Axelle memperhatikan perubahan sikap dan air muka Arbia ketika melihat kedatangan Praditia Wicaksana. Terlebih ketika gadis itu melihat Praditia menyingkap sarung tangannya dan menyimpannya di saku jasnya.
"Apa kabar, Bi. Maafkan semalam, Saya nggak bisa datang dan nggak sempat mengabarimu. Saya ada makan malam dengan klien." ucapnya memandang wajah Arbia yang kembali memucat setelah melihat sosok Praditia dengan sarung tangannya.
Trauma yang menyerang Arbia dari semenjak peristiwa itu kini semakin meradang. Tiba-tiba tubuhnya menggigil dan terlihat ada sesak di dadanya yang kemudian jadi batuk-batuk kecil.
"Bi! Arbi!" teriak Arka panik melihat gadis kesayangannya itu tiba-tiba kejang-kejang.
Axelle dengan sigap memeluk kekasihnya.
"Panggil dokter, cepat!" teriaknya mulai histeris.
Tidak ada 5 menit dokter khusus yang menangani Arbi datang dan menyuntikkan obat penenang. Hanya itungan detik gadis itu terkulai dan tertidur.
<Mampir yuk ke sini dan juga ke ke karyaku yang lain @Takdir Yang Tertunda @Fatamorgana
Gama Pramudiaduduk menghadap kecarah sosok yang saat ini terlihat sangat rapuh. Kesombongannya beberapa jam yang lalu luruh seketika. Tak terlihat seorang pengacara satu pun yang mendampinginya. Berkali-kali laki-laki tua itu menatap pemuda tampan itu, seolah memohon sesuatu. "Papa, katakan satu orang yang terlibat di belakang papa, pengajuan berkas Papa akan segera diproses." suaranya terdengar bariton, namun masih terkendali. Sedang sang ayah masih saja dsngan tarapan menghiba. "Apa Papa diancam?" Seketika perubaha ekspresi mukanya terlihat jelas. Dan itu cukup buat seorang Gama. Celine, wanita yang bergelar dokter ahli jantung yang baru satu hari kemarin resmi di pacarinya itu sudah banyak mengajarinya tentang ilmu psikolog. Wanita muda itu selalu mengajari bagaimana membaca tabiat dan katakter seseorang hanya dengan melihat ekspresi dan tingkah laku yang tergambar jelas dari tubuh seseorang. Dan saat ini apa yang dieksp
"Jadi, kamu sudah tahu?" ucap Gama bernada pertanyaan tapi diiringi dengusan kesalnya. "Butuh bukti untuk mengirimnya ke hotel prodeo!" ucap Axelle tegas tapi dingin. Dan sesekali menatap ke arah jendela. "Tapi, Aku nggak menyangka kalau dia dalang di balik semua." Gama menyandarkankan bahunya pada dinding dekat jendela di ruangan VIP. "Dia punya motif yang kuat mekakukan itu. Aku rasa dia sudah lama merencanakan semua skenario ini. Jauh sebelum ayahnya menghilangkan nyawanya sendiri." Axelle membuang napasnya dengan dengusan kasar. Sesekali menoleh ke arah pembaringan. Dilihatnya gadis yang teramat dia cintai itu masih ada dalam pengaruh obat penenang. "Sudah berapa lama gadis kamu itu tertidur?" "Hampir 4 jam." jawab Axelle terus memandangi wajah Arbia yang pias dan pucat. "Aku rasa dia mengalami masa yang sangat menakutkan hingga dia trauma begitu." "Itu yang jadi pemikiranku." sambar Axelle menyela kata-kata s
Arbia menatap ke arah pintu. Degub keras itu berusaha ia tahan, namun rasanya dia ingin menubruk Axelle, mendekapnya dan memeluknya erat tanda ia ingin dilindungi dan diselamatkan dari situ. Masa 15 tahun silam seakan terulang lagi, ketakutan yang luar biasa, dan kepanikan yang menderanya. Masih terekam jelas peristiwa kemarin mala, bagaimana laki-laki bercadar itu mencengkramnya dengan keras, menyentuh dan menjamahnya dengan kasar disetiap lekuk tubuhnya. Membuat ketakutan dan kepanikan saat itu tak terkendali. Axelle Narendra, sosok kapten tampan dan gagah itu semakin mengeratkan genggaman tangannya pada jemari gadis kesayangannya itu. Dia tahu, Arbia sedang melawan rasa takut dan traumanya dengan susah payah. Dia paham, sangat paham. Di depan pintu itu ada seseorang yang dengan kejamnya mengharap gadis cantik ini kembali tertidur dengan ketakutan dan kepanikannya tanpa terbangun lagi. Seolah belajar dengan bahasa isyarat, genggaman pada jemari Arbia ia per
Arbia menguatkan tumpuannya pada sisi bantal di pembaringannya. Matanya mengerjab cepat melihat bayangan Praditia sudah menghilang. Dia mengatur napasnya yang sedari tadi sudah tidak normal. Denyut jantungnya sudah tak karuan lagi. Menaha ketakutan dan trauma yang begitu membuatnya menderita. Bahkan mungkin dia membutuhkan seorang terapis untuk menyembuhkan traumanya yang begitu hebat itu. Dengan tangan thremornya, Arbia menggenggam kertas memo itu. Ingin rasanya dia menyobek pesan memo itu. Tapi rasanya dia penasaran apa isi pesan singkat itu. Apakah berupa ancaman atau kata-kata yang akan membuat traumanya kambuh. Masih dengan jantung yang berdegub keras, Arbia melayangkan pandangannya ke segala arah. Tak didapatinya kedua sosok yang teramat dia sayangi. Arka dan Axelle. Arbia mencoba mengatur dan menetralisir suasana hatinya supaya biar bisa rileks dan santai. Mencoba untuk mengatasi segala ketakutannya. Sedang di lain tempat Arka ter
Gadis itu terguncang, bukan hanya kejang-kejang, tapi napasnya tersedak, ada sesak di sana. Axelle panik demikian juga Arka. Kedua laki-laki hanya bisa berdiri di belakang dokter Celine. Dihadirkan juga dokter terapis yang sudah berpengalaman. Arbia Siquilla, kembali mengalami trauma ketika dirinya membuka sebuah memo yang diberikan oleh seseorang. Yang ternyata memo itu berisi gambar potongan kepala dirinya sendiri yang terpisah dengan lehernya. Berlumuran darah kemana-kemana. Seketika itu rasa traumanya kambuh begitu tragis dan histeris. Ketakutan akan sesuatu memicu hormon adrenalinnya untuk memberontak. Namun apa ada daya badannya tak mampu melakukan itu. Tubuhnya seketika terkulai setelah mendapatkan suntikan penenang dan akhirnya tertidur. Axelle merasa sangat kasihan melihat sang kekasih dalam kondisi seperti ini. Ternyata Praditia sudah mencuri start dia lebih dahulu. Dokter spesial kejiwaan Arbia mengarahkan agar untuk sementa
Hampir sebulan Arbia di rumah sakit. Melakukan terapis mental dan pemulihan kondisinya. Aktifitas Axelle pun sudah tidak dalam penyelidikan. Menyangkut perusahaan penerbit yang ditutup oleh si empunya kantor hanya menjadi desas-desus saja. Zakaria Lawalata sebagai orang tua menyadari perbuatan Praditi Wicaksana adalah sebuah kesalahan. Tapi bercermin pada masa lalu mungkin dirinyalah yang sangat berperan penting dala sikap dan karakter praditia yang tiba-tiba berubah drastis. Maka dari situ orang tua yang umurnya sudah menginjak 60 tahun itu hanya meminta kapten Axelle, kekasih dari putrinya agar bijaksana menyikapi persoalan ini. Apalagi belum ada cukup bukti yang menyatakan bahwa Praditia adalah sosok yang selalu disebut-sebut sebagai dalang dari permasalahan ini. Akhirnya pihak kepolisian menghentikan penyelidikan yang dipimpin langsung oleh tim Axelle, dan kasus ini dinyatakan ditutup. Seperti siang itu, kala Arbia sedang menjalani terapinya
Badan itu tetap diam tak bergerak ketika dilarikan ke rumah sakit. Hanya denyut nadinya yang sangat begitu lemah. Sesampainya di rumah sakit dokter Celine yang beberapa menit yang lalu sudah dihubungi segera menyiapkan alat pemacu jantung. Berkalu-kali dicobanya untuk mengembali denyut nadi Arbia. Bahkan air matanya sudah meleleh ketika dia dapati usahanya seolah gagal. Harus ngomong apa dirinya sama keluarga Arbia terutama Arka dan Axelle. Sudah semakin sembab dan buram pandangan matanya. Semua kebingungan itu membuatnya akhirnya sesenggukan. "Dok!" teriakan itu membuatnya tetsadar dan harus sesegra mungkin menyatakan kematian Arbia "Denyut nadi pasien kembali!" Lengkingan perawat itu membuatnya berjengkit ke belakang satu langkah. Di pandanginya wajah sahabatnya yang terdiam dalam tidurnya itu. Sungguh miris, dia tak menyangka Arbia akan semenderita ini. Setelah memeriksa kondisi Arbia, dokter Celine ke luar dari ruang ICU. Dan di depa
Dengan cepat dokter Celine Dan Gama memakai kembali bajunya dan segera berlari ke arah suara tembakan yang mengagetkan seluruh penghuni rumah sakit. Semua berhamburan ke luar seolah mereka mendengar bom pecah. Dokter Celine terkejut setengah mati melihat orang itu sudah tergeletak bersimbah darah. Bukan Lukman ayahnya tapi Arka Abianta sudah tergeletak berlumuran darah di lantai dengan posisi tertelungkup. "Arka---! Mengundang srmua penghuni rumah sakit berbondong-bondong datang ke lantai 3 ruang VIP. Dengan kepanikan yang luar biasa Gama dan beberapa staf keamanan mengangkat tubuh Arka yang sudah bersimbah darah ke atas pembaringan rumah sakit. Sedang di ruang ICU, dokter perawat sudah menemukan Arbia terjatuh dari pembaringan tempat tidurnya dalam keadaan selang infus sudah terpotong oleh seseorang. "Oh Tuhan! Kenapa bersamaan?!" lenking dokter Celine melihat situasi gawat seperti itu. Kedua korban langsung masuk ruan ICU. Subuh dini h