"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba.
Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nakas. Pikirannya mulai berkelana dan menemukan kemungkinan. "Apa ada telepon?" batinnya. "Aku berpikir untuk mencari sekretaris baru, pekerjaanku semakin banyak dan yang sekarang tidak begitu bisa diandalkan," ujar Marissa. "Carilah, mengapa harus kamu sampaikan padaku?" Tristan mengakhiri perdebatan dan dia segera bersiap. Pria itu masih beberapa kali mencuri pandang pada siang istri. Ada perasaan yang tak nyaman di hati pria itu setelah pembahasan mengenai sekretaris. Saat Tristan meraih ponselnya untuk diperiksa, Marissa tak sengaja kedapatan menatap pria itu. "Ah, sudah aku duga, dia tahu sesuatu," batin pria itu. "Oh, karena ini kamu membahas soal sekretaris?" tanya Tristan. "Soal apa? Aku tidak mengerti," dusta Marissa. Tristan menunjukkan log panggilan di teleponnya yang menunjukkan sebuah panggilan tak terjawab dari nama kontak 'sekretaris baru' itu. "Sekretaris baru?" baca Marissa berpura-pura. "Apa kamu punya sekretaris baru?" tanyanya seakan penasaran. "Papa memberiku tanggung jawab besar sepulang dari luar negeri, Laras—sekretaris Tristan—tak akan mampu mengurus semua pekerjaanku. Sehingga aku memperkerjakan seorang sekretaris lagu untuk membantu Laras," jelas Tristan. "Ah, aku mengerti. Jika dia baru saja dia menelepon, pasti ada yang penting. Hubungi dia sekarang," balas Marissa dan kembali berbaring sembari menarik selimutnya. "Kamu tidak makan malam?" tanya Tristan. "Aku akan melewatkan makan malam hari ini. Tutup pintunya saat kamu keluar, semoga makan malammu menyenangkan," jawab Marissa. Tristan nampak memandangi istrinya yang sudah bersembunyi di balik selimut. Dia masih memikirkan apa yang menjadi pembahasan keduanya sebelum ini. Pikirannya dipenuhi kecurigaan sehingga ada perasaan tak tenang di dalam hati pria itu. Hingga saat terdengar suara pintu tertutup, Marissa keluar dari selimut yang membaluti tubuhnya. Dia berjalan ke arah jendela besar yang langsung menghadap ke area depan rumah. Dia menyaksikan mobil suaminya pergi meninggalkan rumah. "Nenekku baru saja meninggal, kamu tidak hadir selama empat hari persemayaman. Saat aku pulang, kamu hanya memberikan alasan kenapa tidak datang, setelah itu kamu pergi tanpa memberi penghiburan." Marissa mengeluh. Sebagai seorang wanita dan seorang istri, tentu saja Marissa berharap suaminya akan menjadi orang pertama yang memahami keadaan dan perasaannya. Dia berpikir walau semua sudah kacau di hari itu akan menjadi lebih baik saat dia kembali ke rumah setelah pemakaman. Namun ternyata salah, semua tak ada yang benar dan semua seperti sebuah kebohongan. Harapannya pupus dan lenyap seiring apa yang Tristan lakukan. "Seharusnya kamu juga minta maaf untuk luka ini," ujarnya sembari mengusap sudut matanya yang masih terasa nyeri. Saat tengah meratapi kekecewaan yang ada di hatinya, tiba-tiba pintu kamar Marissa ada yang mengetuk. Seketika mata wanita itu tertuju pada pintu berwarna coklat kayu itu. Dia menutup kembali tirai jendelanya dan berjalan menuju arah pintu. "Obati lukamu," ujar Naren sembari menyodorkan sebuah kotak obat. "Kamu pergi begitu saja tanpa mengobati lukamu tadi." Perhatian pria itu sangat detaildetail sehingga dia tahu benar jika Marissa belum mengobati lukanya. Mendapati Naren datang dengan penuh perhatian, tentu saja membuat Marissa tak bisa menolaknya. Dia menerima kotak obat dari Naren dan berucap terima kasih. "Kamu tidak makan malam?" tanya Naren dan dijawab dengan gelengan kepala oleh Marissa. "Sepertinya aku malas makan malam," sahutnya kemudian. "Oke, istirahatlah. Semoga mimpi indah," balas Naren dan dia segera pergi meninggalkan ambang pintu kamar Marissa. Mata Marissa belum lepas dari kakak iparnya itu. Dia menyadari betapa kini jarak antara dirinya dan juga Naren benar-benar telah lenyap. Tak ada lagi rasa waspada dan perasaan canggung antara keduanya sekarang. "Naren." Marissa memanggil kakak iparnya yang sudah hampir mencapai tangga naik ke lantai dua. "Aku bosan di rumah. Apa mau keluar sebentar?" ajak Marissa yang sepertinya bisa memanfaatkan waktu untuk menghibur diri bersama Naren. "Boleh, udara segar bagus untukmu," balas Naren tanpa penolakan. Pria itu menyambut hangat keinginan sang adik ipar. Niat utama Naren hanya ingin memberi penghiburan pada Marissa. Sehingga saat Marissa mengutarakan ajakannya, tidak ada alasan baginya untuk menolak. "Aku ambil sweater sebentar," ujar Marissa dan segera masuk. Alih-alih mengambil sweater seperti yang dia katakan pada Naren, wanita itu justru mengganti pakaian santainya. Marissa berpikir jika keluar rumah dengan pakaian santai terlalu buruk untuknya. Sehingga dia mengganti pakaiannya dengan yang lebih rapi dan pantas. Wanita itu juga tak lupa mengoleskan krim yang biasa dia gunakan untuk menutupi luka di sudut matanya itu."Lama sekali, kamu bilang hanya ambil sweater," protes Naren. "Ah, aku terlalu buruk jika tak mengganti pakaianku," balasnya diiringi senyum tipis. Keduanya segera keluar, entah kemana mereka akan pergi tak ada rencana sama sekali. Ajakan Marissa terlalu mendadak sehingga tak ada perbincangan tentang tujuan mereka berdua sekarang ini. Mobil melaju tanpa tujuan, keduanya memutuskan untuk berkendara sembari menikmati hari yang merayap menuju gelap. Bagi Marissa, ini adalah sebuah cara menghilangkan perasaannya yang kacau balau. Walau tak ada alasan untuk memikirkan tentang Tristan, tapi kenyataannya pria itu cukup membuat hatinya berantakan, pikirannya kalut dan perasaannya tak tenang. "Suamimu keluar, kemana dia akan pergi?" tanya Naren. "Makan malam dengan klien," balas Marissa. "Ah, dia punya jadwal di luar jam kerja? Luar biasa," sahut Naren heran. Melihat reaksi Naren yang keheranan cukup membuat Marissa merasa ada yang aneh. Entah hal apa itu, tapi ada yang dia rasakan bukan hal biasa. "Oh, iya. Tristan mengangkat seorang sekretaris baru untuk menjalani tugasnya, kamu mengenalnya?" tanya Marissa yang justru mengungkapkan apa yang dia ketahui. Naren mengerutkan dahinya, dia tak mengerti dengan pertanyaan Marissa. Sepengetahuan Naren, tak ada sekretaris baru atau pegawai baru di devisi Tristan. Sehingga cukup mengejutkan saat Marissa menanyakan hal itu. "Devisi Tristan adalah devisi paling santai, pekerjaan mereka tak begitu banyak. Lagi pula jika ada karyawan baru apa pun jabatannya pasti aku akan tahu," jelas Naren mengindikasikan jika tak ada sekretaris baru yang Tristan bicarakan tadi.Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke