Share

7. Sekretaris Baru

Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. 

"Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. 

Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. 

"Baru pulang?" tanya Tristan. 

"Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. 

"Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. 

"Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. 

Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak ingin menanggapi Marissa yang sepertinya marah padanya. Sedang Marissa hanya berdiri terpaku menatap suaminya yang berlalu tanpa ada kata. 

Setelah membersihkan dirinya, Marissa merasa tak bisa berada dalam satu ruangan dengan Tristan. Dia beranjak keluar kamar tanpa peduli pada suaminya yang duduk di sisi ruangan dengan tablet di tangannya. 

"Mau kemana, Riss?" tanya Naren yang nampak tengah berada di dapur. Pria itu terlihat sedang meracik kopi dengan alat canggih yang dimiliki dapur rumah itu. 

Marissa yang semula menuju ruang tengah, berbelok ke arah dapur. Dia menarik kursi yang berada tepat di meja mesin kopi itu dan duduk sembari melipat tangannya di meja. 

"Kamu tidak mengeringkan rambutmu setelah mencucinya?" tanya Naren yang mengetahui rambut adik iparnya itu masih basah. 

Tanpa kata Marissa hanya mengacak rambutnya. Dia memang tak menggunakan pengering rambut karena tak ingin terjadi keributan dengan sang suami yang nampak sedang bekerja di kamar. 

"Apa perusahaan sedang sibuk? Tidak biasanya Tristan membawa pekerjaan ke rumah, tapi kali ini dia sibuk di kamar," tanya Marissa. 

"Ya, begitulah. Hari ini Papa mengirim perpanjangan kontrak dengan tekanan luar negeri. Beliau meminta Tristan menangani," jelas Naren. 

"Sungguh?" tegas Marissa. 

Naren hanya menganggukkan kepalanya, dia bisa memastikan Tristan sibuk karena tanggung jawab baru yang ayahnya berikan. Hati Marissa sedikit lebih lega, dia merasa Tristan memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi setelah gagal memenangkan proyek dengan Naren. Sehingga dia tak akan mempermasalahkan jabatan Marissa di perusahaan keluarganya lagi. Pikiran itu membuat Marissa merasa lega dan yakin semua akan baik-baik saja. 

"Minum kopinya," ujar Naren menyodorkan secangkir kopi racikannya. 

Mereka berdua nampak duduk berhadapan di mini bar yang dimiliki rumah itu. Naren dan Marissa hanya duduk menikmati kopi mereka tanpa mengatakan apa pun. 

"Dari mana kamu belajar meracik kopi? Ini sangat enak," tanya Marissa mengganti topik obrolan. 

"Mama, aku selalu melihat saat Mama menyajikan kopi untuk Papa atau yang lain. Diam-diam aku mencuri ilmunya," jelas Naren. 

"Tristan juga bisa lakukan itu?" tanya Marissa penasaran. 

Sebagai penyuka kopi, Marissa membayangkan jika suaminya juga bisa meracik kopi seperti Naren. Walau ada luka yang masih belum kering di hatinya, rasa sebagai istrinya masih terlalu dalam sehingga dia yang juga penyuka kopi berharap Tristan juga memiliki kemampuan seperti yang Naren miliki. 

"Dia tak pernah peduli dengan apa pun, satu-satunya yang dia ketahui hanya membeli kopi di coffeeshop dan meminumnya," balas Naren dengan senyuman. 

Setelah menjelaskan hal itu, Naren beranjak dari kursinya. Dia menuju laci penyimpanan obat di dapur dan kembali ke meja dengan krim anti memar. Tanpa diminta dan diperintah, Naren membuka krim itu dan mengoleskan ke sudut mata Marissa. 

Setelah menutup permukaan lebam itu, Naren mendekatkan wajahnya dan meniup dengan sangat hati-hati. Dia pikir luka itu pasti sangat menyakitkan bagi Marissa. 

"Sudah tidak sakit, kok. Jangan berlebihan," kata Marissa sembari mendorong tubuh Naren mundur. 

"Ah, maaf. Bukan maksudku untuk ...," balas pria itu. 

"Aku tahu, kok. Terima kasih kopinya, aku masuk dulu," balas Marissa dan dia beranjak pergi. 

Jantung wanita itu berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apa yang Naren lakukan membuatnya merasa ada yang bergejolak di dalam hatinya. Marissa tak bisa memungkiri jika perhatian Naren sangat membuatnya tersentuh. "Sayangnya bukan Tristan," lirihnya dengan senyum tipis. 

Marissa masuk ke kamar dan suaminya terlihat berada di balkon. Dari bayangan yang terhalang kain tile penutup pintu kaca, pria itu nampak sedang menelepon. Hanya saja tak terdengar apa yang dia bicarakan dan siapa yang menjadi lawan bicaranya. Tak ingin terjadi salah paham dan konflik lagi, Marissa tak mendekat dan hanya langsung membaringkan tubuhnya ke ranjang. 

Kasur empuk yang sudah tiga malam tak dia tiduri itu terasa dingin. Jelas sekali jika Tristan benar tak pulang seperti yang Naren katakan sepulang dari pemakaman tadi. 

"Seharusnya kamu tidak pulang hari ini, sehingga aku bisa beristirahat dengan tenang." Marissa bergumam dalam hati. 

Wanita itu terlihat sekali sangat lelah, walau masih sore tapi dia sangat ingin berbaring. Dia ingin mengistirahatkan sebentar tubuhnya setelah badai besar dalam hidupnya empat hari terakhir ini. Dalam hitungan menit, mata Marissa sudah tertutup. Dia mengarungi dunia mimpi tanpa ada yang menganggu. Hingga tak terasa sudah jam makan malam.

Marissa terjaga karena suara pintu kaca dari balkon yang dibuka oleh seseorang. Matanya terbuka dan dia segera turun dari ranjang. Marissa masih belum menyadari jika dia sudah lebih dari dua jam berbaring dan larut dalam istirahat singkat tapi menenangkan itu. 

"Apa? Sudah jam makan malam? Artinya aku tertidur lebih dari dua jam," lirihnya dan segera membasuh wajahnya. 

Saat wanita itu kembali dari kamar mandi, nampak Tristan sedang menyiapkan pakaiannya. Namun bukan baju santai yang dia siapkan. Dia nampak mengeluarkan celana, kemeja lengkap dengan dasi,serta sebuah cardigan rajut dari merk terkenal berwarna merah maroon. Jika dipakai, look yang akan terlihat seperti seorang pria yang akan menghadiri makan malam semi privat. 

"Ada janji di luar?" tanya Marissa. 

"Hm, makan malam dengan klien," balas Tristan singkat. 

Marissa merasa hal seperti itu adalah hal yang sangat biasa dikalangan pejabat perusahaan. Menjamu makan malam adalah bagian dari sebuah strategi mengaet investor serta cara memupuk kerjasama antar perusahaan dan juga para petinggi. Sehingga bagi Marissa tak ada yang aneh. 

"Aku akan pulang larut malam ini, jangan kunci pintu kamarnya." Tristan memberi peringatan. 

"Apa karena aku di rumah kamu mengatakan akan pulang? Bukankah beberapa hari lalu kamu keluar malam dan tak pulang?" desak Marissa. 

Tristan yang berjalan ke kamar mandi menghentikan langkah kakinya dan mencerna baik-baik apa yang istrinya katakan. 

"Pulang atau tidak pulang, sepertinya bukan sebuah kejahatan. Aku bisa lakukan apa pun yang aku inginkan," balas Tristan dan berlalu masuk kamar mandi. 

Tepat setelah Tristan menutup pintu kamar mandi, ponsel pria itu berdering. Sontak mata Marissa menuju sebuah benda pipih yang mengeluarkan nada notifikasi panggilan masuk itu. 

"Sekretaris baru?" lirih Marissa membaca nama kontak yang menelepon Tristan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status