Elkan buru-buru membubarkan rapat yang sedang langsung saat mendapat kabar dari rumah sakit. Elkan bangkit tanpa kata, hanya melempar jasnya ke lengan dan berjalan cepat ke luar ruangan. Langkahnya panjang, penuh kecemasan. Bahkan saat Fathur memanggilnya beberapa kali dia tidak peduli.Sepanjang perjalanan, pikirannya kosong. Tapi dadanya terasa sesak. Bayangan Haniyah—dengan senyum teduh dan suara lembutnya—terus muncul dalam kepala. Wanita yang selalu terlihat kuat, tiba-tiba terdengar rapuh dalam kabar yang disampaikan begitu mendadak.Begitu sampai di rumah sakit, Elkan langsung melompat keluar dari mobil dan terburu-buru berlari di koridor rumah sakit. “Pasien atas nama Haniyah Mbak,” ucapnya dengan suara sedikit bergetar di meja pendaftaran UGD.Petugas menunjuk ke arah ruang perawatan sementara. Elkan langsung melesat masuk, mengabaikan prosedur. Dan begitu matanya menangkap sosok Haniyah yang tersenyum canggung padanya, hatinya menc
Belakangan ini Kamila dan Haniyah lebih sering bertemu. Baik di kampus maupun di luar kampus. Seperti hari ini misalnya. Mereka, bertemu di rumah Kamila untuk mempersiapkan lomba desain yang pernah mereka bicarakan.Satu ruang kosong di rumah Kamila menjadi tempat mereka mulai berkreasi. Kertas-kertas sketsa berserakan di atas meja kerja, potongan kain satin, organza, dan brokat digulung rapi di pojok ruangan, sementara pensil warna, gunting kain, dan pita meteran bertumpuk di tengah. Di tengah semua kekacauan itu, Haniyah dan Kamila duduk bersila di lantai, masing-masing sibuk dengan sketsa yang tengah mereka sempurnakan.“Kalau detail payetnya ditaruh di sepanjang lengan, kelihatan terlalu ramai gak, Han?” tanya Kamila sambil mengangkat buku sketsanya. Ia menggambar sebuah gaun malam berpotongan lurus dengan cape lembut yang menjuntai dari bahu.Haniyah melirik, lalu menggeleng pelan. “Enggak. Justru bagus, asal payetnya dipilih yang tonenya ne
Senyum getir hadir di wajah pucat Carol. “Memang apa yang kamu harapkan dariku hah? Kamu lihat sendiri kondisiku bagaimana? Bahkan setelah aku keluar dari tempat ini aku juga akan dipenjara, persis seperti ayah.”Jawaban itu tidak memuaskan Anya. “Kamu pasti bisa melakukan sesuatu kan?”Carol menatap tajam Anya. “Kenapa? Kenapa kau peduli? Aku tahu pasti kamu tidak pernah mau ambil pusing urusan kantor. Kamu hanya ingin uang ayah…” Kalimat Carol terhenti, tapi tatapannya makin tajam. “Atau… kamu melakukan ini untuk mendapat harta Ayah?”Mata Anya membola, dia tidak menyangka kalau putri teman kencannya itu bisa dengan cepat menangkap maksud hatinya. “Bu… bukan begitu, setidaknya kamu harus menyelamatkan bisnis ayahmu bukan? Itu juga untuk masa depanmu.”Meski Anya mengelak, Carol tahu betul siapa perempuan di hadapannya. Wanita itu hanya peduli dengan harta, dia jauh lebih buruk dari Carol karena bersedia tidur dengan pria beristri asal
Pintu mobil terbuka. Haniyah turun dengan langkah tenang, meski matanya menyimpan sisa ketegangan dari pertemuan sebelumnya, hati hatinya sudah sedikit lebih lega. Di belakangnya, Zaliyah menyusul, diikuti Anandita yang selalu berada dalam mode waspada mengamati sekeliling.Elkan telah menunggu di dalam ruangannya. Mungkin di gedung, atmosfer ketegangan tidak terlalu terasa, tapi di ruangan Elkan… semua itu terasa nyata. Ia berdiri dengan tubuh tegap tapi sorot mata penuh cemas. Begitu melihat Haniyah membuka pintu, ia segera menghampiri, dan tanpa berkata sepatah kata pun, menarik istrinya ke dalam pelukannya.Pelukan itu erat, lama, seperti sedang memastikan bahwa perempuan yang dicintainya benar-benar kembali. Napas Elkan terasa berat di pundak Haniyah, seolah selama ini ia menahannya sepanjang hari. Sementara itu dari tempatnya berdiri Hanan hanya melihat Zaliyah, istrinya yang mengangguk pelan.“Aku baik-baik saja,” bisik Haniyah di dadanya
“Apa maksudmu? Memangnya dia siapa?” tanya Ronald.Zaliyah tidak menjawab, dia hanya memasang senyum miring membuat Ronald makin bingung. Dia memberi instruksi pada orang suruhannya untuk mencari tahu hingga membuat Zaliyah tertawa kecil.“Coba saja cari tahu, aku pastikan kalian tidak akan menemukan hal yang spesial,” ungkap Zaliyah.“Karena dia memang bukan siapa-siapa kan? Kamu hanya menggertak kan?” pancing Ronald.Zaliyah mengendikkan bahunya. “Bisa saja dia memang orang biasa yang bukan siapa-siapa, tapi bisa juga dia orang yang sangat penting yang bisa menyembunyikan siap dirinya rapat-rapat.”Jawaban itu membuat Ronald kembali menatap Haniyah, seolah sedang mencari tahu lewat tatapannya.“Pak Ronald tidak perlu mencari tahu siapa saya, anggap saja saya bukan siapa-siapa. Karena memang tidak akan terjadi apa-apa kalau tindakan anda, anda hentikan saat ini.” Kalimat Haniyah begitu tenang, Ronald jadi curiga kalau
Mobil hitam milik Zaliyah meluncur perlahan keluar dari pelataran kantor Elkan. Di dalamnya, suasana terasa hening. Duduk di bangku tengah, Haniyah mengenakan blazer krem lembut dan kerudung yang disemat rapi. Wajahnya tenang, meskipun pikirannya terasa benar-benar berisik.Di sebelahnya, Zaliyah duduk dengan anggun. Sorot matanya tajam, pembawaannya jauh lebih tenang dibanding Haniyah. Mungkin, karena hal seperti ini sudah jadi bagian masa mudahnya. Di kursi depan, Anandita duduk tenang sambil mengemudi. Ia tidak banyak bicara, sama seperti Zaliyah, dia terlihat tenang dan lebih fokus. Mungkin saat ini hanya Haniyah yang dipenuhi perhitungan ini dan itu.Zaliyah menoleh perlahan ke arah Haniyah. “Han,” suaranya rendah tapi jelas, “Ronald bukan pria biasa. Dia tahu cara membaca bahasa tubuh, dia tahu kapan seseorang gugup, dan dia tahu bagaimana memancing reaksi emosional.” Haniyah mengalihkan pandangannya ke Zaliyah.“Aku sudah pernah ngajarin kamu dasar-dasarnya, gimana caranya men