Share

SKBUS-6

PoV JOKO

'Duh, gara-gara kesel sama Lastri, aku sampe lupa ngunci bufet, kan. Jangan sampe dia ngabisin makanan di sana. Bisa-bisa dia kembali boros. Udah bagus seminggu ini dia bisa tahan makan sedikit.' Aku menggerutu sepanjang jalan saat terpaksa kembali ke kontrakan. Berdoa semoga saja Lastri tak kalap dan menghabiskan makanan yang ada di sana.

Sungguh merepotkan. Padahal, baru saja aku ingin menyuap nasi padang yang kubeli, aku malah teringat dengan pintu bufet yang tadi tak sempat kukunci. Terpaksa kusimpan dulu nasi padangku di meja kerja, daripada nanti nasi yang di rumah habis di makan Lastri. Ah, jadi ingat kejadian kemarin saat Lastri memergoki aku membeli nasi padang, hampir saja aku ketahuan. Untung saja tiba-tiba ada ide yang muncul di kepalaku untuk memberikan nasi itu pada kedua pegawaiku meskipun Lastri sedikit tak percaya dan aku harus keluar uang 50ribu. Tak apalah, toh, hanya sekali itu saja.

Aku memang sedang mengajarkan istriku itu untuk berhemat. Kalau istilah kekiniannya itu namanya frugal living. Rasanya keren saja kalau aku bisa berhasil membuat istriku itu hemat. Pasalnya selama setahun lebih kami menikah, tak sepeserpun uang yang tersisa dari nafkah yang kuberikan padanya. Semua selalu dia habiskan.

Bayangkan saja, dua ratus ribu jatah belanjanya habis begitu saja setiap minggunya. Entah dikemanakan uang dariku itu. Dia pernah bilang memang, kalau uangnya dia berikan pada ibunya untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, kenapa pula semuanya dia berikan? Tak bisakah dia menabung sedikit, pikirku. Toh, orang tuanya itu cukup kaya. Bisa-bisanya mereka menerima uang pemberian Lastri. Sungguh perhitungan sekali mereka itu. Padahal selama di sana, makanku tak banyak. Selalu sewajarnya saja, tiga centong nasi sekali makan dengan dua atau tiga potong lauk yang selalu tak jauh dari daging atau ikan, juga lauk pelengkap lainnya. Memang mereka itu terlalu boros sekali menurutku. Beruntung aku orangnya hemat.

Aku memang tak suka melihat gaya hidup mertuaku itu. Apalagi ibunya. Ibu mertuakuterlalu royal dan memanjakan istriku. Setiap hari, ada saja yang mereka buat. Entah itu kue-kue, roti, atau camilan seperti cilok, seblak, bakso dan lain-lain. Bukankah itu namanya pemborosan?

Makanya aku memutuskan untuk pindah rumah dengan cara mengontrak agar aku bisa mengatur pengeluaran kami. Jika saja aku tetap hidup bersama mertuaku itu, aku yakin Lastri takkan pernah bisa berhemat. Dan aku takut lama-lama dia jadi terbiasa boros seperti ibunya.

Satu hal yang paling membuatku takut. Aku takut Lastri kalap. Asal kalian tahu saja, badan mertuaku itu sangat gendut seperti kudanil. Lemak bergelambir di mana-mana. Aku yakin, sebentar lagi dia akan terkena banyak penyakit jika terus-terusan tak mengerem makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, melihat bobot Lastri yang belum punya anak saja sudah lumayan gemuk, aku jadi khawatir kalau lama kelamaan istriku itu berubah bengkak seperti ibunya jika kami tetap tinggal di sana.

Aku sudah bertekad akan membuat Lastri menjadi istri yang hemat, penurut dan tetap langsing. Dia pasti mengerti kalau semua yang kulakukan demi masa depan kami juga.

****

"Assalamu'alaikum ... Dek ... Dek Lastri ...."

Kulihat pintu depan tak di tutup tapi tak ada siapa-siapa di ruang depan, hanya ada satu kantung kresek yang tak tahu itu apa.

Aku mulai curiga saat tak ada sahutan dari dalam. Jangan-jangan benar firasatku kalau Lastri kini ada di dapur dan memakan semua makanan yang ada di bufet. Takbisa kubiarkan.

Dengan langkah lebar, aku buru-buru menuju dapur dan bersiap memergoki istriku itu.

"Dek! Kamu lagi apa, jangan bilang kalau kamu sedang--"

Ucapanku terhenti karena melihat Lastri kini sedang menunduk di depan ibunya yang memegang panci berisi nasi sisa yang dimasak tadi pagi.

'Gawat, apa ibu mertuaku itu sedang menanyai Lastri soal makanan sehari-hari kami?' Aku jadi gelagapan.

"Eh, i-ibu. Ka-kapan datang?" tanyaku ragu.

"Belum lama, kok." Dia menjawab dengan ketus. "Oh, iya. Ibu mau tanya. Ini kalian masak nasi sehari segini, apa gimana? Kok, sedikit sekali bekas nasi yang di ambil? Kalian belum sarapan atau gimana ini? Terus, kok, di lemari gak ada makanan atau cemilan apapun, Jok? Anak Ibu, kamu kasih makan apa tiap hari?" Mertua gendutku itu langsung memberondong dengan berbagai macam pertanyaan.

Tiba-tiba aku bingung harus menjawab apa. Pasalnya aku tak pernah membayangkan jika mertuaku itu akan melakukan sidak seperti ini ke kontrakanku.

"A-anu, itu ... itu ...." Aku benar-benar bingung harus jawab apa. Tapi, beberapa saat kemudian, terlintas sebuah jawaban di kepalaku.

"Ah, ini, Bu. Tadi pagi, Lastri sarapan di luar. Kebetulan aku jarang nyuruh Lastri masak di rumah, kasian, nanti dia kecapekan. Kan, Lastri sedang program, kami pengen punya momongan. Kata bidan, Lastri gak boleh kecapean. Jadinya, aku gak pernah nyuruh dia masak, Bu. Paling beli aja di luar. Kalau nasi itu, sih, itu bekas makanku, Bu. Aku makan di rumah aja sama telur dadar. Biar Lastri yang makan enak. Bener kan, Dek?" Aku mendekat pada Lastri dan merangkulnya sambil memberi kode padanya agar mengangguk dengan sedikit mencubit pinggangnya pelan. Sekalian, aku melayangkan tatapan tajam padanya agar tak mengadu yang macam-macam pada ibunya itu. Jangan sampai ibu mertuaku itu jadi marah dan membawa Lastri pergi kalau tahu anaknya itu kuajari berhemat setiap hari. Bisa kacau dunia persilatan!

"I-iya, Bu. A-aku suka beli sarapan di luar. Sedangkan Mas Joko makan di rumah, masak sendiri." Lastri menjawab dengan pelan.

Bagus! Ternyata Lastri paham juga dengan kode dariku.

"Benar begitu? Gak ada yang kamu sembunyikan dari ibu, kan, Neng?" selidik mertuaku itu.

Lagi, aku mencubit pinggang Lastri yang hanya diam saja agar segera menjawab.

"I-iya, Bu. Bener begitu. Lastri ... Lastri gak bohong." Aku langsung bernafas lega mendengar jawaban Lastri.

"Terus kenapa gak ada cemilan di bufet kamu ini? Gak pernah nyemil, kamu?"

Waduh! Perkara tak ada cemilan saja, ibunya itu sampai seperti itu. Bagaimana kalau tahu aku tak memberi makan anaknya dengan layak? Bisa di sunat dua kali aku.

"Dek Lastri lagi diet katanya, Bu. Jadi, Lastri minta aku buat gak beliin dia cemilan dulu, begitu." Terpaksa aku mengarang bebas lagi. Untung saja otakku ini cerdas, jadi bisa berpikir dengan cepat.

"Hallah ... ngapain diet-diet segala kamu, Neng. Nanti kamu sakit magh baru tau, deh! Udah, gak usah diet-diet. Pokoknya kalau nanti Ibu ke sini lagi, Ibu gak mau tau, isi bufet kalian ini harus penuh. Gak boleh kosong kayak gitu. Denger kamu, Joko? Terus kamu belilah itu kulkas, masa udah seminggu pindah gak ada kulkas. Lastri ini sukanya minuman yang dingin-dingin. Punya istri itu di manjain, dong. Masa di suruh diet! Jangan sengsarain anak Ibu. Awas aja kalo kamu ketauan sengsarain anak Ibu. Ibu gak segan-segan bawa dia pulang ke rumah Ibu! Ngerti kamu, Joko?!"

"Ng-ngerti, Bu."

Haduh ... Bisa runyam urusannya kalau seperti ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status