LOGINPukul delapan malam tepat. Aruna Laksita mengendarai sedan mewahnya sendiri, tanpa sopir, tanpa pengawal. Ia mengenakan setelan bisnis sederhana yang elegan, membuang jauh jauh gaun pesta dan perhiasan mahalnya.
Ia menuruti setiap perintah Tuan R dengan perasaan terhina, tetapi ia tahu ia tidak punya pilihan. Kekalahan adalah aib yang tidak bisa ditanggungnya. Alamat yang diberikan Tuan R membawanya kembali ke pinggiran kota yang suram, ke gedung tua yang sama sekali tidak terlihat seperti markas konglomerat. Aruna memarkir mobilnya di depan pintu baja besar dan melangkah keluar, langsung disambut oleh aura dingin dan sunyi. Pintu itu terbuka, dan yang menyambutnya adalah Kakek Pranata. Pria tua itu menatap Aruna dengan mata tajam, seolah sedang menilai kualitas barang dagangan. “Nona Laksita. Selamat datang di sarang kami. Tuan R sudah menunggu,” sapa Kakek Pranata, suaranya parau. Aruna mempertahankan postur angkuhnya. “Saya lebih suka bertemu Tuan R di kantor yang lebih layak. Tempat ini terlihat seperti tempat pembuangan sampah.” Kakek Pranata tertawa kecil. “Tuan R berbisnis dengan masalah yang dibuang oleh orang lain, Nona. Masuklah.” Aruna melangkah ke dalam gudang besar itu. Lampu neon berkelip redup, dan udara berbau besi, tembakau, dan… kekuasaan. Di tengah ruangan, di bawah satu satunya lampu sorot yang terang, duduklah Arya di kursi kulit hitam. Di depannya, di atas meja logam tua, terhampar dokumen-dokumen dan sebuah pistol yang tergeletak santai, seolah menjadi bagian dekorasi alami. “Tepat waktu,” sapa Arya tanpa berdiri. Matanya yang sedingin es menyambut Aruna. “Duduk.” Aruna merasakan kemarahan meluap di dadanya karena perlakuan itu. Ia, Aruna Laksita, tidak pernah diperlakukan seperti bawahan. Namun, ia duduk. “Langsung ke intinya, Tuan R,” ujar Aruna. “Klaim hukum yang diajukan hari ini. Anda di belakangnya?” Arya menyeringai dingin. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Anda terlalu meremehkan potensi musuh Anda, Nona Laksita. Saya bukan pembuat masalah. Saya adalah pemadam kebakaran yang tahu bagaimana cara memicu api. Musuh Anda, Keluarga Widjaja, adalah dalangnya. Tapi ya, saya tahu semua tentang dokumen hak guna lahan yang membuat proyek Anda terhenti.” Arya mendorong sebuah flash drive hitam ke hadapan Aruna. “Di dalamnya, ada salinan dokumen asli yang membuktikan klaim tersebut. Jika dokumen itu diserahkan ke pengadilan, proyek Anda mati. Laksita Corp akan kehilangan miliaran dan reputasi Anda hancur.” Aruna mengambil flash drive itu, tangannya sedikit gemetar. “Kenapa… kenapa Anda memiliki ini?” “Karena itu adalah warisan dari ayah saya. Jaringan kami telah mengawasi lahan itu selama bertahun tahun. Kebetulan, kami juga mengawasi kelemahan bisnis besar di ibukota. Sekarang, saatnya negosiasi. Anda butuh saya untuk menghancurkan klaim ini dan membungkam Widjaja. Saya butuh sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang Anda.” Aruna menatapnya tajam. “Katakan. Apa yang Anda inginkan? Saham? Jabatan CEO Laksita? Saya bisa memberikannya.” Arya tertawa pelan, tawa yang menusuk seperti es. “Saya tidak butuh perusahaan Anda, Nona. Saya bisa membeli sepuluh perusahaan seperti Laksita jika saya mau. Yang saya butuhkan adalah kendali penuh atas diri Anda, Aruna Laksita.” Aruna terkejut. “Apa maksud Anda? Kendali?” “Saya butuh Anda sebagai partner, Aruna. Front publik saya. Wajah yang bersih dan terpercaya di dunia elit. Anda akan menjadi perisai saya, yang memungkinkan Black Dragon Capital masuk ke bisnis legal tanpa terdeteksi oleh musuh lama saya. Di depan publik, kita adalah aliansi bisnis yang kuat. Di balik layar, Anda menuruti semua perintah saya, tanpa pertanyaan. Anda adalah Ratu saya di panggung, dan saya adalah Raja yang mengendalikan Anda dari bayangan.” Aruna bangkit, wajahnya merah karena marah. “Anda gila! Anda meminta saya untuk menjadi boneka. Saya tidak akan menjual diri saya, Tuan R!” Arya juga bangkit, gerakannya tiba-tiba dan cepat. Ia mendekat, auranya yang dingin dan gelap menyelimuti Aruna. Ia mencondongkan tubuhnya, tatapannya menusuk mata Aruna. “Anda sudah menjual diri Anda, Aruna. Saat ini, harga diri Anda adalah nol. Jika Anda keluar dari ruangan ini tanpa perjanjian, besok pagi, Widjaja akan mengajukan dokumen ini. Anda akan kehilangan semuanya. Anda akan malu seumur hidup. Saya menawarkan Anda kesempatan untuk berkuasa, atau hancur. Pilih.” Ketegangan di antara mereka begitu pekat. Kedua karakter dominan itu bertarung dalam perang psikologis yang panas dan dingin. Aruna merasakan bau tembakau Arya, sentuhannya yang hampir menyentuh, tetapi ia menolak untuk mundur. “Jika saya setuju,” desis Aruna, “apa imbalan saya? Selain menyelamatkan proyek bodoh ini.” “Imbalan Anda?” Arya menyeringai, senyum pemangsa. “Saya akan membuat Anda tak terkalahkan. Anda akan mendapatkan kekuasaan di ibukota yang bahkan ayah Anda tidak pernah mimpikan. Saya akan melenyapkan musuh Anda satu per satu. Dan yang paling penting… Anda akan memiliki akses penuh ke sumber daya tak terbatas dari Klan Tirtayasa. Semua kekuasaan, tanpa nama kotor.” Arya menarik diri, menciptakan jarak fisik yang kembali dingin. “Saya ingin jawaban Anda sekarang, Nona Laksita. Ya, atau pergi dan tenggelam.” Aruna menatap matanya lama. Ia tidak melihat nafsu, tidak melihat cinta, hanya melihat kekuatan dan ambisi yang murni. Ini bukan pria yang akan menghancurkannya, melainkan pria yang akan membantunya menguasai dunia. “Baik,” kata Aruna, suaranya nyaris tak terdengar. “Saya terima. Saya akan menjadi aliansi Anda. Tapi ingat, Tuan R, jika Anda mencoba mengkhianati saya, atau mencoba mengendalikan saya terlalu jauh… saya akan menjadi musuh yang paling Anda sesali.” “Ancaman yang bagus,” puji Arya, mengulurkan tangan. “Saya menghargai keberanian Anda. Selamat datang di tim saya, Aruna. Dan perjanjian pertama kita: mulai besok, Anda dan saya akan tampil sebagai pasangan yang sangat dekat. Bukan cinta, melainkan kekuasaan. Ini akan menjadi tamparan keras di wajah para elit bodoh itu.”Tepat tiga jam kemudian, Erika Schmidt, The Architect, kembali ke penthouse Arya dan Aruna Laksita. Ekspresinya menunjukkan konflik antara kehati-hatian dan ambisi yang menggebu. Komite Tujuh di Eropa telah memberikan izin; Proyek infrastruktur Singapura yang ditawarkan Black Dragon Capital terlalu besar dan terlalu menguntungkan untuk dilewatkan."Kami menerima tawaran kemitraan Anda," kata Erika, menjabat tangan Aruna dengan profesional. "Namun, kami menuntut transparansi penuh. Kami ingin semua perjanjian kontrak diatur di bawah hukum Swiss untuk menghindari yurisdiksi Asia.""Tentu saja," jawab Aruna dengan senyum dingin. "Kami menghargai standar hukum Eropa. Namun, untuk memulai proyek di Singapura, kontrak awal harus ditandatangani di bawah Hukum Kontrak Singapura, hanya sebagai formalitas awal. Setelah itu, kita bisa beralih ke Swiss."Erika Schmidt, yang terlalu fokus pada klausa utama yang akan ia negosiasikan nanti, sedikit mengabaikan formalitas kecil ini. Ia menganggap Huk
Setahun setelah kehancuran Geng Utara dan pernikahan politik mereka, kekuasaan Arya dan Aruna Laksita berada di puncaknya. Klan Tirtayasa telah sepenuhnya mencaplok aset Tuan Besar, dan Black Dragon Capital menjadi entitas keuangan global yang tak terhindarkan. Pesta pertunangan Arya dan Aruna, meskipun dikemas secara minimalis, telah mengukuhkan mereka sebagai Pasangan Kekuasaan yang tak tertandingi di Asia.Mereka sekarang tinggal di markas utama yang baru, sebuah menara pribadi di jantung distrik bisnis Singapura, simbol perpindahan pusat gravitasi kekuasaan mereka.Sore itu, Aruna sedang berada di kantor pribadinya, mengawasi pergerakan konsolidasi aset real estate di Eropa Timur. Arya masuk, wajahnya menunjukkan ketegasan yang mendalam, bukan kemarahan."Masalah di Rumania?" tanya Aruna tanpa mendongak, merasakan aura Arya."Lebih besar," jawab Arya, mendekati meja Aruna. Ia meletakkan selembar dokumen tebal yang dihiasi dengan segel resmi yang asing. "Aku menerima ini dari Jari
Beberapa bulan telah berlalu sejak malam berdarah di atas kapal pesiar The Northern Star. Berita tentang kekalahan Geng Utara tidak pernah sampai ke media massa; itu adalah berita yang hanya beredar di kalangan elit tergelap di Asia. Tuan Besar dari Mongolia tewas, Evan Adhiguna tewas, dan kekosongan kekuasaan yang tercipta dengan cepat diisi oleh kekuatan baru klan Tirtayasa, yang kini dipimpin oleh Arya.Di mata publik, Tuan R baru saja menuntaskan investasi besar besaran di Singapura dan kembali ke Jakarta dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan.Arya dan Aruna Laksita duduk di ruang kerja penthouse mereka, yang kini jauh lebih besar dan lebih mewah, terletak di puncak gedung tertinggi di ibukota. Lantai kaca memperlihatkan pemandangan seluruh Jakarta yang berkilauan di bawah kendali mereka.Arya, meskipun telah pulih dari luka tembaknya, kini membawa bekas luka tipis di perutnya—pengingat permanen akan malam di Panti Asuhan. Ia tampak lebih tenang, lebih dingin, dan jauh lebih berba
Kapal pesiar mewah The Northern Star berlayar perlahan di Selat Singapura. Di dek teratas, ruang dansa yang dihias mewah menjadi tempat pertemuan paling berbahaya di Asia. Para kepala sindikat kriminal terbesar berkumpul, menunggu konfrontasi yang telah mereka dengar: bangkitnya Klan Tirtayasa melawan hegemoni Geng Utara.Arya dan Aruna Laksita tiba dengan perahu speedboat di tengah malam, dikawal oleh Kakek Pranata dan dua pengawal Tirtayasa yang menyamar sebagai kru kapal. Arya terlihat sempurna dalam tuksedonya, menyembunyikan rasa sakit dari luka tembak di perutnya. Aruna, mengenakan gaun malam emas yang mencolok, memancarkan aura kekuasaan yang kejam, persis seperti Ratu yang sombong.Mereka memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada mereka. Bisikan berdesir, mengomentari keberanian, atau kebodohan, Arya yang muncul di hadapan musuh-musuhnya.Di tengah ruangan, duduklah Lelaki Tua dari Mongolia, Tuan Besar Geng Utara. Ia adalah pria tua dengan aura dingin yang mematikan, dikelilin
Setelah insiden di Panti Asuhan Kasih Bunda dan markas Menteng, Jakarta kembali tenang, namun di bawah permukaan, gejolak kekuasaan sedang memuncak. Arya dilarikan ke fasilitas medis rahasia Tirtayasa di bawah pengawasan ketat Kakek Pranata. Luka tembak di perutnya cukup dalam, membutuhkan operasi mendesak dan pemulihan yang lambat.Beberapa hari pertama adalah pertarungan antara hidup dan mati. Darah yang hilang dan trauma akibat benturan fisik membuat Arya terbaring lemah. Ia tidak bisa langsung "naik tingkat" atau pulih secara instan.Aruna Laksita tidak pernah meninggalkan sisinya. Ia duduk di samping ranjang Arya, di ruangan steril yang dijaga ketat oleh pengawal klan. Ia mengabaikan pekerjaannya di Laksita Corp, mendelegasikannya kepada Raya. Bagi Aruna, Arya adalah prioritas utama."Anda melanggar perintah," bisik Aruna suatu sore, saat Arya membuka matanya, wajahnya sangat pucat. "Anda seharusnya tetap hidup dan sehat, bukan berakhir di sini."Arya mencoba tersenyum, tetapi h
Di Panti Asuhan Kasih Bunda, Arya dihadapkan pada ancaman mematikan. Dua pengawal Evan melepaskan tembakan ke arahnya. Arya bergerak cepat, mengandalkan refleks yang diasah oleh pelatihan Klan Tirtayasa. Ia melompat ke balik tiang beton, peluru menghantam dinding di belakangnya."Kau tidak akan lari, Arya!" teriak Kinanti, kini berdiri di samping Evan, wajahnya puas melihat mantan suaminya dalam kesulitan. "Kau akan mati di sini, di tempat kenanganmu!"Arya tahu ia tidak bisa melawan mereka berdua dengan senjata api di ruang terbuka. Ia melemparkan pisau Tirtayasa ke arah lampu gantung, memadamkan satu satunya sumber cahaya di aula. Kegelapan menyelimuti ruangan, memberikan Arya keunggulan.Pertarungan kembali ke mode yang Arya kuasai: pertempuran bayangan. Ia bergerak secepat hantu, menggunakan suara langkah kaki Kinanti dan Evan sebagai panduan.***Sementara itu, di kawasan Menteng, Aruna Laksita telah tiba di rumah tua yang dicurigai sebagai markas rahasia Evan. Drone kecil yang i






![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
