Jam menunjukkan pukul 21:30, hanya suara angin serta deru kendaraan yang terdengar di sepanjang jalan tol. Di kepala Carol saat ini hanya kabur, dia tidak punya cara lain untuk menghindari kejaran polisi.
Dia yakin polisi pasti sudah menemukan tanda pengenalnya yang terjatuh dari tas, besok bisa saja pihak kepolisian datang ke apartemen malah ke rumah ayahnya untuk mencarinya, dan Carol tidak ingin terperangkap di jeruji besi. Karena sudah bisa dipastikan ayahnya pasti lebih memilih lepas tangan dan tidak ingin terlibat.
Tangannya menggenggam setir erat, tulang buku jarinya memutih. Matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya berlari ke belakang—ke kejadian beberapa saat lalu yang membuatnya berada dalam posisi terjepit seperti sekarang.
“Sekarang aku harus kemana?” ucapnya kesal sambil memuku
Senyum getir hadir di wajah pucat Carol. “Memang apa yang kamu harapkan dariku hah? Kamu lihat sendiri kondisiku bagaimana? Bahkan setelah aku keluar dari tempat ini aku juga akan dipenjara, persis seperti ayah.”Jawaban itu tidak memuaskan Anya. “Kamu pasti bisa melakukan sesuatu kan?”Carol menatap tajam Anya. “Kenapa? Kenapa kau peduli? Aku tahu pasti kamu tidak pernah mau ambil pusing urusan kantor. Kamu hanya ingin uang ayah…” Kalimat Carol terhenti, tapi tatapannya makin tajam. “Atau… kamu melakukan ini untuk mendapat harta Ayah?”Mata Anya membola, dia tidak menyangka kalau putri teman kencannya itu bisa dengan cepat menangkap maksud hatinya. “Bu… bukan begitu, setidaknya kamu harus menyelamatkan bisnis ayahmu bukan? Itu juga untuk masa depanmu.”Meski Anya mengelak, Carol tahu betul siapa perempuan di hadapannya. Wanita itu hanya peduli dengan harta, dia jauh lebih buruk dari Carol karena bersedia tidur dengan pria beristri asal
Pintu mobil terbuka. Haniyah turun dengan langkah tenang, meski matanya menyimpan sisa ketegangan dari pertemuan sebelumnya, hati hatinya sudah sedikit lebih lega. Di belakangnya, Zaliyah menyusul, diikuti Anandita yang selalu berada dalam mode waspada mengamati sekeliling.Elkan telah menunggu di dalam ruangannya. Mungkin di gedung, atmosfer ketegangan tidak terlalu terasa, tapi di ruangan Elkan… semua itu terasa nyata. Ia berdiri dengan tubuh tegap tapi sorot mata penuh cemas. Begitu melihat Haniyah membuka pintu, ia segera menghampiri, dan tanpa berkata sepatah kata pun, menarik istrinya ke dalam pelukannya.Pelukan itu erat, lama, seperti sedang memastikan bahwa perempuan yang dicintainya benar-benar kembali. Napas Elkan terasa berat di pundak Haniyah, seolah selama ini ia menahannya sepanjang hari. Sementara itu dari tempatnya berdiri Hanan hanya melihat Zaliyah, istrinya yang mengangguk pelan.“Aku baik-baik saja,” bisik Haniyah di dadanya
“Apa maksudmu? Memangnya dia siapa?” tanya Ronald.Zaliyah tidak menjawab, dia hanya memasang senyum miring membuat Ronald makin bingung. Dia memberi instruksi pada orang suruhannya untuk mencari tahu hingga membuat Zaliyah tertawa kecil.“Coba saja cari tahu, aku pastikan kalian tidak akan menemukan hal yang spesial,” ungkap Zaliyah.“Karena dia memang bukan siapa-siapa kan? Kamu hanya menggertak kan?” pancing Ronald.Zaliyah mengendikkan bahunya. “Bisa saja dia memang orang biasa yang bukan siapa-siapa, tapi bisa juga dia orang yang sangat penting yang bisa menyembunyikan siap dirinya rapat-rapat.”Jawaban itu membuat Ronald kembali menatap Haniyah, seolah sedang mencari tahu lewat tatapannya.“Pak Ronald tidak perlu mencari tahu siapa saya, anggap saja saya bukan siapa-siapa. Karena memang tidak akan terjadi apa-apa kalau tindakan anda, anda hentikan saat ini.” Kalimat Haniyah begitu tenang, Ronald jadi curiga kalau
Mobil hitam milik Zaliyah meluncur perlahan keluar dari pelataran kantor Elkan. Di dalamnya, suasana terasa hening. Duduk di bangku tengah, Haniyah mengenakan blazer krem lembut dan kerudung yang disemat rapi. Wajahnya tenang, meskipun pikirannya terasa benar-benar berisik.Di sebelahnya, Zaliyah duduk dengan anggun. Sorot matanya tajam, pembawaannya jauh lebih tenang dibanding Haniyah. Mungkin, karena hal seperti ini sudah jadi bagian masa mudahnya. Di kursi depan, Anandita duduk tenang sambil mengemudi. Ia tidak banyak bicara, sama seperti Zaliyah, dia terlihat tenang dan lebih fokus. Mungkin saat ini hanya Haniyah yang dipenuhi perhitungan ini dan itu.Zaliyah menoleh perlahan ke arah Haniyah. “Han,” suaranya rendah tapi jelas, “Ronald bukan pria biasa. Dia tahu cara membaca bahasa tubuh, dia tahu kapan seseorang gugup, dan dia tahu bagaimana memancing reaksi emosional.” Haniyah mengalihkan pandangannya ke Zaliyah.“Aku sudah pernah ngajarin kamu dasar-dasarnya, gimana caranya men
Suasana di kantor Elkan mendadak berubah drastis setelah Hanan menerima panggilan telepon dari orang suruhannya. Pagi tadi semuanya masih jadi asumsi, prakiraan tanpa dasar dan hanya sebuah tebakan—seandainya—sekiranya. Tapi siang ini, semua menjadi lebih jelas.Hanan masih duduk di sofa yang sama dengan Elkan, satu tangan menyentuh telinga kirinya, menyimak suara dari earpiece kecil yang terhubung langsung ke orang kepercayaannya di lapangan. Beberapa detik kemudian, ia memutus sambungan, menoleh perlahan ke arah Elkan.“Sudah bisa dipastikan, sesuai perkiraan Pak Arifin dan detektif yang kamu bayar… dalangnya memang Ronald,” katanya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan mendalam. “Dan alasannya persis seperti yang disampaikan Pak Arifin, karena Carol.”Elkan mengepalkan tangannya, dadanya sesak. Marah dan kesal bercampur jadi satu.“Jadi… mau pakai cara apa?” tanya Elkan.“Negosiasi saja, aku siap.” Elkan menatap Haniyah
Pukul sembilan pagi. Hanan keluar dari mobilnya bersamaan dengan Elkan yang baru saja sampai. Tidak lama kemudian, motor Anandita dan Farid juga merapat. Setelah itu mereka berjalan beriringan menuju ruangan Elkan.Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang kerja Elkan, menyinari meja kayu mahoni yang mengkilap. Aroma kopi hitam masih samar tercium dari cangkir yang baru saja disiapkan Haniyah. Suasana ruangan terasa tegang namun terkendali.Pagi itu Hanan datang dengan pakaian santai. Tidak sebagai CEO dari sebuah perusahaan besar. Ia mengenakan hoodie gelap dan celana jeans, wajahnya tenang namun matanya awas. Elkan meminta mereka semua duduk bersama. Hanya mereka, tanpa ada Brata atau anggota keluarga Elkan yang lainnya. Hanan mulai mendengarkan penjelasan Elkan tentang hal yang menimpanya, termasuk semua asumsi dari detektif yang ia bayar, Farid, Fathur dan juga Anandita. Wajahnya nampak lelah menghadapi ini semua, belum lagi dia juga dihantui rasa takut kalau orang-orang