“Sudah… sudah… kita tidak perlu memperpanjang pembahasan ini. Intinya Haniyah tidak mungkin mau ditawari jadi BA, Elkan juga pasti keberatan, apalagi kamu pernah hampir menikahi Haniyah dulu.” Wira memotong ucapan Aryo yang tadinya ingin menawarkan kerjasama dengan Haniyah.
“Padahal ini kesempatan bagus Yah, kalaupun dia gak jadi BA kita, kita bisa ajak dia kerjasama dalam pembangunan butik. Elkan punya modal, dia pasti gak keberatan kalau istrinya minta dibangunkan sebuah butik, kita bisa pasok produk fashion kita ke butiknya. Kita dan mereka sama-sama untung.”
Calista menggeram mendengar rencana Aryo. Sepertinya niatnya membuat Aryo dan keluarganya menghilangkan nama Haniyah malah jadi bumerang sendiri untuknya. Tiba-tiba Ia kehilangan selera makan saat memikirkan Haniyah dan Ratu Fashion memiliki kerjasama.
Ronald kembali melayangkan satu pukulan ke arah Elkan, tapi lagi-lagi Fathur menepisnya hingga pukulan pria itu malah terkena meja dan jatuh tersungkur.Bug!Brak!Elkan berdiri, berjalan mendekatinya dan berusaha membantunya berdiri. Tapi Ronald menepis tangan Elkan yang berusaha membantunya berdiri.“Lepas, aku bisa sendiri!” tolaknya kasar.Elkan akhirnya menyingkir, dibiarkannya pria itu berdiri dengan sendirinya. “Sebetulnya Om mau apa ke sini? Kalau hanya untuk buat keributan, aku sarankan Om pergi, karena aku gak segan-segan akan melaporkan Om kalau Om bertindak lebih jauh lagi,” ucap Elkan mengingatkan.“Aku kesini untuk memperingatkanmu Elkan
Bau alkohol medis dan suara mesin monitor jantung memenuhi ruangan. Lampu sorot di atas meja operasi menyinari wajah Carol yang tak bergerak, wajah yang kini penuh luka dan darah kering. Masker oksigen menutupi hidung dan mulutnya, dan pelipisnya dibalut perban kasar.“Tekanan darah turun—80 per 50!” seru perawat.Dokter utama, seorang pria paruh baya dengan mata tajam dan tangan yang tak gentar, menoleh cepat. “Kita tidak bisa kehilangan dia. Berikan 500cc Ringer Lactate. Siapkan defibrillator untuk jaga-jaga.”Saat Dokter sedang berusaha menyelamatkan Carol di meja operasi. Di balik kaca ruang operasi, seorang polisi yang sudah tidak berseragam berdiri kaku. Matanya tak lepas dari wanita tak sadarkan diri di atas meja bedah. Ia tahu betul siapa Carol. Ia tahu apa yang telah dia lakuka
Udara desa malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, menyusup hingga ke tulang. Carol menggigit bibirnya sambil menarik jaket tipis yang nyaris robek. Sudah dua bulan Ia bersembunyi di tempat ini—sebuah dusun kecil di kaki gunung yang bahkan tidak tercantum di peta digital. Rumah panggung reyot milik seorang janda tua dan putrinya menjadi tempat persembunyiannya, dibayar dengan uang receh dan kerja kasar.Dia yang selalu merasakan hidup mewah, dalam pelariannya ini tidak bisa memilih tempat berteduh yang layak. Diterima oleh janda tua itu dan mendapat tempat beristirahat sudah sebuah kemujuran untuknya. Dia tidak boleh menginap di hotel dan berakhir tertangkap oleh aparat yang mengejarnya. Tidak… dia tidak ingin ada di balik jeruji besi hanya karena pekerjaan anak buahnya yang tidak selesai.Dalam pelarian itu, dia tidak banyak berubah. Masih ada kobaran amarah dan kebencian serta niat untuk balas dendam yang mengisi. Tapi juga ada ketakutan kalau nanti dia akan kehilangan semuanya
“Sudah… sudah… kita tidak perlu memperpanjang pembahasan ini. Intinya Haniyah tidak mungkin mau ditawari jadi BA, Elkan juga pasti keberatan, apalagi kamu pernah hampir menikahi Haniyah dulu.” Wira memotong ucapan Aryo yang tadinya ingin menawarkan kerjasama dengan Haniyah.“Padahal ini kesempatan bagus Yah, kalaupun dia gak jadi BA kita, kita bisa ajak dia kerjasama dalam pembangunan butik. Elkan punya modal, dia pasti gak keberatan kalau istrinya minta dibangunkan sebuah butik, kita bisa pasok produk fashion kita ke butiknya. Kita dan mereka sama-sama untung.”Calista menggeram mendengar rencana Aryo. Sepertinya niatnya membuat Aryo dan keluarganya menghilangkan nama Haniyah malah jadi bumerang sendiri untuknya. Tiba-tiba Ia kehilangan selera makan saat memikirkan Haniyah dan Ratu Fashion memiliki kerjasama.
Udara sore mulai menebarkan aroma basah daun-daunan dan tanah yang menguap perlahan. Di dapur kecil yang hangat—Haniyah bersama Mbok Minah dan Bu Humairah sedang menyiapkan makan malam. Tumis buncis, pepes tahu dan pepes ikan bumbu kemangi, ditambah sambal dan kerupuk udang sebagai pelengkap.Haniyah berdiri di dekat kompor, tangannya cekatan mengaduk tumisan buncis yang mulai mengeluarkan aroma wangi. Peluh sedikit membasahi pelipisnya, namun senyum lembut tetap bertahan di wajahnya. Di sampingnya, Humairah dengan kerudung terikat rapi di belakang kepala sedang memotong tomat, bawang dan juga cabai untuk membuat sambal.Di ujung meja, Mbok Minah—pengasuh setia sejak Haniyah masih balita—sibuk memilah-milah daun kemangi segar sebagai isian pepes ikan.“Gimana rasanya hari pertama kembali kuli
Kamila melirik kesal pada wanita itu, siapa lagi kalau bukan Calista. Sementara Haniyah mengerutkan keningnya karena merasa heran melihat keberadaan Calista di sana.“Kamu ngapain di sini? Ini bukan cafe atau restoran loh Cal, standar kamu gak turun kan?” tanya Kamila. Seperti biasa, dia selalu menjadi garda terdepan di lingkungan kampus untuk menjaga Haniyah. Karena Haniyah pasti tidak tega membalas semua ucapan Calista.“Duh gak level ya buat makan di sini. Aku kesini karena lihat teman kamu tuh, penasaran saja dia kemana selama enam bulan ini.” Haniyah mengangkat alisnya lalu tersenyum miring saat Calista menunjuknya.“Terima kasih sudah penasaran, tapi apapun yang aku lakukan gak penting dan gak ada urusannya sama kamu Cal,” jawab Haniyah tenang.