"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
"Dek Lastri, ini Mas udah beli beras sama lauknya. Cukup-cukupin, ya, buat seminggu," ucap Mas Joko sambil menyerahkan sebuah kantung kresek kecil berisi beras yang kuperkirakan seberat satu kilo gram beserta satu plastik kecil iwak asin dan setengah kilogram telur ayam. "Gak salah ini, Mas? Beras sekilo mana cukup buat seminggu, Mas. Ini juga, lauknya masa segini?" Aku melayangkan protes padanya. Bagaimana mungkin beras satu kilogram cukup untuk satu minggu? Bahkan lauknya saja hanya seperti itu dan Mas Joko malah berkata semua itu harus cukup untuk seminggu? Apa dia bercanda? Kebiasaan di rumah ibuku dulu, beras satu kilo itu hanya cukup untuk makan sehari dengan empat orang anggota keluarga, itupun kadang tak cukup. Sedangkan aku dan Mas Joko yang tinggal berdua, minimal mungkin setengah kilo beras sehari untuk tiga kali makan. "Cukup lah, Dek. Kalau kamu takut gak cukup, sini biar Mas yang atur cara masaknya." Mas Joko tiba-tiba mengambil kembali beras yang baru saja dia serahk
Selepas Mas Joko pergi bekerja, aku masih mematung memikirkan perubahan suamiku itu. Biasanya dia tak seperti itu. Jangankan mengatur soal pengeluaran, uang penghasilannya saja selalu dia berikan semuanya padaku. Memang, saat di rumah ibuku, setiap minggu aku selalu memberikan uang jatahku dari Mas Joko sebanyak dua ratus ribu pada ibu. Namanya menumpang hidup di rumah orang tua, setidaknya aku harus punya rasa malu. Aku tahu, uang sebanyak itu pasti takkan cukup untuk mengganti biaya makanku dengan Mas Joko selama seminggu, harusnya aku bisa memberikan lebih, tapi penghasilan Mas Joko hanya segitu.Ibuku selalu memasak makanan yang enak-enak. Tiap hari, ibu pasti tak pernah absen memasak ayam atau ikan. Kadang juga dia memasak daging sapi. Semua masakan ibu enak-enak. Belum lagi, ibu sangat suka mengajakku membuat kue dan camilan kekinian. Jadi, meski tak di beri uang jajan, perutku pasti selalu kenyang. Hanya saja, saat itu Mas Joko selalu terlihat tak senang saat melihat banyak m