 تسجيل الدخول
تسجيل الدخولSetelah pesta peluncuran yang mengguncang ibukota, Arya membawa Aruna kembali ke penthouse milik nya. Keheningan di antara mereka di dalam mobil adalah keheningan yang tegang, diwarnai oleh adrenalin kekuasaan yang baru saja mereka raih.
Aruna melepaskan rangkulan Arya begitu pintu lift tertutup. Ia berjalan menuju jendela besar, memandang lampu kota yang gemerlap. “Kerja yang bagus, Tuan R,” ujar Aruna, suaranya kembali dingin. “Kinanti Atmadja tampak seperti akan pingsan. Dia pasti yakin Anda adalah mantan suaminya.” Arya membuka jaket tuksedonya dan melemparkannya ke sofa. Ia menuangkan sebotol whisky ke dalam dua gelas. “Perasaan dan keyakinan Kinanti tidak penting. Yang penting adalah dampak di pasar. Widjaja menarik seluruh tuntutan mereka hari ini. Proyek Anda aman.” Aruna berbalik. “Anda belum menjawab pertanyaan saya sejak Bab 1. Kenapa Anda begitu membenci Kinanti? Kebencian Anda padanya terasa sangat pribadi.” Arya berjalan mendekat, menyodorkan salah satu gelas whisky pada Aruna. Aruna mengambilnya, mata mereka bertemu di atas tepi gelas. “Ambil kursi, Aruna. Ada cerita yang harus kau dengar agar kau mengerti mengapa aku tidak pernah peduli pada kelemahan,” kata Arya, nadanya berubah serius. Arya duduk. Aruna duduk di hadapannya, bersiap mendengarkan. Ia tahu cerita ini akan menjadi kunci dari Tuan R yang misterius. *** Flashback Lima Tahun Lalu "Kinanti Atmadja adalah cinta pertamaku, dan satu-satunya yang kutahu tentang keluarga," Arya memulai, suaranya hampa emosi. Arya muda, yang saat itu masih menjadi mahasiswa berprestasi dari panti asuhan, bertemu Kinanti di acara amal. Kinanti saat itu terlihat polos, lembut, dan seolah tidak peduli dengan kekayaan. Mereka jatuh cinta. Pernikahan mereka terjadi setahun kemudian, tetapi bukan tanpa syarat. Keluarga Atmadja menuntut Arya menandatangani perjanjian pranikah yang sangat berat, menjadikannya 'menantu kontrak' tanpa hak waris, hanya untuk menyelamatkan Kinanti dari perjodohan politis yang rumit. Arya, karena cinta buta, setuju. "Aku mencintainya. Aku melakukan segalanya untuknya. Aku menanggung semua penghinaan dari Laras dan keluarganya karena aku percaya pada Kinanti," kenang Arya. Dua tahun pernikahan, kekejaman keluarga Atmadja meningkat, dan Kinanti berubah. Ia mulai menuntut, menghina pekerjaan kecil Arya, dan bahkan mengunci Arya dari kamar utama, memaksanya tidur di gudang. "Aku tidak tahu mengapa ia berubah begitu drastis. Sampai enam bulan lalu," lanjut Arya. "Aku mencoba memberinya kejutan ulang tahun, dan aku menemukan sebuah dokumen rahasia di brankasnya." *Arya berhenti sejenak, meneguk wiski nya.* "Dokumen itu adalah perjanjian rahasia antara Kinanti dan ayahnya, Bramantya Atmadja. Pernikahan kami bukanlah upaya Kinanti melarikan diri dari perjodohan, melainkan jebakan yang disiapkan Bramantya untuk melindungi bisnisnya dari musuh yang kini kuduga adalah musuh Tirtayasa. Kinanti tahu sejak awal bahwa ia harus memperlakukanku dengan buruk agar aku tetap 'kecil' dan 'tak terlihat', sesuai rencana ayahnya." Aruna menahan napas. "Dia mengorbankanmu?" "Lebih dari itu. Dokumen itu menunjukkan bahwa Kinanti secara aktif membantu ayahnya menjebakku, menggunakanku sebagai umpan dan penutup. Dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya menjalankan peran," jelas Arya, tanpa ekspresi. "Cinta yang kuberikan adalah alat kebodohanku. Kebencian, penghinaan, gudang tua... semua itu adalah bagian dari skenario untuk membuatku hancur secara psikologis dan akhirnya meninggalkan mereka tanpa menuntut apa-apa." "Dan gugatan cerai itu?" "Gugatan cerai itu adalah penutup yang sempurna. Mereka ingin aku pergi sebelum aku menyadari kebenaran. Trauma pengkhianatan itu yang membuat segel memori Tirtayasa terbuka," kata Arya. "Kinanti bukan korban. Dia adalah pelakunya. Dia adalah wanita yang memilih kekayaan dan status daripada martabat manusia." *** Aruna memandang Arya. Matanya tidak menunjukkan simpati, tetapi mengerti. Kisah itu terasa familiar; dunia elit memang dipenuhi pengkhianatan yang dingin. “Jadi, kau menghancurkan harga dirinya dengan memamerkan dirimu sebagai Tuan R,” simpul Aruna. “Itu pembalasan yang efektif.” “Itu hanya pemanasan,” kata Arya. “Pembalasan sejati akan terjadi saat aku mengambil segalanya dari Atmadja Group, sepotong demi sepotong. Dan kau, Aruna, adalah pedangku untuk melakukan itu. Kau harus membantuku menguasai saham saham strategis yang berhubungan dengan Atmadja tanpa menarik perhatian musuh Tirtayasa.” Aruna mengangguk, meletakkan gelasnya. Matanya kini bersinar dengan ambisi. “Permainan ini mulai menarik, Tuan R. Aku suka kehancuran yang terencana.” "Bagus," kata Arya, berjalan ke jendela. "Sekarang tentang perjanjian kita. Di luar kantor, di depan umum, kita harus meyakinkan semua orang bahwa kita adalah pasangan." "Aku tahu aturannya," sela Aruna. "Aliansi kekuasaan yang intim. Tapi aku benci kontak fisik yang tidak perlu." Arya berbalik, berjalan mendekati Aruna. Aruna secara naluriah berdiri, memasang jarak, tetapi Arya tidak memberikan celah. Ia berdiri sangat dekat, hanya menyisakan beberapa inci. "Kau harus membiasakannya," bisik Arya. "Aku tidak bisa membiarkan orang meragukan kita. Malam ini, aku akan mengajarimu bagaimana menjadi pasangan yang meyakinkan." Arya meletakkan tangannya di pinggang Aruna, menariknya sedikit mendekat. Sentuhan itu dingin dan berwibawa, bukan nafsu. Aruna merasakan denyutan aneh di perutnya. Tidak ada pria yang berani menyentuhnya seperti ini tanpa izin. "Peluk aku, Aruna," perintah Arya, suaranya rendah. "Peluk seperti kau akan kehilangan aset berhargamu. Anggap aku sebagai Laksita Corp yang kau lindungi." Aruna ragu sejenak, tetapi ia terpaksa menurut. Ia melingkarkan lengannya di leher Arya. Tubuh mereka kini sangat dekat. "Terlalu kaku," kritik Arya, tanpa memeluk balik. Ia hanya berdiri tegap. "Rasakan ini. Jika aku memelukmu di depan umum, itu bukan karena cinta. Itu adalah pernyataan: 'Dia milikku. Jangan sentuh atau kau mati.' Kau harus memberikan respon yang sama dinginnya, namun menenangkan." Arya akhirnya memeluknya erat, menenggelamkan wajahnya di rambut Aruna. Pelukan itu kuat, posesif, dan sama sekali tanpa gairah romantis hanya kekuasaan murni. Aruna merasakan hatinya berdebar tak karuan. Pelukan ini terasa aneh. Mengancam, tetapi entah mengapa, terasa sangat aman. Ia membiarkan kepalanya bersandar di dada Arya, dadanya yang dingin namun keras seperti batu. "Pernyataan yang sangat jelas," bisik Aruna. "Bagus. Sekarang kau mengerti. Kita akan melakukannya sampai sentuhan kita tidak lagi terasa canggung. Sekarang, pergi tidur di kamar sebelah. Aku harus bekerja." Arya melepaskan pelukan itu secepat ia memulainya. Pelukan itu menghilang, meninggalkan rasa dingin di tempatnya. Ia kembali menjadi Tuan R, Sang Naga Hitam. Aruna, meskipun benci diperintah, merasakan sedikit kecewa karena pelukan itu berakhir. Ia mengangguk, mengambil whisky nya, dan berjalan menuju kamar tamu. Di sana, ia menyadari satu hal: ia tidak hanya menjual kekuasaannya pada Arya, ia juga mulai menjual emosinya.
Malam itu, penthouse Arya terasa sangat berbeda. Ciuman publik yang dingin dan penuh kuasa itu telah memecahkan ketegangan, tetapi menggantinya dengan keheningan yang lebih berat dan intim. Arya duduk di sofa, memejamkan mata, memproses semua data yang baru ia terima dari Kakek Pranata mengenai pergerakan underground setelah jatuhnya Atmadja Group. Aruna, setelah menyelesaikan panggilan telepon krusial yang mengamankan saham Atmadja, berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri. Aruna berbalik dan berjalan menghampiri Arya. Ia tidak bertanya tentang ciuman itu, melainkan langsung ke masalah. "Kinanti Atmadja akan mengajukan kebangkrutan besok pagi," kata Aruna, suaranya datar. "Kita mendapatkan 70% saham strategis mereka. Itu sudah cukup untuk menguasai jalur logistik. Tapi Daniel Kusumo menghilang. Dia mengambil sisa aset likuid dan melarikan diri." Arya membuka mata. Matanya menunjukkan perhitungan yang dingin. "Daniel tidak penting. Dia hanya boneka. Biarkan dia pergi. Tujuan uta
Beberapa minggu berlalu sejak perjanjian di gudang tua. Di mata publik dan bursa saham, aliansi Tuan R dan Aruna Laksita adalah badai yang tak terhentikan. Black Dragon Capital bergerak cepat, membersihkan masalah hukum Laksita Corp dengan presisi mematikan. Widjaja Group, musuh lama Aruna, mengalami kerugian telak dan terpaksa menarik diri dari persaingan infrastruktur. Arya dan Aruna menjalankan sandiwara mereka dengan sempurna. Di hadapan kamera, mereka adalah pasangan yang dingin dan dominan. Di balik layar, mereka adalah mitra yang efisien, berbagi kamar penthouse yang sama namun dengan batasan yang ketat Arya sibuk mengurai benang merah kekuasaan yang ditinggalkan Klan Tirtayasa. Malam itu, Arya duduk di depan dinding video di ruang kerjanya, yang menampilkan grafik saham Atmadja Group. Saham perusahaan itu stabil, tetapi Arya tahu, di bawah permukaan, ada retakan yang ia buat. "Atmadja Group bergerak di sektor distributor impor," jelas Arya pada Aruna, yang sedang membaca la
Setelah pesta peluncuran yang mengguncang ibukota, Arya membawa Aruna kembali ke penthouse milik nya. Keheningan di antara mereka di dalam mobil adalah keheningan yang tegang, diwarnai oleh adrenalin kekuasaan yang baru saja mereka raih. Aruna melepaskan rangkulan Arya begitu pintu lift tertutup. Ia berjalan menuju jendela besar, memandang lampu kota yang gemerlap. “Kerja yang bagus, Tuan R,” ujar Aruna, suaranya kembali dingin. “Kinanti Atmadja tampak seperti akan pingsan. Dia pasti yakin Anda adalah mantan suaminya.” Arya membuka jaket tuksedonya dan melemparkannya ke sofa. Ia menuangkan sebotol whisky ke dalam dua gelas. “Perasaan dan keyakinan Kinanti tidak penting. Yang penting adalah dampak di pasar. Widjaja menarik seluruh tuntutan mereka hari ini. Proyek Anda aman.” Aruna berbalik. “Anda belum menjawab pertanyaan saya sejak Bab 1. Kenapa Anda begitu membenci Kinanti? Kebencian Anda padanya terasa sangat pribadi.” Arya berjalan mendekat, menyodorkan salah satu gelas whisky
Berita tentang aliansi bisnis antara Black Dragon Capital milik Tuan R dan Laksita Corp menyebar di kalangan elit ibukota seperti virus. Namun, yang lebih mengejutkan adalah berita yang dirilis dua hari kemudian: Aruna Laksita dan Tuan R dikabarkan menjalin hubungan yang sangat dekat, bahkan intim. Gosip bertebaran, didorong oleh sebuah foto yang menunjukkan Aruna dan Tuan R meninggalkan pertemuan larut malam, dengan Aruna bersandar sedikit di bahu Tuan R. Di kediaman Atmadja yang mewah, Kinanti melemparkan majalah Elite Asia ke lantai marmer. Halaman depannya menampilkan foto*candid Aruna dan Tuan R dengan judul: "Pasangan Kekuasaan Baru: Bisnis, Cinta, atau Ancaman?" "Tidak mungkin! Dia tidak mungkin Arya!" teriak Kinanti, menunjuk foto Tuan R. Laras, ibunya, duduk santai sambil menyeruput teh. "Tenang, Kinanti. Itu hanya kemiripan fisik yang kebetulan. Pria di foto itu memiliki aura yang seribu kali lebih berbahaya dari menantu sampah yang kita buang. Arya tidak akan pernah b
Pukul delapan malam tepat. Aruna Laksita mengendarai sedan mewahnya sendiri, tanpa sopir, tanpa pengawal. Ia mengenakan setelan bisnis sederhana yang elegan, membuang jauh jauh gaun pesta dan perhiasan mahalnya. Ia menuruti setiap perintah Tuan R dengan perasaan terhina, tetapi ia tahu ia tidak punya pilihan. Kekalahan adalah aib yang tidak bisa ditanggungnya. Alamat yang diberikan Tuan R membawanya kembali ke pinggiran kota yang suram, ke gedung tua yang sama sekali tidak terlihat seperti markas konglomerat. Aruna memarkir mobilnya di depan pintu baja besar dan melangkah keluar, langsung disambut oleh aura dingin dan sunyi. Pintu itu terbuka, dan yang menyambutnya adalah Kakek Pranata. Pria tua itu menatap Aruna dengan mata tajam, seolah sedang menilai kualitas barang dagangan. “Nona Laksita. Selamat datang di sarang kami. Tuan R sudah menunggu,” sapa Kakek Pranata, suaranya parau. Aruna mempertahankan postur angkuhnya. “Saya lebih suka bertemu Tuan R di kantor yang lebih layak
Aruna Laksita, pewaris tunggal Laksita Corp, dikenal memiliki saraf sekeras baja. Jarang sekali ada yang bisa membuatnya kehilangan ketenangan, apalagi di depan umum. Namun, kartu nama hitam pekat yang diletakkan Tuan R di gelas sampanyenya terasa seperti bom waktu yang berdetak di tangannya. Ia menatap kartu itu lama. Tidak ada logo mewah, tidak ada nomor telepon pribadi, hanya nama perusahaan Black Dragon Capital dengan font Gothic yang elegan, dan di bawahnya: R. Singkat, misterius, dan arogan seperti pria yang memberikannya. “Siapa pria itu?” Aruna bertanya pada asisten pribadinya, Raya, dengan nada rendah yang tidak berusaha menutupi kekesalannya. Raya, seorang wanita cerdas yang selalu sigap, berbisik, “Dia dikenal sebagai Tuan R, Nona. Tidak ada jejaknya di dunia elit sebelum tiga hari lalu, saat ia mendirikan Black Dragon Capital dari sisa sisa perusahaan bangkrut. Tapi desas desus mengatakan, ia tiba-tiba memegang likuiditas miliaran, dan memiliki jaringan yang sangat rah








