Dokter Celine Fazah Arufiah, kembali menelan salivanya dengan pahit. Mtanya sudah mengalir buliran bening yang tidak bisa dia tahan lagi.
"Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semampu kami, tapi ternyata--
Zakaria Lawalata tidak bisa menyokong badannya. Dia merosot ke bawah mendengar pernyataan dokter Crline. Celine terkejut melihat reaksi lelaki berumur itu. Dia sock mendengar berita tentang anaknya. Bahkan Celine belum sempat melanjutkan ucapannya.
"Bapak, nggak apa-apa?" suara dokter cantik itu lembut dan berusaha membantu Zakaria bangkit.
"Benarkah, Dok? Benarkah Arka sudah--
"Dokter...!" teriak salah satu perawat dari ruangan ICU. Spontan Celine dan Zakaria menoleh ke arah perawat tersebut.
"Dokter!" Perawat itu tergopoh mendekati kedua dokter yang ada di hadapanZakaria.
"Denyut nadi pasien kembali," ucapnya terengah mengejar dimana dokter Celine berdiri.
Dan seketika ucapan perawat iti membuat dokter Celine sendiri terk
Hai , mampir yuk ke novel saya jagan lupa klik kolom komentar Terima kasih...
"Maksud kamu apa" tanya Axelle masih dengan keterkejutannya. "Bukannya sudah jelas di berkas itu. Aku ingin kamu mengelola semua perusahaanku, selama aku masuk nanti." ucap Praditia tenang dan santai. "Mana bisa begitu?" Lagi ucapan Axelle ragu. "Aku nggak msu ketika keluar nanti aku akan hadi gembek Axelle. Aku juga manusia biasa sepertimu. Yang ingin meniksh dan punya keluarga." ucap Praditia mengambil naoas inyuk menjeda sesaat kalimatnya. "Aku tahu kesalahanku fatal. Aku pejahat kelas kakap selama ini. Sadis dan bengis. Tapi aku juga hanya manusia biasa yang kapan saja bisa insaf." Axelle benar-benar terpana mendengar laki-laki dewasa itu bicara. "Apa dia ada semacam kelsinan mental hingga bisa suasana hatinya berubah-ubah kapan pun dia mau." batinnya berujar. "Kamu mau menyebutku gila atau semacamny, silakan Kapten. Tapi Aku takkan menyershksn diri sebelum kamu menanda tangani berkas-berkas itu. Bahkan Ak
Bersamaan dengan ditangkapnya Sang Kaisar atau Praditia Wicaksana yang menjadi pejahat kelas kakap dan buronan polisi bertahun, seorang Arka Abianta terbangun dari tidur panjangnya. Seperti ada semacam chamistry diantara mereka, ikatan batin itu terlalu kuat. Secara dari kecil mereka tumbuh bersama dan besar bersama. Berita menggempar seluruh dunia, Praditia Wicaksana atau yang lebiih dikenal Sang Kaisar hari ini secara suka rela menyerahkan diri kepada polisi fan segala berkas psrkara akan segera masuk pengadilan untuk sidang oertama. Didampingi 3 pengacara yang siap membantu Praditia Wicaksana untuk mendapatkan keringanan hukuman karena telah dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui segala kesalahannya. Axelle sengaja mendatangkan 3 pengacara sekaligus agar bisa membantu untuk meringankan hukuman Sang Kaisar. Dirinya sendiripun, akan dengan suka rela menjadi saksi kunci dipengadilan pada sidang yang pertama tadi. Tentang hampir puluhan perusahaan yang
Arbia dengan mata sayu menatap Axelle. Dan lelaki jantan itu kembali mengulum, bibir ranum milik Arbia. "Kamu hanya milikku," bisik Axelle di telinga Arbia yang mulai metemangkan bulu-bulu halusnya. Axelle mulai beraksi kembali, mengecup dan menggigit daun telinga sang gadis. Lidahnya dijulurkan dengan tidak sabar lagi. Terdengar desahan halus di dadanya yang membengkak. Dirabanya perut sixpack itu. Sobekan di bagian perut Axelle itu membuatnya seketika mengerang. Dia mulai menuruni perut pria tampan itu. Dan sekali gigit, Arbia sudah mencampakkan segitiga pengaman Axelle. "Ah, Sayang," desis Axelle tajam sambil menahan gejolak yang membara. Sedang Arbia semakin menjadi. Dengan llihainya digerakannya lidahnya yang menyapu ke seluruh element senjata milik Axelle. Pria itu menggelinjang manja, menggerak-gerakkan bokongnya karena menahan sesuatu yang seolah akan meledak. "Uhh, Arbi! Aku sudah nggak tahan!" Dengan sekali hentakkan, Axelle
Axelle hanya bergeming melihat perempuan yang seumuran dengannya itu datang menghampirinya. Masih tetap sama, cantik dan anggun dengan senyum yang ramah dan sikap yang hangat. "Apa kabar? Kamu juga kerja di kantor ini? Aku dengar berita terbaru, bahwa kamu masuk pendidikan kepolisian?" ucapnya ramah dengan senyum tertebar di bibir sensualnya. Tangannya terulur ke arah Axelle. Dan entah kenapa Axelle tidak lama-lama membiarkan tangan mungil itu terlalu lama menggantung. Disambutnya uluran tangan itu dengan baik. "Kabar aku baik, kamu sendiri?" ucapnya menjawab pertanyaan perempuan itu. "Syukurlah, kita sama. Aku juga baik." Sekali lagi perempuan itu menjawab tanpa melepas senyum. Dia, Intan Pertiwi. Teman satu kelas waktu memakai seragam putih abu-abu. Kalau mau jujur dulu, mereka saling menyukai, tapi masing-masing sudah punya pasangan. "Kamu juga bekerja di sini, Axelle?" Agak tersentak kapten muda itu mendengar suara Intan. "
Laki-laki yang dipanggil itu segera menoleh dan berlari kecil menghampiri sosok cantik itu. "Eh, Kak. Kok ke sini?" tanyanya sambil mengusap dahinya yang mengembun keringat. "Kapten kamu, mana Kai? Aku telponin dari kemarin nggak aktif ponselnya?" Kai bergeming sesaat dan nemandangi gadis yang tak lain Arbia itu. Ada raut kebingungan di matanya. "Kai! Kok malah bengong? Axelle ada? Sibukkah, kok sampsi matiin ponsel genggamnya?" "Kak Arbi nggak sedang bercanda, kan?" tanyanya setelah beberapa saat berpikir dan merasa wanita muda yang ada di depannya ini memang tidak sedang bercanda. "Bercanda bagaimana, Kai? Aku serius lho?" Arbia kini terlihat bingung mendengar pertanyaan Kai yang menurutnya aneh. "Bukannya, Kapten ambil cuti ya, Kak?" "Cuti?!" Bukan kaget lagi Arbia mendengar berita itu tapi seperti tersambar geledek. "Cuti bagaimana maksudnya, Kai?" Sekali lagi dia menanyakan tentang cuti itu karena bel
Mendengar perkataan itu, Axelle seperti disengat listrik. Tubuhnya tiba-tiba menegang, mengalirkan hawa dingin. Matanya menatap dengan sorot tajam. Bahkan rahangnya mengeras hingga garis lurus di wajahnya itu begitu kentara. Arbi hanya menoleh sekilas dengan wajah dingin dan ketus. Tanpa menunggu pintu lift terbuka dengan sudah melesatkan tubuh kecilnya lewat pintu darurat yang tepat berada di seberang mereka berdiri. Axelle terkejut melihat langkah yang diambil gadis itu. Dengan cepat dia mengejar lagi langkah kaki gadis itu. "Bi, tolong jangan seperti ini?" Arbia, gadis itu menghentikan langkah cepatnya dengan tiba-tiba membuat Axelle hampir terjerembab. "Lantas mau seperti apa? Bukankah semua sudah jelas?!" tantang gadis itu. Axelle sudah nggak punya pilihan lain, sudah nggak bisa berfikir lebih jernih lagi. Apalagi melihat gadis itu sudah kembali lari ke arah mobilnya. Dengan sigap Axelle mengejar dan menggendong gadis itu.
Tubuh kedua makhluk itu masih tak memakai pakaian selembarpun hanya, di tutupi kain selimut. Ketika itu ponsel genggam Axelle bergetar. Ada notifikasi masuk. Laki-laki itu dengan mata masih terpejam meraih terpejam dia meraih ponselnya. Ada pesan dari Intan yang mengatakan pamit pulang karena sudah kelamaan menunggu Axelle nggak balik-balik ke apartement lagi. Tanpa ada niat membalas pesan itu Axelle menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Dia memeluk tubuh kecil di hadapannya yang masih nyenyak tertidur. Puas dengan permainannya hingga menghempaskan tubuhnya berkali-kali di atas tubuh gadis itu. Dan melepaskan seluruh hasrat yang beberapa waktu tadi tertunda. Hatinya bahagia melihat gadis ini tertidur pulas. Kerinduannya pada gadis kecilnya itu terlampiaskan sudah. Besok dia berniat membezuk Praditia Wicaksana di tahanan. Dan mungkin kalau Arbia tidak keberatan sekalian mengajaknya, karena gadisnya sudah terlanjur tahu yang sesungguhnya. Sedangkan d
Arka berjalan ke arah mobilnya dengan frustasi. Beberapa sloki minuman yang ia teguk mampu membuatnya sedikit sempoyongan. "Nggak bisa pulang begini. Aku pasti mati di jalan, kalau begini caranya." desisnya sambil merogoh sakunya mencari kunci mobilnya. "Ah, sial!" umpatnya blingsatan karena menahan rasa pusing di kepalanya. "Huft!" Hampir saja dia jatuh, kalau tidak ada sosok tinggi semampai menangkap tubuh kekarnya. Arka mengerjab sesaat. Melihat siapa yang sudah dengan sigap menangkap tubuhnya. Terlihat senyum dari wanita itu, Cathrine, wanita yang sesungguhnya hanya menginginkan Arka dengan menggunakan berbagai cara. Bagi Arka itu senyum itu bak seringai yang menyeramkan. Yang tak ingin ia lihat saat ini atau sampai kapanpun. Dengan cepat laki-laki itu menepis tangan Cathrine. "Aku antar kamu pulang, Arka. Kamu nggak bisa mengemudi, kalau mabuk begini!" Arka masih merasa masih sadar, masih waras, dia hanya butuh