Hati Intan Pratiwi mencelos ketika disadarinya di sampingnya sudah ada dua orang yang familiar di dunia kepolisian. Rasanya jantung gadis itu hampir berhenti berdetak ketika salah satu dari polisi itu meminta kesediaannya menjadi saksi dalam persidangan Cathrine, dan di sana juga akan dihadirkan sang pemilik perusahaan Praditia Wicaksana yang sekaligus tersangka penculikan Arbia Siquilla dan pembisnis illegal senjata tajam hampir di seluruh wilayah asia.
"Nona Intan, Anda bersedia bukan?" Pertanyaan itu menghenyakkan lamunan Intan. Dia gelagapan mendapat pertanyaan semacam interogasi itu.
"Saya bingung, kenapa harus saya yang jadi saksi. Bukankah banyak saksi yang lebih memberatkan nona Cathrine dibandingkan saya?"
"Karena kamu satu-satunya orang yang paham seluk beluk Praditia Group selain nona Arbia Siquilla," sambung laki-laki yang menyandang gelar sang kapten itu. Dan mematahkan kegugupan Intan Pratiwi.
Intan Pratiwi menelan salivanya dengan perla
"Axelle!" teriak Arbi dari dalam teras. Seketika itu Axelle berbalik arah kembali kehalaman rumah Arbia. Tapi alangkah kagetnya Axelle melihat ada seekor ular uang ukurannya lumayan besar tengah melilit pagar rumah Arbia. "Axelle," panggil gadis itu. "Tenang, Bi. Kamu jangan bergerak agar ularnya nggak berbalok ke arah kamu," Sesaat Axelle bingung, mau bagaimana mengusir itu ullar. Tapi mau nggak mau dia memang harus manggil pawang ular. Dalam itungan jam ular itu dapat ďitaklukkan oleh seorang pawang ular yang difatanglan oleh Axelle. "Itu siapa yang bawa ular ke rumah? Bisanya sangat beracum itu," ucap pawang ular itu sebelum dia meninggalkan rumah Arbia Suquilla. Axelle hanya menarik napas panjang mendengar pawang ular itu. Dan itu artinya masih ada yang mengincar nyawanya juga nyawa Arbia. Kemungkinan saja ada juga yang mengincar nyawa Praditia Wicaksana. "Kamu baik-baik sajakan, Sayang?" tanya kapten mu
"Lakukan sekarang!" Suntik yang memang sudah disiapkan untuk Praditia itu menembus kulit kuning gading Praditia. "Arka, msafkan Aku," batinnya berontak. Ingin rasanya dia berontal dan melepsskan injeksi itu dari dalam kulitnya, seperti yang Arka tadi bilang. "Jangan mau di suntik. Kalau toh sudah di suntik, pura-puralah tertidur, tapi hapalinlah setiap inci tempatnya," itu pessn Arka sebelum keluar ruangan. Karena Arka tahu orang-orang yang memasuki ruangannya adalah dokter gadungan, semua anak buah Handoko. Dan itu memang sudah menjadi rencana utama Axelle dan Arka. Setelah semua beres dan rapi, mereka membawa tubuh pingsan Praditia ke luar dari ruangan mewah itu. Kebetulan di luar ruangan tiba-tiba sudah tidak ada orang yang bertugas. "Cepat! Masuk ke dalam lift," titah dokter gadungam itu. Dan beberapa suster yang ternyata juga anak buah Handoko Triwibawa. Dengan cepat semua anak buah Handoko langsung bergerak. Mereka juga tak
Boom ...! Nom molotof ddngan kekuatan kecil itu terlempar oleh tangan mungil Arbia Siquilla. Semua mata membelalak, megejang karena keterkejutan. Bukan hanya Praditia Wicaksana, Handoko Triwibowo pun terduduk lemas menerima semburan bom kecil itu. Jantungnya seketika akut hingga dia dengan mudahnya ditangkap oleh Gam Pramudia. Axelle Narendra menelan salivanya berulang kali melihat kenyataan gadis kecilnya bisa bermain-main dengan sejata berbahaya. Tidak sekalipun lelaki perkasa itu membayangkan tubuh kecil Arbia itu punya otak briliant dan jenius hingga akhirnya membawa bom ke tempat persembunyian Handoko. Lima menit sebelum bom itu sengaja diledakkan Arbia, dia sudah mengirim pesan pada sang kekasih untuk segera menyerbu ke dalam ruangan di mana Praditia di tangkap dan hampir disiksa dengan sadis kalau saja bom itu nggak sengaja dilempar. "Pak Praditia tidal apa-apakan?" tanyanya setelah di menghampiri pria yang dulu pernah ia kagumi dan
Zakaria Lawalata merosot ke lantai mana kala membuka kain kafan itu. Tangisnya tersedu seakan bentuk pelampiasan yang ada di dadanya. Menangis tersedu seperti anak kecil, membuatnya meninggalkan rasa malu sebagai orang yang sudah tua.Arka menubruk ayahnya, derai air mata pun sudah membanjiri pipinyaHening, sepi bahkan terdiam. Axelle yang sudah menyadari dari awal masa seperti ini akan datang tak kalah merosotnya di lantai. Pandangannya kosong, hampa tak ada bentuk kehidupan di mata kapten muda ini.Semua sudah hilang. Masa bahagianya sudah terenggut. Air mata rasanya sudah enggan meleleh. Semua yang hadir di ruangan itu tak mengeluarkan ekspresi apapun selain tatapan hampa dan kosong serta air mata yang dari tadi tak berhenti."Keluarga Arbia Siquilla," suara panggilan dari perawat itu menghenyakan seluruh penghuni yang ada di ruangan unit gawat darurat itu."Saya, Sus. Saya kakaknya Arbi," Perawat itu hanya tersenyum tipis melihat jejak a
"Papa," panggilan itu terdengar jelas di telinga Zakaria Lawalata dan Axelle. Meteka berdua menoleh serempak.Alangkah terkejutnya bsik Axelle dan Zakaria melihat siapa yang sedang ada di kurdi roda dan seseorang sudah berdiri di belakangnya. Arka dengan derai air mata sudah berdiri di belakang kursi roda dan mendorongnya ke arah 2 laki-laki berbeda umur itu."Arbi!" Lengkingan itu begitu menggema di lorong rumah sakit. Tapi Zakaria tidak peduli. Dia langsung menubruk gadis muda yang sudah duduk di kursi rodanya."Benarksh ini kamu, Nak? Benarkah kamu masih hidup? Ini tidak mimpikan, kamu benar-benar masih ada di sinikan?" Bertubi-tubi kalimat demi kalimat bernada pertanyaan itu meluncur dari mulut orang tua satu itu. Dipeluknya putri semata sayangnya itu dengan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Belum lagi laki-laki tampan, tegap dan perkasa yang ada di samping Zakaria, terduduk dengan berlutut, menderu dengan isakan yang ter
Kalang kabut. Yah, hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan situasi di ruangan kamar Arbia saat ini, mana kala ada seseorang yang sudah berdiri di depan pintu bergeming menyaksikan perbuatan mereka. "Bi, makan dulu, Nak," ucapan itu masih terniang beberapa detik yang lalu. "Mama," Arbia seketika meloncat dari pangkuan Axelle dan berjalan memghampiri mamanya dengan wajah menunduk. Wanita anggun itu menayap putrinya dengan tatapan tajam mengena di hati membuat Axelle yang sedetik kemudian juga menjadi sasaran tatapan itu menelan salivanya. "Kalian segera ke meja makan, ya," ucap wanita itu dengan sikap tak acuh dan tatapan dingin. Seketika Axelle mengangguk dan merasakan kecanggungan yang diciptakan oleh sikap mamanya Arbi. Sesaat dia memandang gadis pujaannya itu dengan tatapan yak mengerti. "Kenapa begitu menatapku?" "Nggak enak sama, Tante?" Jawab Axelle meraup wajahnya yang tiba-tiba keruh. "Hem, nggak apa-ap
Arbia duduk memghadap Praditia yang sudsh ldbih dulu duduk dan memandangnya penih dengan perasaan. Sedangkan Ratu Prameswari yang berlalu dengan perasaan dongkol dan kesal tiba-tiba mengeluarkan ultimatum mengejutkan."Kalau bisa, jangan biarkan dia keluar hidup-hidup. Dia itu hanya penyakit yang mengganggu!" ucapmya tandas dan tegas entah sama siapa dan yang pasti titahnya itu diiyakan olen si penerima nelpon."Arbi," suara itu lebih mirip orang memanggil untuk curhat."Iya, Pak," jawab Arbi polos tanpa sedikitpun menaruh curiga atau berkesan untuk tahu sebenarnya apa maksud Praditia ingin menemuinya.Praditia mrmandang ragu sejenak lantas menatap dalam-dalam perempuan muda yang pernah membuatnya mabok kepayang itu."Bapak, ada yang mau disampaokan sama, Saya?" tamyanya kemudia karena menunggu Praditia melanjutkan ucapannya begitu lama."Aku--" sejenak Praditia ragu."Lanjutkan, Pak. Apa Bapak di lapas ada masalah? Kalau memamg ada m
"Arbi, hati-hati sama Ratu," ucapan Praditia masih membekas di telinga Arbia Siquilla.Pagi ini dia pergi ke perusahaan Penerbit milik Praditia Wicaksana. Untuk sementara Arbia mengambil alih perusahaan yang tergabung dengan perusahaannya sendiri yang didirikan sendiri bersama Arka Abianta, kakak angkatnya."Arbi, dimana?" Via note dari kakaknya Arka."Di kantor penerbit, kak," balasnya dengan cepat lalu menyimpan berkas ke laci.Agak capek juga gadis itu merapikan file, karena semenjak Praditia tersandung kasus dan masuk buy, keadaan kantor berubah drastis. Banyak karyawan kantor yang keluar tanpa mempertanggung jawabkan pekerjaannya."Mbak Arbi, mau dibikinim minuman dingin?" tanya OB dengan ramah. Arbia hanya tersenyum lantas mengangguk.Hari cepat berlalu, siang sudah merambah sore. Seharian duduk di kursi panas membuat Arbia ngerasa seperti diduk menjadi pesakitan."Mbak Arbi, pulang ya?" Suara karyawan yang mas