Share

SKBUS-4

Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu.

Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku.

"Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani.

'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal.

"Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang.

"Bungkus aja, Bang."

Setelah beres membayar, Mas Joko terlonjak kaget saat berbalik dan melihatku yang berada tepat di belakangnya sambil berkacak pinggang.

"E-eh, Dek Lastri. Kok, kamu ada di sini?" tanya Mas Joko gelagapan.

"Sengaja, mau nyusulin Mas yang ternyata enak-enakan beli nasi padang, sedangakan istrinya di rumah kelaparan," ucapku agak kencang. Para pengunjung sampai menatap ke arahku dengan heran.

Mas Joko refleks membekap mulutku dengan tangannya kemudian menggiringku keluar dari warung padang tersebut dengan wajah yang terlihat malu.

"Kamu itu apa-apaan, sih, Dek? Malu-maluin aja tau gak? Kok, kamu malah ngomong kayak tadi? Di depan banyak orang pula!" gerutu Mas Joko kesal.

"Loh, aku ngomong yang sebenernya, toh?Mas di sana enak-enakan beli nasi padang, mana rendangnya dua pula. Sedangkan aku? Aku di rumah kelaparan!" Kesalku sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Kamu udah salah paham, Dek. Kamu udan su'udzon sama Mas."

"Su'udzon gimana? Itu! Jelas-jelas buktinya ada di tanganmu, Mas. Masih mau ngelak gimana lagi, hah? Nyebelin!"

"Ini bukan buat Mas, Dek. Ini buat pegawai Mas."

Aku mengernyit heran. Buat pegawai katanya? Masa buat pegawai cuma beli satu? Pasti ini alasan Mas Joko saja supaya aku tak jadi marah.

"Baik banget pegawainya di kasih nasi padang. Tapi istri di rumah cuma di kasih telor dadar seuprit sama nasi seuprit. Lagian, kalo emang buat pegawai, kenapa cuma beli satu?" selidikku.

"Dek, gak usah ngeluh bisa, gak? Ini tuh, emang buat pegawai, soalnya kemarin banyak pelanggan jadi Mas mau kasih bonus. Nasinya kan banyak, jadi mas bikin sebungkus aja."

"Bonus kok, cuma sebungkus berdua. Aneh. Lagian, gimana aku gak ngeluh, Mas. Kamu itu udah gak adil sama aku. Lebih mentingin pegawai daripada perut istrimu ini. Tiap hari suruh ngirit. Jangan-jangan selama ini kamu sering makan di luar, makanya kuat makan sedikit di rumah." Aku mengeluarkan semua uneg-unegku pada akhirnya.

"Ya, enggak lah, Dek. Kamu ini kok, curigaan sekali sama suamimu sendiri? Udah ah, Mas mau balik kerja. Kamu pulang aja sana." Seperti biasa, setiap aku sedang marah, Mas Joko pasti menghindar dengan berbagai macam alasan.

Bukannya pulang, aku malah mengekori Mas Joko yang terlihat tak nyaman aku ikuti. Gelagatnya sangat mencurigakan. Orang tadi jelas-jelas karyawannya bilang kalau Mas Joko beli nasi padang gara-gara belum sarapan. Sekarang, Mas Joko malah mau kasih nasinya sama pegawainya. Mana cuma sebungkus. Masa mereka disuruh makan nasi padang sebungkus berdua? So sweet banget udah ngalahin pengantin baru aja.

"Ton, ini nasi padang buat sarapan, berdua aja makannya sama Deni, ya? Nasinya juga banyak itu. Rendangnya ada dua." ucap Mas Joko. Suaranya agak berat seakan tak ikhlas memberikan nasinya pada kedua pegawainya tersebut.

Mas Toni dan Mas Deni yang sedang mengotak-atik motor pelanggan langsung terlihat saling berpandangan heran.

"Tumben banget, Bos. Ada acara apa? Bukannya tadi Bos yang bilang kalau bos belum sarapan?" sahut Mas Toni. Wajah Mas Joko kembali terlihat gelagapan.

"Em, enggak. Siapa bilang? Ta-tadi ... Aku cuma mau kasih kalian bonus. Ya, bonus. Soalnya bengkel rame terus dari kemarin-kemarin. Udah, kalian makan aja." Mas Joko buru-buru melengos pergi ke dalam. Aku mengekorinya hingga ke dalam.

"Ngasih bonus, kok, cuma sebungkus berdua, ya? Pelitnya emang kebangetan Joko itu, pasti ini cuma gara-gara ketauan bininya aja jadi nasinya di kasih ke kita," gerutu Mas Toni yang masih bisa kudengar. Saat sadar aku masih ada di dekat mereka, Mas Toni langsung terlihat salah tingkah, "eh, Neng Lastri," ucapnya sambil tersenyum paksa.

Aku menggeleng heran dan langsung melengos pergi.

'Apa Mas Joko pelit juga, ya, sama pegawainya?' batinku.

"Mas?"

"Apalagi sih, Dek? Kenapa kamu gak pulang aja, sih?" Dia malah mengusirku lagi.

"Gak mau, kasih dulu Adek uang, Mas! Adek juga mau beli nasi padang!" Aku mengulurkan tangan dihadapannya.

"Hah?! Jangan ngaco, ah! Mas, kan, udah bilang, kita harus hemat." Mas Joko malah menepis tanganku dengan kasar. Lagi-lagi kata hemat itu keluar dari mulut Mas Joko. Rasanya aku udah jengah. Berat badanku malah turun sekilo gara-gara diminta hemat terus.

"Beli nasi padang sebungkus gak bakal bikin tabunganmu abis, Mas. Lagian, bukannya kamu bilang bengkelmu ini lagi rame? Masa beliin nasi padang buatku aja gak sanggup! Cepetan minta uang! Adek mau 50ribu." Aku tetap memaksa.

"50ribu? Nasi padang cuma 20ribu, Dek! Buat apa sisanya?"

"Terserah Adek, dong! Adek mau beli bedak juga. Bedak Adek abis."

"Helleh, kamu gak bedakan juga udah cantik, Dek. 20ribu aja, ya?" tawarnya.

"Gak mau! Pokoknya 50ribu! Kalo enggak, nanti malem, Mas gak usah minta jatah!"

Mas Joko langsung refleks menepuk keningnya pelan.

"Cepetaaannn!! Duit segitu gak bakalan bikin kamu bangkrut, Mas!"

Kulihat, Mas Joko dengan terpaksa mengeluarkan selembar uang 50ribu dari dompetnya dan menyodorkannya padaku dengan ragu. Buru-buru aku mengambilnya secepat kilat lalu pergi begitu saja.

'Rasain! Siapa suruh jadi suami pelit amat!' batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status