekali bertemu," jawabku terharu, Anna sudah punya dua anak sedangkan aku satu pun belum.

"Boleh sekali Mbak." Mas Haidar memberikan kartu namanya. "Mainlah ke rumah, Anna akan sangat senang dikunjungi Mbak Kirana."

"Baik Mas, dengan senang hati."

"Oh ya, maaf sebelumnya, apakah Pak Irawan adalah suami, Mbak Kirana?" wajah Mas Haidar sedikit mendongak padaku.

Aku hanya mengangguk pelan tanpa mampu bersuara, malu sekali rasanya diperlakukan seperti itu oleh suami sendiri di hadapan orang yang dikenal.

"Kenapa bisa begini, Mbak? Anna bercerita kalau Mbak Kirana adalah seorang Manager di bagian produksi?" tanyanya heran, sembari melihat penampilanku yang acak-acakan.

"Heh ...!" Gigiku sedikit menyungging, mengingat betapa dihormatinya aku dulu, bekerja sebagai satu-satunya manager perempuan di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. "Iya Mas, awalnya, saya melepaskan kehidupan itu karena ingin seperti Anna yang fokus pada keluarga, tetapi ternyata saya salah memilih suami," jelasku canggung.

"Saya pastikan mereka akan mempertanggung jawabkan perbuatannya! Mbak Kirana jangan khawatir."

"Terimakasih Mas, saya permisi dulu, tubuh saya dingin." Aku sedikit menggigil. "Jas ini biar saya kembalikan pada Anna setelah dibersihkan."

"Iya, silahkan Mbak. Hati-hati!"

Sekali lagi aku merengkuhkan tubuh sebelum masuk ke dalam taksi, Anna sungguh beruntung mendapat suami seperti Mas Haidar, pintar sekali ia memilih ayah dari anak-anaknya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status