Share

SKBUS-5

Minggu kedua .... 

"Mas, apa gak berlebihan kita makan kayak gini terus? Emm ... maksud Adek, kalau beras sekilo buat tiga hari mungkin masih wajar, Mas. Tapi, ini sekilo buat seminggu ... mana ada yang sanggup, Mas," ucapku hati-hati saat kami selesai sarapan pagi ini. 

"Kenapa? Adek gak terima kalau Mas kasih makan sedikit? Lihat, buktinya Adek seminggu kemarin aja, sanggup makan sedikit tiap hari. Dan Mas lihat-lihat, berat badan Adek malah kayaknya makin bertambah." Mas Joko menatapku penuh selidik. Aku langsung menggigit bibir gelagapan. 

'Ya, gimana gak kuat aku seminggu kemarin, Mas. Wong tiap hari aku jajan terus kalo situ gak di rumah. Hihi. Untung aku masih ada sisa uang dari ibuku kemarin. Kalo enggak? Hmm ... Mungkin aku udah kabur dari seminggu yang lalu.' Aku membatin sendiri mendengar ucapan Mas Joko yang mengatakan aku makin gemuk. Padahal berat badanku turun satu kilo. 

"Sanggup, sih. Tapi aku pengennya kita biasa aja kayak orang lain, Mas. Jangan terlalu hemat sampai nyakitin badan sendiri. Nanti jadi penyakitan gimana? Asam lambung, kurang gizi juga." Aku mencoba menyadarkan pemikiran vulgar living eh maksudnya frugal living Mas Joko. 

"Orang kurus itu gak penyakitan, Dek. Malahan sehat. Yang penyakitan itu yang gendut kayak kamu. Diabetes lah, jantung, kolesterol, darah tinggi, rata-rata yang punya penyakit kayak gitu tuh, yang gendut." Enteng sekali moncong Mas Joko itu berucap. Masa body bohai begini dikata gendut. 

Aku langsung mengerucutkan bibir tak terima. Enak saja dia bilang gendut. Padahal berat badanku masih ideal. Tinggi 155cm dengan berat 60kg, bagiku itu sangat ideal sekali. Kalau kata orang-orang sih, 'bahenol'. 

"Yang penting kita masih bisa makan, Dek. Makan banyak-banyak juga nanti ujung-ujungnya di buang jadi kotoran. Mending kita makan seadanya. Nanti uangnya bisa kita tabung buat bikin rumah atau buat buka usaha yang lebih besar." Aku memutar bola mata malas. Sesulit itu memang bicara dengan Mas Joko ini. Pantas saja badannya sejak dulu kurus kering, tambah lagi dengan kumis tipis, sudah mirip sekali dengan model video klip lagunya sendiri, 'Mas Joko, tak u uk'. 

"Kalo gitu, Mas Joko juga harus ngirit kalo malem-malem lagi pengen Adek 'layanin'. Toh, Adek gak pernah di kasih jatah uang sama kamu,Mas.Jadi, kamu juga jangan minta jatah sama Adek. Oke?" Aku bangkit dan berlalu ke kamar. Kesal juga lama-lama menghadapi sifat suami qorunku itu. Jangankan memberi nafkah untuk keperluan istrinya sehari-hari, makan saja aku sampai sebegitu diaturnya. Sudah mirip seperti kasih makan kucing saja pikirku. 

Kekesalanku semakin bertambah ketika tahu kalau Mas Joko bukannya menyusul ke kamar dan membujukku, tapi malah terdengar pergi begitu saja tanpa pamit. 

Dasar suami tak peka!

Kadang aku menyesal kenapa harus menikah dengannya. Apa ini sifat asli Mas Joko sebenarnya? Padahal, setahun terkahir dia tak seperti ini. Ck! Aku tak bisa seperti ini terus. 

Dengan langkah lunglai, aku memikirkan bagaimana menghadapi kelakuan suamiku yang seperti itu. Apalagi, uang dari ibuku sudah habis. Bagaimana jika aku kelaparan kedepannya? Aku tak bisa jika sehari saja tak jajan. Minimal aku harus beli mie instan atau beli cemilan setiap hari agar perutku tak kelaparan karena selalu diberi sarapan hanya sedikit. 

"Assalamu'alaikum ... Neng ...." Sebuah suara yang sangat familiar terdengar memanggil di depan rumah. Bergegas aku keluar dan membukakan pintu. 

"Ibu ...." Aku bersorak senang saat melihat ibuku datang. Kupeluk erat tubuhnya yang subur itu demi menyalurkan rasa rindu. Yang membuatku semakin bahagia selain melihat kedatangannya adalah kulihat ternyata dia menenteng sebuah kantong kresek besar. Aku yakin sekali kalau itu isinya adalah makanan. "Ayo masuk, Bu." Kuamit lengannya dan mengajaknya masuk. Tak menyangka, ibuku akan berkunjung secepat ini. Padahal baru seminggu yang lalu pindah dari rumahnya. Tapi, sekarang dia sudah ke sini lagi. Wajar juga sih, jarak kontrakan ke rumah ibuku itu memang tak terlalu jauh, hanya setengah jam perjalanan. 

"Sehat kamu, Neng? Kok, kayaknya kamu kurusan?" ucap Ibu setelah kami duduk lesehan di karpet lantai. Aku sama sekali belum membeli perabotan apapun kecuali kasur, lemari pakaian, dan lemari tempat penyimpan perabotan dapur. Setiap kali meminta beli ini itu, Mas Joko selalu bilang kalau perabotan bisa menyusul saat nanti kita sudah membuat rumahnya. Yah, mau bagaimana lagi? Toh, dia yang pegang uangnya sendiri. Aku mana tahu berapa uang tabungan Mas Joko sekarang dan berapa penghasilannya setiap hari. Setiap kali aku bertanya, dia selalu tak mau menjawabnya. 

"Kurusan dari mana, Bu? Perasaan enggak, ah. Malah Mas Joko bilang, aku gendutan." 

"Masa, sih? Ibu kok, liatnya kamu kurusan. Apa perasaan ibu aja, ya? Mungkin gara-gara seminggu gak ketemu kamu."

"Iya, mungkin cuma perasaan Ibu aja." Aku sengaja berdusta di depan ibuku. Tapi, apa kelihatan, ya? Padahal cuma turun sedikit tapi ibu bisa melihatnya. "Ngomong-ngomong, Ibu bawa apa itu? Pasti oleh-oleh buat Lastri, ya?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. 

"Eh, iya. Ini, Ibu bawain kamu mie instan kesukaan kamu, terigu, tapioka, telor, buah, sayuran, dan ... banyak, deh. Kamu liat aja sendiri. Itu bapakmu yang suruh bawain itu semua. Padahal, kamu juga pasti tiap hari makan enak, kan? Suami kamu pasti manjain kamu."

Aku hanya bisa tersenyum miris mendengar ucapan ibuku itu. Boro-boro di manjain suami, yang ada di suruh diet setiap hari batinku. 

"Eh, Ibu mau ikut ke toilet, dong, Neng. Dari tadi Ibu kebelet pengen pipis," ucap ibuku. 

"Boleh, Bu. Masuk aja, toiletnya ada di belakang. Tau, kan?" Dia mengangguk. 

Ibu langsung bergegas pergi ke belakang. Sedangkan aku sibuk mengintip apa saja yang dibawa olehnya tadi. Ternyata isinya banyak sekali makanan kesukaanku. Selain yang disebutkan ibuku tadi, ternyata didalamnya ada sosis, nugget, siomay kering, bakso ikan, bakso kecil, dan banyak lagi. Semua makanan kesukaanku. Ah, Ibu dan Bapak memang paling hapal sekali apa yang kubutuhkan. 

"Neng ... sini dulu, deh." Ibuku berteriak dari arah belakang. 

"Ya, Bu. Sebentar ...." Aku bergegas menghampirinya. 

"Neng, ini apa? Kamu masak nasi segini tadi? Terus, kok, Ibu lihat gak ada makanan apapun di lemarimu? Suamimu gak pernah belanja makanan buatmu?" Ibu memperlihatkan panci penanak nasi yang isinya baru terambil sepertiganya. Dari isinya, otomatis ibu bisa memperkirakan sebanyak apa nasi yang di masak di sana. 

'Duh, tumben sekali Mas Joko lupa ngunci lemarinya? Jadi sekarang semuanya malah ketahuan sama Ibuku!' batinku kesal. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status