Setelah enam bulan tenggelam dalam kesibukan kantor—mempelajari perkebunan, pabrik teh bahkan sampai property, akhirnya Haniyah kembali bersiap melangkah ke kampus. Bukan sekadar kembali duduk di bangku kuliah, tapi kembali menyentuh mimpi yang sempat ia tangguhkan.
Elkan memperhatikan istrinya dengan seksama. Wanita itu begitu bersemangat menyambut hari ini. Semua pekerjaan ringan sudah didelegasikan ke Anandita, sementara Rusli akan bertugas mengawasi seperti sebelumnya. Untuk hal-hal penting akan dihandle sepulang kampus, entah nanti mereka bertemu di kantor, atau Anandita akan mendatanginya di satu tempat tertentu.
Mereka begitu bersyukur telah memilih Anandita yang memang cekatan dan cepat belajar. Belum lagi wanita itu benar-benar mampu menjaga Haniyah dalam beber
Haniyah, Mega, dan Raisa tiba di venue fashion show eksklusif yang digelar oleh "Ratu Fashion"—desainer yang tak hanya dikenal karena karyanya, tapi juga karisma yang magnetis. Malam ini mereka datang tanpa para suami yang sepakat menjaga Rumi di rumah.Di depan ballroom Hotel Amara yang gemerlap, Mega melangkah lebih dulu dengan gaun berwarna hitam berpotongan asimetris dengan kalung batu safir di lehernya. Raisa mengenakan gaun dan pasmina biru langit yang tampak memancarkan aura elegan. Sementara Haniyah, dengan gaun dan hijab panjang berwarna maroon tampak lebih tenang.Untuk Raisa dan Mega ini bukan pertama kalinya datang di acara fashion show, tapi untuk Haniyah–ini yang pertama kali dia melihat langsung sebuah peragaan busana. Mereka duduk di kursi yang telah disediakan, ditandai dengan nama mereka di sandaran kursi.
Setelah makan malam dan sesi bakar marshmallow, Elkan menggelar papan permainan baru di atas meja kayu lipat. Sebuah permainan yang dibuat khusus oleh Haniyah dengan kartu berwarna yang dilengkapi kata-kata dan ilustrasi kecil yang diberi nama "Cerita Berantai"."Sudah kenyang, saatnya main," ucap Elkan sambil mengocok tumpukan kartu.Rumi mengambil satu kartu bergambar jerapah berkacamata. “Jerapah... jadi dosen?” tanyanya bingung.“Rumi harus buat cerita dengan tokoh itu, ayo dicoba.” Rumi nampak berpikir sejenak dan menjentikkan jarinya. Dia berdiri dengan tenang ditengah keluarga yang sudah tidak sabar menunggu cerita karangan Rumi.“Suatu hari, ada se
Beberapa hari berlalu.Haniyah sedang berada di rumahnya ketika seseorang mengantarkan sebuah amplop berwarna putih gading dengan pita emas di atasnya. Di atas amplop itu tercetak dengan jelas nama Haniyah dan Elkan.Haniyah membuka amplop dan membaca undangan undangan di dalamnya. Undangan peragaan busana dari Ratu Fashion yang bertanda tangan nama Wira dan Hasna. Haniyah mengernyitkan keningnya, berpikir sebentar lalu ber-ooo karena mulai mengingat kedua nama itu.Sementara Haniyah mengembalikan undangan ke dalam amplopnya, sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya. Ia tersenyum, Mega dan Arifin turun dari mobil dan menghampirinya.Weekend memang menjadi harinya berkumpul untuk tiga keluarga ini. Satriya, Arifin dan Elkan. Dan kali ini, tempat kumpul yang dipilih adala
“Saudari Haniyah, Saudari Kamila. Kalian dipanggil untuk menyampaikan kesaksian atas terdakwa Bara. Bersediakah kalian berbicara di bawah sumpah?”Keduanya mengangguk.Di sisi sebelah kanan, Bara duduk diam. Tangannya diborgol, kepalanya tertunduk dengan wajah nyaris penuh penyesalan. Dia tidak berani mengangkat wajahnya untuk sekedar melihat dua wanita itu.Saat pertanyaan dimulai, Kamila dan Haniyah seolah diseret kembali ke masa lalu. Semua kejadian itu berulang di kepala mereka dan mau tidak mau harus mereka ceritakan ulang di depan Hakim, jaksa penuntut dan semua yang hadir di persidangan tu.Suara keduanya bergetar saat menceritakan ulang, tapi bisa dipastikan tidak ada yang terlewat saat mereka menceritakan apa yang terjadi saat itu.
Ronald kembali melayangkan satu pukulan ke arah Elkan, tapi lagi-lagi Fathur menepisnya hingga pukulan pria itu malah terkena meja dan jatuh tersungkur.Bug!Brak!Elkan berdiri, berjalan mendekatinya dan berusaha membantunya berdiri. Tapi Ronald menepis tangan Elkan yang berusaha membantunya berdiri.“Lepas, aku bisa sendiri!” tolaknya kasar.Elkan akhirnya menyingkir, dibiarkannya pria itu berdiri dengan sendirinya. “Sebetulnya Om mau apa ke sini? Kalau hanya untuk buat keributan, aku sarankan Om pergi, karena aku gak segan-segan akan melaporkan Om kalau Om bertindak lebih jauh lagi,” ucap Elkan mengingatkan.“Aku kesini untuk memperingatkanmu Elkan
Bau alkohol medis dan suara mesin monitor jantung memenuhi ruangan. Lampu sorot di atas meja operasi menyinari wajah Carol yang tak bergerak, wajah yang kini penuh luka dan darah kering. Masker oksigen menutupi hidung dan mulutnya, dan pelipisnya dibalut perban kasar.“Tekanan darah turun—80 per 50!” seru perawat.Dokter utama, seorang pria paruh baya dengan mata tajam dan tangan yang tak gentar, menoleh cepat. “Kita tidak bisa kehilangan dia. Berikan 500cc Ringer Lactate. Siapkan defibrillator untuk jaga-jaga.”Saat Dokter sedang berusaha menyelamatkan Carol di meja operasi. Di balik kaca ruang operasi, seorang polisi yang sudah tidak berseragam berdiri kaku. Matanya tak lepas dari wanita tak sadarkan diri di atas meja bedah. Ia tahu betul siapa Carol. Ia tahu apa yang telah dia lakuka