Share

8. Sekretaris Rekayasa

"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. 

Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. 

"Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. 

"Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. 

Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai.

"Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. 

Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nakas. Pikirannya mulai berkelana dan menemukan kemungkinan. "Apa ada telepon?" batinnya. 

"Aku berpikir untuk mencari sekretaris baru, pekerjaanku semakin banyak dan yang sekarang tidak begitu bisa diandalkan," ujar Marissa. 

"Carilah, mengapa harus kamu sampaikan padaku?" Tristan mengakhiri perdebatan dan dia segera bersiap. 

Pria itu masih beberapa kali mencuri pandang pada siang istri. Ada perasaan yang tak nyaman di hati pria itu setelah pembahasan mengenai sekretaris. Saat Tristan meraih ponselnya untuk diperiksa, Marissa tak sengaja kedapatan menatap pria itu. "Ah, sudah aku duga, dia tahu sesuatu," batin pria itu. 

"Oh, karena ini kamu membahas soal sekretaris?" tanya Tristan. 

"Soal apa? Aku tidak mengerti," dusta Marissa. 

Tristan menunjukkan log panggilan di teleponnya yang menunjukkan sebuah panggilan tak terjawab dari nama kontak 'sekretaris baru' itu. 

"Sekretaris baru?" baca Marissa berpura-pura. "Apa kamu punya sekretaris baru?" tanyanya seakan penasaran. 

"Papa memberiku tanggung jawab besar sepulang dari luar negeri, Laras—sekretaris Tristan—tak akan mampu mengurus semua pekerjaanku. Sehingga aku memperkerjakan seorang sekretaris lagu untuk membantu Laras," jelas Tristan. 

"Ah, aku mengerti. Jika dia baru saja dia menelepon, pasti ada yang penting. Hubungi dia sekarang," balas Marissa dan kembali berbaring sembari menarik selimutnya. 

"Kamu tidak makan malam?" tanya Tristan. 

"Aku akan melewatkan makan malam hari ini. Tutup pintunya saat kamu keluar, semoga makan malammu menyenangkan," jawab Marissa. 

Tristan nampak memandangi istrinya yang sudah bersembunyi di balik selimut. Dia masih memikirkan apa yang menjadi pembahasan keduanya sebelum ini. Pikirannya dipenuhi kecurigaan sehingga ada perasaan tak tenang di dalam hati pria itu. Hingga saat terdengar suara pintu tertutup, Marissa keluar dari selimut yang membaluti tubuhnya. Dia berjalan ke arah jendela besar yang langsung menghadap ke area depan rumah. Dia menyaksikan mobil suaminya pergi meninggalkan rumah. 

"Nenekku baru saja meninggal, kamu tidak hadir selama empat hari persemayaman. Saat aku pulang, kamu hanya memberikan alasan kenapa tidak datang, setelah itu kamu pergi tanpa memberi penghiburan." Marissa mengeluh. 

Sebagai seorang wanita dan seorang istri, tentu saja Marissa berharap suaminya akan menjadi orang pertama yang memahami keadaan dan perasaannya. Dia berpikir walau semua sudah kacau di hari itu akan menjadi lebih baik saat dia kembali ke rumah setelah pemakaman. Namun ternyata salah, semua tak ada yang benar dan semua seperti sebuah kebohongan. Harapannya pupus dan lenyap seiring apa yang Tristan lakukan. 

"Seharusnya kamu juga minta maaf untuk luka ini," ujarnya sembari mengusap sudut matanya yang masih terasa nyeri. 

Saat tengah meratapi kekecewaan yang ada di hatinya, tiba-tiba pintu kamar Marissa ada yang mengetuk. Seketika mata wanita itu tertuju pada pintu berwarna coklat kayu itu. Dia menutup kembali tirai jendelanya dan berjalan menuju arah pintu. 

"Obati lukamu," ujar Naren sembari menyodorkan sebuah kotak obat. "Kamu pergi begitu saja tanpa mengobati lukamu tadi." Perhatian pria itu sangat detaildetail sehingga dia tahu benar jika Marissa belum mengobati lukanya. 

Mendapati Naren datang dengan penuh perhatian, tentu saja membuat Marissa tak bisa menolaknya. Dia menerima kotak obat dari Naren dan berucap terima kasih. 

"Kamu tidak makan malam?" tanya Naren dan dijawab dengan gelengan kepala oleh Marissa. 

"Sepertinya aku malas makan malam," sahutnya kemudian. 

"Oke, istirahatlah. Semoga mimpi indah," balas Naren dan dia segera pergi meninggalkan ambang pintu kamar Marissa. 

Mata Marissa belum lepas dari kakak iparnya itu. Dia menyadari betapa kini jarak antara dirinya dan juga Naren benar-benar telah lenyap. Tak ada lagi rasa waspada dan perasaan canggung antara keduanya sekarang. "Naren." Marissa memanggil kakak iparnya yang sudah hampir mencapai tangga naik ke lantai dua. 

"Aku bosan di rumah. Apa mau keluar sebentar?" ajak Marissa yang sepertinya bisa memanfaatkan waktu untuk menghibur diri bersama Naren. 

"Boleh, udara segar bagus untukmu," balas Naren tanpa penolakan. 

Pria itu menyambut hangat keinginan sang adik ipar. Niat utama Naren hanya ingin memberi penghiburan pada Marissa. Sehingga saat Marissa mengutarakan ajakannya, tidak ada alasan baginya untuk menolak. 

"Aku ambil sweater sebentar," ujar Marissa dan segera masuk. 

Alih-alih mengambil sweater seperti yang dia katakan pada Naren, wanita itu justru mengganti pakaian santainya. Marissa berpikir jika keluar rumah dengan pakaian santai terlalu buruk untuknya. Sehingga dia mengganti pakaiannya dengan yang lebih rapi dan pantas. Wanita itu juga tak lupa mengoleskan krim yang biasa dia gunakan untuk menutupi luka di sudut matanya itu.

"Lama sekali, kamu bilang hanya ambil sweater," protes Naren. 

"Ah, aku terlalu buruk jika tak mengganti pakaianku," balasnya diiringi senyum tipis. 

Keduanya segera keluar, entah kemana mereka akan pergi tak ada rencana sama sekali. Ajakan Marissa terlalu mendadak sehingga tak ada perbincangan tentang tujuan mereka berdua sekarang ini. Mobil melaju tanpa tujuan, keduanya memutuskan untuk berkendara sembari menikmati hari yang merayap menuju gelap. Bagi Marissa, ini adalah sebuah cara menghilangkan perasaannya yang kacau balau. Walau tak ada alasan untuk memikirkan tentang Tristan, tapi kenyataannya pria itu cukup membuat hatinya berantakan, pikirannya kalut dan perasaannya tak tenang. 

"Suamimu keluar, kemana dia akan pergi?" tanya Naren. 

"Makan malam dengan klien," balas Marissa. 

"Ah, dia punya jadwal di luar jam kerja? Luar biasa," sahut Naren heran. 

Melihat reaksi Naren yang keheranan cukup membuat Marissa merasa ada yang aneh. Entah hal apa itu, tapi ada yang dia rasakan bukan hal biasa. 

"Oh, iya. Tristan mengangkat seorang sekretaris baru untuk menjalani tugasnya, kamu mengenalnya?" tanya Marissa yang justru mengungkapkan apa yang dia ketahui. 

Naren mengerutkan dahinya, dia tak mengerti dengan pertanyaan Marissa. Sepengetahuan Naren, tak ada sekretaris baru atau pegawai baru di devisi Tristan. Sehingga cukup mengejutkan saat Marissa menanyakan hal itu. 

"Devisi Tristan adalah devisi paling santai, pekerjaan mereka tak begitu banyak. Lagi pula jika ada karyawan baru apa pun jabatannya pasti aku akan tahu," jelas Naren mengindikasikan jika tak ada sekretaris baru yang Tristan bicarakan tadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status