Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga.
"Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak ingin menanggapi Marissa yang sepertinya marah padanya. Sedang Marissa hanya berdiri terpaku menatap suaminya yang berlalu tanpa ada kata. Setelah membersihkan dirinya, Marissa merasa tak bisa berada dalam satu ruangan dengan Tristan. Dia beranjak keluar kamar tanpa peduli pada suaminya yang duduk di sisi ruangan dengan tablet di tangannya. "Mau kemana, Riss?" tanya Naren yang nampak tengah berada di dapur. Pria itu terlihat sedang meracik kopi dengan alat canggih yang dimiliki dapur rumah itu. Marissa yang semula menuju ruang tengah, berbelok ke arah dapur. Dia menarik kursi yang berada tepat di meja mesin kopi itu dan duduk sembari melipat tangannya di meja. "Kamu tidak mengeringkan rambutmu setelah mencucinya?" tanya Naren yang mengetahui rambut adik iparnya itu masih basah. Tanpa kata Marissa hanya mengacak rambutnya. Dia memang tak menggunakan pengering rambut karena tak ingin terjadi keributan dengan sang suami yang nampak sedang bekerja di kamar. "Apa perusahaan sedang sibuk? Tidak biasanya Tristan membawa pekerjaan ke rumah, tapi kali ini dia sibuk di kamar," tanya Marissa. "Ya, begitulah. Hari ini Papa mengirim perpanjangan kontrak dengan tekanan luar negeri. Beliau meminta Tristan menangani," jelas Naren. "Sungguh?" tegas Marissa. Naren hanya menganggukkan kepalanya, dia bisa memastikan Tristan sibuk karena tanggung jawab baru yang ayahnya berikan. Hati Marissa sedikit lebih lega, dia merasa Tristan memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi setelah gagal memenangkan proyek dengan Naren. Sehingga dia tak akan mempermasalahkan jabatan Marissa di perusahaan keluarganya lagi. Pikiran itu membuat Marissa merasa lega dan yakin semua akan baik-baik saja. "Minum kopinya," ujar Naren menyodorkan secangkir kopi racikannya. Mereka berdua nampak duduk berhadapan di mini bar yang dimiliki rumah itu. Naren dan Marissa hanya duduk menikmati kopi mereka tanpa mengatakan apa pun. "Dari mana kamu belajar meracik kopi? Ini sangat enak," tanya Marissa mengganti topik obrolan. "Mama, aku selalu melihat saat Mama menyajikan kopi untuk Papa atau yang lain. Diam-diam aku mencuri ilmunya," jelas Naren. "Tristan juga bisa lakukan itu?" tanya Marissa penasaran. Sebagai penyuka kopi, Marissa membayangkan jika suaminya juga bisa meracik kopi seperti Naren. Walau ada luka yang masih belum kering di hatinya, rasa sebagai istrinya masih terlalu dalam sehingga dia yang juga penyuka kopi berharap Tristan juga memiliki kemampuan seperti yang Naren miliki. "Dia tak pernah peduli dengan apa pun, satu-satunya yang dia ketahui hanya membeli kopi di coffeeshop dan meminumnya," balas Naren dengan senyuman. Setelah menjelaskan hal itu, Naren beranjak dari kursinya. Dia menuju laci penyimpanan obat di dapur dan kembali ke meja dengan krim anti memar. Tanpa diminta dan diperintah, Naren membuka krim itu dan mengoleskan ke sudut mata Marissa. Setelah menutup permukaan lebam itu, Naren mendekatkan wajahnya dan meniup dengan sangat hati-hati. Dia pikir luka itu pasti sangat menyakitkan bagi Marissa. "Sudah tidak sakit, kok. Jangan berlebihan," kata Marissa sembari mendorong tubuh Naren mundur. "Ah, maaf. Bukan maksudku untuk ...," balas pria itu. "Aku tahu, kok. Terima kasih kopinya, aku masuk dulu," balas Marissa dan dia beranjak pergi. Jantung wanita itu berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apa yang Naren lakukan membuatnya merasa ada yang bergejolak di dalam hatinya. Marissa tak bisa memungkiri jika perhatian Naren sangat membuatnya tersentuh. "Sayangnya bukan Tristan," lirihnya dengan senyum tipis. Marissa masuk ke kamar dan suaminya terlihat berada di balkon. Dari bayangan yang terhalang kain tile penutup pintu kaca, pria itu nampak sedang menelepon. Hanya saja tak terdengar apa yang dia bicarakan dan siapa yang menjadi lawan bicaranya. Tak ingin terjadi salah paham dan konflik lagi, Marissa tak mendekat dan hanya langsung membaringkan tubuhnya ke ranjang. Kasur empuk yang sudah tiga malam tak dia tiduri itu terasa dingin. Jelas sekali jika Tristan benar tak pulang seperti yang Naren katakan sepulang dari pemakaman tadi. "Seharusnya kamu tidak pulang hari ini, sehingga aku bisa beristirahat dengan tenang." Marissa bergumam dalam hati. Wanita itu terlihat sekali sangat lelah, walau masih sore tapi dia sangat ingin berbaring. Dia ingin mengistirahatkan sebentar tubuhnya setelah badai besar dalam hidupnya empat hari terakhir ini. Dalam hitungan menit, mata Marissa sudah tertutup. Dia mengarungi dunia mimpi tanpa ada yang menganggu. Hingga tak terasa sudah jam makan malam.Marissa terjaga karena suara pintu kaca dari balkon yang dibuka oleh seseorang. Matanya terbuka dan dia segera turun dari ranjang. Marissa masih belum menyadari jika dia sudah lebih dari dua jam berbaring dan larut dalam istirahat singkat tapi menenangkan itu. "Apa? Sudah jam makan malam? Artinya aku tertidur lebih dari dua jam," lirihnya dan segera membasuh wajahnya. Saat wanita itu kembali dari kamar mandi, nampak Tristan sedang menyiapkan pakaiannya. Namun bukan baju santai yang dia siapkan. Dia nampak mengeluarkan celana, kemeja lengkap dengan dasi,serta sebuah cardigan rajut dari merk terkenal berwarna merah maroon. Jika dipakai, look yang akan terlihat seperti seorang pria yang akan menghadiri makan malam semi privat. "Ada janji di luar?" tanya Marissa. "Hm, makan malam dengan klien," balas Tristan singkat. Marissa merasa hal seperti itu adalah hal yang sangat biasa dikalangan pejabat perusahaan. Menjamu makan malam adalah bagian dari sebuah strategi mengaet investor serta cara memupuk kerjasama antar perusahaan dan juga para petinggi. Sehingga bagi Marissa tak ada yang aneh. "Aku akan pulang larut malam ini, jangan kunci pintu kamarnya." Tristan memberi peringatan. "Apa karena aku di rumah kamu mengatakan akan pulang? Bukankah beberapa hari lalu kamu keluar malam dan tak pulang?" desak Marissa. Tristan yang berjalan ke kamar mandi menghentikan langkah kakinya dan mencerna baik-baik apa yang istrinya katakan. "Pulang atau tidak pulang, sepertinya bukan sebuah kejahatan. Aku bisa lakukan apa pun yang aku inginkan," balas Tristan dan berlalu masuk kamar mandi. Tepat setelah Tristan menutup pintu kamar mandi, ponsel pria itu berdering. Sontak mata Marissa menuju sebuah benda pipih yang mengeluarkan nada notifikasi panggilan masuk itu. "Sekretaris baru?" lirih Marissa membaca nama kontak yang menelepon Tristan."Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala
Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Sekali lagi, tubuh wanita itu remuk redam oleh suaminya. Marissa hanya bisa menahan semuanya sendiri karena dia sadar benar jika sampai ayah mertuanya tahu akan membuat masalah menjadi rumit. Tuan Baruna akan mendesak Tristan lagi dan menimbulkan kekacauan yang pasti lebih dari saat ini. "Apa salahku?" tanya Marissa. "Salahmu? Kamu tanya apa salahmu?" tiru Tristan dengan sangat ketus. "Jelas banyak, kamu salah saat kamu menjadi wanita karir yang sukses, kamu salah saat datang ke perusahaan dan menjadi pengkritis proposal proyek, kamu salah saat kamu sibuk di perusahaan dan mengokohkan dirimu sebagai CEO sukses," jelas Tristan. Segala hal menjadi kesalahan di mata pria itu. Dia dengan lantang menyerukan apa yang tak dia sukai dari sang istri. Pada dasarnya, Tristan tak menyukai jika Marissa berada satu langkah saja di depannya. Pernikahan yang dimulai atas dasar perjodohan itu menjadi semakin buruk tatkala Tristan memupuk rasa irinya pada sang istri.
Tak ada kesempatan apa pun antara Marissa dan Tristan. Wanita itu merelakan karirnya dan membiarkan jabatan tertingginya di perusahaan dialihkan pada yang lain. Marissa mencoba menuruti keinginan suaminya dan berharap rumah tangganya membaik setelah berbagai keadaan yang membuat mereka berdua selalu berkonflik. "Kamu pulang?" tanya Marissa pada kakak iparnya. Setelah beberapa hari lengser dari jabatan itu, Marissa masih setia berada di rumah. Dia berusaha memberikan waktu sepenuhnya untuk Tristan. Walau belum memperlihatkan sikap yang mengarah lebih baik, tapi setidaknya tak ada lagi cekcok yang diakibatkan oleh keinginan Tristan agar Marissa berhenti dari pekerjaannya itu. "Makan siang denganku, apa kamu tidak bosan? Sejak berhenti bekerja sama sekali tak keluar rumah," sahut Naren."Sedikit, tapi bukan masalah, kok." Marissa memberi alasan. Naren mengajak adik iparnya itu makan siang di luar. Tanpa banyak berpikir, Marissa mengikuti
Marissa sudah cukup yakin atas hubungan Tristan dengan wanita lain yang tinggal di kompleks perumahan mewah itu. Tuhan menunjukkan semuanya dengan jelas hari itu, kemudian menambahkan bukti pada hari ini. Hati Marissa yang memang sudah rapuh, menjadi semakin sakit. Hanya saja kali ini dia tak ingin menyerah. "Aku sudah di rumah sesuai keinginanmu, Tan. Tidakkah kamu ingin membawaku makan malam di luar?" tanya Marissa. "Apa ini? Mengapa kamu terus menuntut balasan atas apa yang kamu korbankan?" desak Tristan. "Bukan menuntut, Tan. Bukankah kamu ingin aku di rumah dan memberikan seluruh waktuku untukmu?" ujarnya keras. Tristan menatap sinis ke arah istrinya, dia mendalami kalimat yang Marissa ucapkan. Tak ada yang bisa membuat pria itu mengerti tentang apa yang dia lakukan selama ini. Nyatanya meminta Marissa berhenti dari perusahaan tak membuatnya puas juga. Tekanan di perusahaan masih saja terus membuat Tristan merasa dirinya kalah.
Malam itu dihabiskan Marissa dengan membayangkan apa yang terjadi antara Tristan dan Naomi. Bayangan keduanya sedang beradu kemesaraan tak henti-hentinya membuat hatinya terkoyak. Tak bisa dipungkiri jika semua terjadi begitu saja tanpa diminta. "Tuhan terlalu cepat menunjukkan ini semua. Aku sampai tak memiliki kesempatan untuk sekedar bernapas." Marissa meratapi kepedihan kisah hidupnya. Belum juga segala duka dan kepedihannya beranjak, sudah ditambah lagi dengan kesedihan yang datang bertubi-tubi. Keputusan yang dia harapkan bisa memperbaiki segalanya justru berbalik menghancurkan semua yang dia miliki. Hingga tengah malam menjelang, tak ada tanda-tanda kepulangan Tristan. Suasana masih nampak sunyi sepi tanpa ada yang berlalu lalang. Para pegawai dan pembantu rumah itu juga nampaknya sudah menuju peraduan masing-masing untuk beristirahat. Hingga saat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, suara gerbang dibuka membuat mata Marissa tiba-tiba te