Ibu selalu menasehati untuk tidak jatuh ke dalam perangkap “pria nakal”, dan aku mendengar nasehat itu hampir sepanjang hidup.
Ibu pasti mengira aku telah memahaminya. Namun, saat aku meletakkan bantal di wajah lalu mentupi seluruh tubuh dengan selimut untuk menelepon Riko Meilando, pria nakal kaya raya yang terus-menerus mendekatiku selama beberapa minggu, itu tidak bagus, untuk ibuku, sudah pasti.
Yang aku tahu, Riko sudah putus dengan Alia satu bulan yang lalu. Alia Mega yang cantik dan pintar. Seorang kutu buku yang ekspresi wajahnya terbatas pada variasi kebosanan dan kesombongan yang menyebalkan. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mempermalukannya di depan teman-teman. Tentu saja, hanya jika aku bisa menangkap detik-detik momen cerobohnya.
Tapi jujur, Alia punya mata yang bagus. Dan cara dia melihat saat tersenyum kepadaku …
"Persetan!" gumamku, lalu menyibakkan selimut, mengayunkan kaki ke lantai, mengambil beberapa langkah ke depan, menatap pintu kamar dan aku tidak mendengar suara televisi di ruang keluarga menyala. Ibu sudah tidur. Dia pasti akan marah jika mengetahui aku menelepon pria yang tidak akan direstuinya pada jam sebelas malam. Aku yakin seratus persen.
Aku kembali menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggirannya. Jari-jariku menelusuri nama kontak di ponsel dan tanpa sadar tersenyum ketika melihat kontak Riko yang namanya aku samarkan: “Penjaga Perpus” (seandainya Ibu melihat nomornya berkedip di layar ponselku). Tadi dia izin untuk mandi dan akan meneleponku kembali setelah selesai.
Secercah cahaya yang hinggap di jendela kamar menarik perhatianku. Aku yakin sumber cahayanya dari rumah depan. Pecandu tinggal di sana dan selalu ada orang yang datang larut malam, jadi aku tidak perlu penasaran dan bersiap kembali sembunyi di dalam selimut ketika Riko menelepon. Namun, semua pikiran tentang Riko tiba-tiba hilang dari kepalaku saat cahaya yang tadinya kuning menjadi oranye, dan semakin terang. Otakku perlahan memproses bahwa yang kulihat itu bukan cahaya, tetapi api.
Aku berdiri dan mendekati jendela. Saat mataku menyapu rumah tetangga depan, sedan tua miliknya yang diparkir di teras rumah, terbakar.
Mataku melebar dan untuk sesaat, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku berjinjit untuk mencari orang dewasa atau siapa pun yang tahu harus melakukan apa, tetapi tidak ada. Sedangkan pemilik rumah dan mobil itu mungkin sekarang sudah teler di atas ranjang, tidak bisa diharapkan. Aku berlari ke luar kamar, menuju ruang tamu dan membuka pintu utama rumahku. Pandanganku mengarah tepat ke mobil terbakar itu, dan ada sebuah mobil diparkir tak jauh dari rumah tetanggaku. Dari posisiku, aku bisa melihat bagian depan mobil itu, aku yakin itu sedan, warnanya merah.
Sesuatu membuat jantungku berdegup kencang, ketika mesin sedan merah itu menyala. Hal yang sontak membuatku melangkah mundur memasuki rumah dan menutup pintu ruang tamu. Pikiran tentang: kenapa orang di dalam sedan merah itu tidak berusaha memadamkan api? Atau, jangan-jangan dia yang membakarnya? Tentu saja membuatku takut.
Jari-jariku melingkari ponsel erat-erat, dan aku memutuskan untuk menelepon polisi, tetapi ada sesuatu yang menghentikanku.
"Ayo," kata seseorang, suaranya rendah dan parau.
Kemudian seorang pria membuka pagar rumah itu, lalu melangkah ke luar. Aku tidak tahu seperti apa dia, tapi aku tahu dari rambutnya yang acak-acakan itu bukan tetanggaku. Jadi aku menyimpulkan kalau pria itu temannya yang sering berkunjung (keluar dari dalam rumah, kan?).
Aku membuka mulut untuk memanggil, tetapi sesuatu tentang caranya bergerak—dengan tenang tapi cepat, membuka pintu depan bagian penumpang sedang merah lalu membungkuk memasukinya, seolah mencoba menyembunyikan dirinya di tempat terbuka—membuatku terdiam.
Alih-alih keluar dari rumah dan berteriak, aku tenggelam dalam kengerian. Tangan yang mencengkeram ponselku bergetar saat membuka aplikasi kamera, menggesernya ke video, dan mengarahkan kamera ponsel ke rumah tetangga depan.
Pria kedua keluar dari dalam rumah. Dia tampak lebih tenang dari pria sebelumnya, seolah-olah tidak ada hal ganjil di sana. Sambil menghisap rokok dan tangan satunya disembunyikan di saku celana, dia berdiri di depan pagar cukup lama, menatap mobil yang terbakar.
Aku terkejut bukan main, ketika sekonyong-konyong ponselku berbunyi melantunkan intro lagu “Sweet Child O Mine” dengan suara yang keras! Riko menepati janjinya, menelponku. Namun tentu saja hal itu justru membuatku panik lalu dengan cepat memutus panggilan dan, sambil berharap semuanya akan baik-baik saja, pandanganku kembali ke depan. Perasaanku semakin tenggelam dalam kengerian saat mataku terhubung dengan mata Pria Kedua. Aku menjatuhkan ponselku.
Yang mengejutkan, aku mengenalnya.
Aku pernah melihatnya di kampus dan mendengar cerita tentang keluarganya.
Dan saat dia melangkah ke arahku, aku tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut.
Sambil berdiri tepat di depan pagar rumahku, ragu-ragu dia melihat ke mobil, lalu kembali menatapku. Aku bergegas menutup gorden dan melangkah mundur menjauhi jendela.
"Oh, Tuhan," aku merengek pelan. Aku tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini dalam hidupku.
Yang terjadi sekitar tiga sampai empat menit kemudian, aku mendengar suara mobil melewati rumah dan menjauh.
Dia pergi? Entah. Aku harus memeriksanya dan betul, sedan merah itu tidak ada lagi di sana.
Aku meraih ponsel di lantai dan berpikir untuk menelepon polisi. Jika aku melakukannya, polisi akan menjadikanku saksi dan akan mengajukan beberapa pertanyaan tentang apa yang terjadi.
Aku harus memberi tahu polisi bahwa Adib Bramantyo, dari keluarga Bramantyo yang terkenal, berada di lokasi ketika kebakaran terjadi.
Namun itu sangat berbahaya mengingat siapa keluarga Bramantyo. Jadi, aku membuat keputusan untuk kembali ke kamar tidur dan berusaha melupakan semua yang aku lihat, walau itu tidak mungkin.
Aku berdiri di depan loker menatap kosong ke buku-buku di dalamnya. Aku merasa sangat mual. Sudah tiga hari sejak terakhir aku makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.Kebakaran itu terjadi hari Jumat. Setelah sekian lama meringkuk di kamar tidur dengan tubuh yang gemetar, akhirnya aku mendengar tetangga samping rumahku—Pak Budi—berteriak kebakaran sambil memukul-mukul tiang listrik.Pada saat bantuan datang, tetangga lainnya mengetuk pagar rumahku dan meminta aku sekeluarga untuk keluar, karena takut api akan menyebar. Aku menyaksikan semuanya; saat semua orang saling membantu memadamkan api yang membakar mobil dan, setelah api padam, semuanya sudah terlambat, tetangga depan rumahku—namanya Aldi—ditemukan di dalam mobil dalam keadaan meninggal dunia (kata Pak Budi wujudnya sudah tidak dikenali).Aku gemetar hebat saat adik laki-lakiku yang berusia tujuh tahun memeluk kakiku, mendengarkan ibuku mengoceh tentang bagaimana kebaka
Ini hari yang sangat berat dan panjang.Setelah meninggalkan kampus, aku harus menjemput adik-adikku di rumah nenek dan menjaga mereka sampai ibuku pulang bekerja. Tadi padi Ibu bilang akan pulang tengah malam, sebenarnya itu hal yang biasa, ibuku memang sering lembur, tapi hari ini ... ya Tuhan, aku sangat lelah. Aku berharap bisa tidur dengan nyenyak malam ini.Semua aktivitasku dan ... Adib, hah, benar-benar menyiksaku.Sebenarnya aku sempat berpikir tentang; apakah aku harus berbicara dengan Adib dan menyelesaikan masalahku dengannya? Jika aku bisa melakukan itu, hidupku akan kembali normal. Normal adalah kemewahan untukku saat ini. Aku sudah tidak mampu bermain kucing dan tikus dengannya, dan yang paling aku khawatirkan, masalah ini bisa menempatkan keluargaku dalam bahaya. Karena jika Adib dan keluarganya bisa membunuh tetanggaku, tentu saja hal itu bisa juga mereka lakukan kepadaku, atau parahnya, keluargaku. Dan mungki
Pintu berderit terbuka dan cahaya masuk. "Irina, kau tidur?"Aku bergumam palsu, tapi Ibu malah menghidupkan lampu.Aku menatapnya sambil menyipitkan mata. “Ya, baru saja bangun, Bu.”Ibuku wanita bertubuh tinggi dengan ramput yang selalu dia cat warna cokelat. Dia terlihat seperti masih berusia empat puluhan, padahal umurnya lebih dari setengah abad (seandainya dia mewarisi itu kepadaku).Ibu bersender pada kusen lalu menghela napas panjang dengan wajah yang tampak kesal. “Semua laki-laki sama saja: bajingan.”Oh bagus, Ibu ingin curhat.“Ya, aku setuju, tapi bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku baru saja—""Bosok, Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi sekali," potongnya sambil menggeleng. “Ibu ingin kau mengantar adik-adikmu ke sekolah.”Ya, itu akan merepotkan. Padahal sekarang ada Grab, tapi Ibu tidak mau adik-adikku berangkat
Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini—tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur—Ando sangat menyukainya.Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuli
Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung."Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua or
Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat."Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat seti
Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant