Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu.
Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku."Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani.'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal."Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang."Bungkus aja, Bang."Setelah beres membayar, Mas Joko terlonjak kaget saat berbalik dan melihatku yang berada tepat di belakangnya sambil berkacak pinggang."E-eh, Dek Lastri. Kok, kamu ada di sini?" tanya Mas Joko gelagapan."Sengaja, mau nyusulin Mas yang ternyata enak-enakan beli nasi padang, sedangakan istrinya di rumah kelaparan," ucapku agak kencang. Para pengunjung sampai menatap ke arahku dengan heran.Mas Joko refleks membekap mulutku dengan tangannya kemudian menggiringku keluar dari warung padang tersebut dengan wajah yang terlihat malu."Kamu itu apa-apaan, sih, Dek? Malu-maluin aja tau gak? Kok, kamu malah ngomong kayak tadi? Di depan banyak orang pula!" gerutu Mas Joko kesal."Loh, aku ngomong yang sebenernya, toh?Mas di sana enak-enakan beli nasi padang, mana rendangnya dua pula. Sedangkan aku? Aku di rumah kelaparan!" Kesalku sambil melipat kedua tangan di depan dada."Kamu udah salah paham, Dek. Kamu udan su'udzon sama Mas.""Su'udzon gimana? Itu! Jelas-jelas buktinya ada di tanganmu, Mas. Masih mau ngelak gimana lagi, hah? Nyebelin!""Ini bukan buat Mas, Dek. Ini buat pegawai Mas."Aku mengernyit heran. Buat pegawai katanya? Masa buat pegawai cuma beli satu? Pasti ini alasan Mas Joko saja supaya aku tak jadi marah."Baik banget pegawainya di kasih nasi padang. Tapi istri di rumah cuma di kasih telor dadar seuprit sama nasi seuprit. Lagian, kalo emang buat pegawai, kenapa cuma beli satu?" selidikku."Dek, gak usah ngeluh bisa, gak? Ini tuh, emang buat pegawai, soalnya kemarin banyak pelanggan jadi Mas mau kasih bonus. Nasinya kan banyak, jadi mas bikin sebungkus aja.""Bonus kok, cuma sebungkus berdua. Aneh. Lagian, gimana aku gak ngeluh, Mas. Kamu itu udah gak adil sama aku. Lebih mentingin pegawai daripada perut istrimu ini. Tiap hari suruh ngirit. Jangan-jangan selama ini kamu sering makan di luar, makanya kuat makan sedikit di rumah." Aku mengeluarkan semua uneg-unegku pada akhirnya."Ya, enggak lah, Dek. Kamu ini kok, curigaan sekali sama suamimu sendiri? Udah ah, Mas mau balik kerja. Kamu pulang aja sana." Seperti biasa, setiap aku sedang marah, Mas Joko pasti menghindar dengan berbagai macam alasan.Bukannya pulang, aku malah mengekori Mas Joko yang terlihat tak nyaman aku ikuti. Gelagatnya sangat mencurigakan. Orang tadi jelas-jelas karyawannya bilang kalau Mas Joko beli nasi padang gara-gara belum sarapan. Sekarang, Mas Joko malah mau kasih nasinya sama pegawainya. Mana cuma sebungkus. Masa mereka disuruh makan nasi padang sebungkus berdua? So sweet banget udah ngalahin pengantin baru aja."Ton, ini nasi padang buat sarapan, berdua aja makannya sama Deni, ya? Nasinya juga banyak itu. Rendangnya ada dua." ucap Mas Joko. Suaranya agak berat seakan tak ikhlas memberikan nasinya pada kedua pegawainya tersebut.Mas Toni dan Mas Deni yang sedang mengotak-atik motor pelanggan langsung terlihat saling berpandangan heran."Tumben banget, Bos. Ada acara apa? Bukannya tadi Bos yang bilang kalau bos belum sarapan?" sahut Mas Toni. Wajah Mas Joko kembali terlihat gelagapan."Em, enggak. Siapa bilang? Ta-tadi ... Aku cuma mau kasih kalian bonus. Ya, bonus. Soalnya bengkel rame terus dari kemarin-kemarin. Udah, kalian makan aja." Mas Joko buru-buru melengos pergi ke dalam. Aku mengekorinya hingga ke dalam."Ngasih bonus, kok, cuma sebungkus berdua, ya? Pelitnya emang kebangetan Joko itu, pasti ini cuma gara-gara ketauan bininya aja jadi nasinya di kasih ke kita," gerutu Mas Toni yang masih bisa kudengar. Saat sadar aku masih ada di dekat mereka, Mas Toni langsung terlihat salah tingkah, "eh, Neng Lastri," ucapnya sambil tersenyum paksa.Aku menggeleng heran dan langsung melengos pergi.'Apa Mas Joko pelit juga, ya, sama pegawainya?' batinku."Mas?""Apalagi sih, Dek? Kenapa kamu gak pulang aja, sih?" Dia malah mengusirku lagi."Gak mau, kasih dulu Adek uang, Mas! Adek juga mau beli nasi padang!" Aku mengulurkan tangan dihadapannya."Hah?! Jangan ngaco, ah! Mas, kan, udah bilang, kita harus hemat." Mas Joko malah menepis tanganku dengan kasar. Lagi-lagi kata hemat itu keluar dari mulut Mas Joko. Rasanya aku udah jengah. Berat badanku malah turun sekilo gara-gara diminta hemat terus."Beli nasi padang sebungkus gak bakal bikin tabunganmu abis, Mas. Lagian, bukannya kamu bilang bengkelmu ini lagi rame? Masa beliin nasi padang buatku aja gak sanggup! Cepetan minta uang! Adek mau 50ribu." Aku tetap memaksa."50ribu? Nasi padang cuma 20ribu, Dek! Buat apa sisanya?""Terserah Adek, dong! Adek mau beli bedak juga. Bedak Adek abis.""Helleh, kamu gak bedakan juga udah cantik, Dek. 20ribu aja, ya?" tawarnya."Gak mau! Pokoknya 50ribu! Kalo enggak, nanti malem, Mas gak usah minta jatah!"Mas Joko langsung refleks menepuk keningnya pelan."Cepetaaannn!! Duit segitu gak bakalan bikin kamu bangkrut, Mas!"Kulihat, Mas Joko dengan terpaksa mengeluarkan selembar uang 50ribu dari dompetnya dan menyodorkannya padaku dengan ragu. Buru-buru aku mengambilnya secepat kilat lalu pergi begitu saja.'Rasain! Siapa suruh jadi suami pelit amat!' batinku.Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa