LOGINBeberapa minggu berlalu sejak perjanjian di gudang tua. Di mata publik dan bursa saham, aliansi Tuan R dan Aruna Laksita adalah badai yang tak terhentikan. Black Dragon Capital bergerak cepat, membersihkan masalah hukum Laksita Corp dengan presisi mematikan. Widjaja Group, musuh lama Aruna, mengalami kerugian telak dan terpaksa menarik diri dari persaingan infrastruktur.
Arya dan Aruna menjalankan sandiwara mereka dengan sempurna. Di hadapan kamera, mereka adalah pasangan yang dingin dan dominan. Di balik layar, mereka adalah mitra yang efisien, berbagi kamar penthouse yang sama namun dengan batasan yang ketat Arya sibuk mengurai benang merah kekuasaan yang ditinggalkan Klan Tirtayasa. Malam itu, Arya duduk di depan dinding video di ruang kerjanya, yang menampilkan grafik saham Atmadja Group. Saham perusahaan itu stabil, tetapi Arya tahu, di bawah permukaan, ada retakan yang ia buat. "Atmadja Group bergerak di sektor distributor impor," jelas Arya pada Aruna, yang sedang membaca laporan di sofa. "Mereka sangat bergantung pada jalur suplai dari Asia Tenggara. Ayah Kinanti, Bramantya, mengira jalur ini aman." Aruna meletakkan laporannya. "Anda berencana mengganggu rantai suplai mereka? Itu akan menjatuhkan saham mereka, Tuan R." "Aku akan lebih dari sekadar mengganggu. Aku akan memutusnya," jawab Arya, matanya memancarkan kegelapan. "Jalur suplai utama Atmadja dikendalikan oleh 'The Golden Hand', kelompok underground di Singapura. Mereka berhutang budi besar pada Klan Tirtayasa. Dan sekarang, mereka berhutang budi padaku." Arya mengklik sebuah tombol. Di layar muncul laporan transfer besar besaran dana dari Black Dragon Capital ke rekening luar negeri yang dirahasiakan. "Aku baru saja membeli loyalitas mereka," kata Arya. "Besok pagi, Atmadja tidak akan menerima satu pun kiriman impor. Stok mereka akan kosong, kerugian besar, dan bursa akan panik. Ini adalah serangan jantung finansial. Kinanti dan ayahnya akan menyaksikannya dari kursi VIP." Aruna menatap Arya dengan tatapan baru kagum bercampur hati hati. Ia telah melihat banyak penguasa bisnis, tetapi tidak ada yang sekejam dan seefisien ini. "Anda tidak pernah berjanji untuk menjatuhkan Atmadja begitu cepat," ujar Aruna. "Ini bukan janji, ini pembalasan. Dan ini adalah ujian bagimu, Aruna. Saat pasar panik, kau harus memastikan Laksita Corp tidak terlihat terlibat, tetapi saham Atmadja yang jatuh harus kita serap melalui holding tersembunyi. Kau harus melakukan takeover diam diam," perintah Arya. Aruna menyeringai, menerima tantangan itu. "Aku suka tekanan. Tapi, Tuan R, jika Anda menghancurkan Atmadja, Anda berhadapan langsung dengan musuh lamanya, dan mungkin musuh lama ayah Anda." "Itu yang aku inginkan," kata Arya, berdiri. "Aku ingin menarik mereka keluar dari bayangan." *** Keesokan harinya, pasar saham geger. Atmadja Group mengalami *collapse* dramatis. Daniel Kusumo dan Kinanti panik, sementara Bramantya Atmadja berusaha keras menutupi kerugian. Malam harinya, di sebuah acara gala dinner yang diadakan oleh Bank Sentral, suasana terasa tegang. Semua orang menatap Atmadja Group yang sedang sekarat. Kinanti dan Daniel duduk di sudut ruangan, wajah Kinanti pucat dan dipenuhi air mata yang ditahan. Ia melihat Arya dan Aruna memasuki ruangan, lagi-lagi mencuri seluruh perhatian. Kinanti tidak tahan lagi. Ia bangkit, berjalan mendekati Arya saat Arya sedang menuangkan wine untuk Aruna. "Arya! Kau yang melakukan ini, bukan?" Kinanti berbisik, suaranya bergetar. "Kau yang menghancurkan ayahku! Ini semua karena dendam bodohmu!" Arya berhenti menuang wine. Ia menoleh, matanya yang dingin menatap Kinanti dengan rasa jijik. Aruna hanya diam, menikmati drama itu. "Nona Atmadja," kata Arya, suaranya pelan namun menusuk. "Aku sudah bilang, aku tidak mengenalmu. Dan perusahaanmu jatuh karena kebodohan manajerial, bukan karena 'dendam bodoh'. Kau menghina kejeniusanku, Kinanti." "Tidak! Aku tahu itu kau! Kau tidak akan pernah bisa melupakan" Arya memotong Kinanti dengan gerakan tiba tiba yang membuat semua orang yang berada di dekat mereka menoleh. Arya menoleh ke Aruna, tangannya memegang wajah Aruna dengan lembut yang kontras dengan tatapannya yang tajam. "Aruna," kata Arya, seolah Kinanti tidak ada. "Aku lelah dengan kebisingan yang tidak relevan ini. Buktikan pada dunia bahwa kau adalah satu satunya fokusku." Tanpa menunggu Aruna menjawab, Arya mencondongkan tubuhnya dan mencium Aruna. Ciuman itu bukan ciuman romantis. Itu adalah Ciuman Kekuasaan dingin, mendominasi, dan sangat publik. Bibir Arya menekan bibir Aruna, mengirimkan gelombang kejut yang membuat Aruna terpaku. Ciuman itu adalah pernyataan, menunjukkan pada Kinanti dan seluruh elit bahwa ia tidak memiliki waktu atau perhatian untuk mantan istrinya. Aruna, meskipun terkejut dengan tindakan impulsif Arya, dengan cepat merespon. Ia membalas ciuman itu dengan dingin, melingkarkan tangannya di leher Arya, memperdalam ilusi bahwa mereka adalah pasangan yang penuh gairah dan ancaman. Kinanti menyaksikan adegan itu dengan mata terbelalak, air mata akhirnya jatuh. Hatinya hancur. Ia tidak hanya kehilangan kekuasaan, ia juga kehilangan harga dirinya. Ia melihat Kinanti menangis tersedu-sedu, Daniel Kusumo yang terpaku, dan seluruh hadirin yang bisik-bisik, mengonfirmasi status Arya. Ketika Arya melepaskan ciuman itu, ia menatap Aruna sejenak pandangan yang masih dingin, tetapi ada sedikit pertanyaan tersembunyi. Aruna menanggapi dengan senyum tipis, sombong, dan berbahaya. "Itu efektif," bisiknya. Arya tersenyum tipis, sebuah seringai yang mematikan. Ia menoleh ke Kinanti, yang kini diseret pergi oleh Daniel. "Pesan telah disampaikan," kata Arya, kembali ke mode bisnisnya. "Selesaikan penyerapan saham Atmadja. Malam ini, kau mendapatkan separuh pembalasanku." Aruna merasakan bibirnya sedikit mati rasa, tetapi hatinya berdebar. Ciuman itu, meskipun dingin, telah menciptakan ikatan yang tak terduga antara mereka. Ia tahu, Tuan R telah membuat langkah besar, bukan hanya di dunia bisnis, tetapi juga ke dalam hati Aruna yang beku.Tepat tiga jam kemudian, Erika Schmidt, The Architect, kembali ke penthouse Arya dan Aruna Laksita. Ekspresinya menunjukkan konflik antara kehati-hatian dan ambisi yang menggebu. Komite Tujuh di Eropa telah memberikan izin; Proyek infrastruktur Singapura yang ditawarkan Black Dragon Capital terlalu besar dan terlalu menguntungkan untuk dilewatkan."Kami menerima tawaran kemitraan Anda," kata Erika, menjabat tangan Aruna dengan profesional. "Namun, kami menuntut transparansi penuh. Kami ingin semua perjanjian kontrak diatur di bawah hukum Swiss untuk menghindari yurisdiksi Asia.""Tentu saja," jawab Aruna dengan senyum dingin. "Kami menghargai standar hukum Eropa. Namun, untuk memulai proyek di Singapura, kontrak awal harus ditandatangani di bawah Hukum Kontrak Singapura, hanya sebagai formalitas awal. Setelah itu, kita bisa beralih ke Swiss."Erika Schmidt, yang terlalu fokus pada klausa utama yang akan ia negosiasikan nanti, sedikit mengabaikan formalitas kecil ini. Ia menganggap Huk
Setahun setelah kehancuran Geng Utara dan pernikahan politik mereka, kekuasaan Arya dan Aruna Laksita berada di puncaknya. Klan Tirtayasa telah sepenuhnya mencaplok aset Tuan Besar, dan Black Dragon Capital menjadi entitas keuangan global yang tak terhindarkan. Pesta pertunangan Arya dan Aruna, meskipun dikemas secara minimalis, telah mengukuhkan mereka sebagai Pasangan Kekuasaan yang tak tertandingi di Asia.Mereka sekarang tinggal di markas utama yang baru, sebuah menara pribadi di jantung distrik bisnis Singapura, simbol perpindahan pusat gravitasi kekuasaan mereka.Sore itu, Aruna sedang berada di kantor pribadinya, mengawasi pergerakan konsolidasi aset real estate di Eropa Timur. Arya masuk, wajahnya menunjukkan ketegasan yang mendalam, bukan kemarahan."Masalah di Rumania?" tanya Aruna tanpa mendongak, merasakan aura Arya."Lebih besar," jawab Arya, mendekati meja Aruna. Ia meletakkan selembar dokumen tebal yang dihiasi dengan segel resmi yang asing. "Aku menerima ini dari Jari
Beberapa bulan telah berlalu sejak malam berdarah di atas kapal pesiar The Northern Star. Berita tentang kekalahan Geng Utara tidak pernah sampai ke media massa; itu adalah berita yang hanya beredar di kalangan elit tergelap di Asia. Tuan Besar dari Mongolia tewas, Evan Adhiguna tewas, dan kekosongan kekuasaan yang tercipta dengan cepat diisi oleh kekuatan baru klan Tirtayasa, yang kini dipimpin oleh Arya.Di mata publik, Tuan R baru saja menuntaskan investasi besar besaran di Singapura dan kembali ke Jakarta dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan.Arya dan Aruna Laksita duduk di ruang kerja penthouse mereka, yang kini jauh lebih besar dan lebih mewah, terletak di puncak gedung tertinggi di ibukota. Lantai kaca memperlihatkan pemandangan seluruh Jakarta yang berkilauan di bawah kendali mereka.Arya, meskipun telah pulih dari luka tembaknya, kini membawa bekas luka tipis di perutnya—pengingat permanen akan malam di Panti Asuhan. Ia tampak lebih tenang, lebih dingin, dan jauh lebih berba
Kapal pesiar mewah The Northern Star berlayar perlahan di Selat Singapura. Di dek teratas, ruang dansa yang dihias mewah menjadi tempat pertemuan paling berbahaya di Asia. Para kepala sindikat kriminal terbesar berkumpul, menunggu konfrontasi yang telah mereka dengar: bangkitnya Klan Tirtayasa melawan hegemoni Geng Utara.Arya dan Aruna Laksita tiba dengan perahu speedboat di tengah malam, dikawal oleh Kakek Pranata dan dua pengawal Tirtayasa yang menyamar sebagai kru kapal. Arya terlihat sempurna dalam tuksedonya, menyembunyikan rasa sakit dari luka tembak di perutnya. Aruna, mengenakan gaun malam emas yang mencolok, memancarkan aura kekuasaan yang kejam, persis seperti Ratu yang sombong.Mereka memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada mereka. Bisikan berdesir, mengomentari keberanian, atau kebodohan, Arya yang muncul di hadapan musuh-musuhnya.Di tengah ruangan, duduklah Lelaki Tua dari Mongolia, Tuan Besar Geng Utara. Ia adalah pria tua dengan aura dingin yang mematikan, dikelilin
Setelah insiden di Panti Asuhan Kasih Bunda dan markas Menteng, Jakarta kembali tenang, namun di bawah permukaan, gejolak kekuasaan sedang memuncak. Arya dilarikan ke fasilitas medis rahasia Tirtayasa di bawah pengawasan ketat Kakek Pranata. Luka tembak di perutnya cukup dalam, membutuhkan operasi mendesak dan pemulihan yang lambat.Beberapa hari pertama adalah pertarungan antara hidup dan mati. Darah yang hilang dan trauma akibat benturan fisik membuat Arya terbaring lemah. Ia tidak bisa langsung "naik tingkat" atau pulih secara instan.Aruna Laksita tidak pernah meninggalkan sisinya. Ia duduk di samping ranjang Arya, di ruangan steril yang dijaga ketat oleh pengawal klan. Ia mengabaikan pekerjaannya di Laksita Corp, mendelegasikannya kepada Raya. Bagi Aruna, Arya adalah prioritas utama."Anda melanggar perintah," bisik Aruna suatu sore, saat Arya membuka matanya, wajahnya sangat pucat. "Anda seharusnya tetap hidup dan sehat, bukan berakhir di sini."Arya mencoba tersenyum, tetapi h
Di Panti Asuhan Kasih Bunda, Arya dihadapkan pada ancaman mematikan. Dua pengawal Evan melepaskan tembakan ke arahnya. Arya bergerak cepat, mengandalkan refleks yang diasah oleh pelatihan Klan Tirtayasa. Ia melompat ke balik tiang beton, peluru menghantam dinding di belakangnya."Kau tidak akan lari, Arya!" teriak Kinanti, kini berdiri di samping Evan, wajahnya puas melihat mantan suaminya dalam kesulitan. "Kau akan mati di sini, di tempat kenanganmu!"Arya tahu ia tidak bisa melawan mereka berdua dengan senjata api di ruang terbuka. Ia melemparkan pisau Tirtayasa ke arah lampu gantung, memadamkan satu satunya sumber cahaya di aula. Kegelapan menyelimuti ruangan, memberikan Arya keunggulan.Pertarungan kembali ke mode yang Arya kuasai: pertempuran bayangan. Ia bergerak secepat hantu, menggunakan suara langkah kaki Kinanti dan Evan sebagai panduan.***Sementara itu, di kawasan Menteng, Aruna Laksita telah tiba di rumah tua yang dicurigai sebagai markas rahasia Evan. Drone kecil yang i







