Pandangan mataku mulai berkunang-kunang setelah lebih dari lima belas menit duduk bersama kakek dan nenek Theo dan juga buyut-buyutnya. Mereka tidak menyebalkan, tapi jujur aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Syukurnya, mereka lebih fokus bertanya soal kehidupan dan hobi Theo ketimbang mengorek tentang aku. Satu hal yang pasti, Theo adalah cucu kesayangan kakek dan neneknya, dari kedua pihak orang tuanya. Dia menang banyak, tak ada alasan untuk takut tidak kebagian warisan.
"Eum, aku ke kamar mandi dulu ya," kataku pada Theo yang sedang asyik bercanda dengan kakek dan neneknya. Theo mengangguk sekenanya.
Saat aku melewati para sepupunya untuk ke toilet, aku bisa mendengar mereka berbisik sinis tentang Theo,
"Liat deh si tukang jilat, selalu nempel sama Opa Oma."
"Biasa lah, nggak heran kalau dia, sih."
"Dia kan pecundang, cuma jadi bayangan Nicholas."
O Shutup, bullies!! Kalau saja aku berani menghajar mereka saat ini juga. Tidak! Itu sama saja masuk ke dalam kandang singa. Lebih baik pura-pura tidak mendengar apa pun.
Setelah sampai di toilet, aku langsung menghela napas panjang, akhirnya ada jeda dari siksa neraka di luar. Lebih baik aku cepat-cepat selesaikan urusan, sebelum Theo mencari aku untuk dipamerkan lagi seperti tropi kepada anggota keluarganya yang lain.
Semua bilik toilet kosong, senangnya bisa buang air kecil tanpa gangguan. Namun, sial! baru saja aku mau keluar dari bilik toilet, seseorang masuk, diikuti seorang yang lain, aku urungkan niat untuk keluar. Kudengar suara pintu utama toilet dikunci. Kenapa dikunci? Kutahan napas agar mereka tidak tahu aku di dalam salah satu bilik.
Mereka kini berada di depan pintu bilik tempat aku berada. Mataku membesar ketika kulihat sepatu mereka dari celah pintu di bawah. Salah satunya memakai sepatu laki-laki! Tunggu dulu, buat apa laki-laki masuk ke dalam toilet perempuan?
"Sumpah! Aku benci banget sama tante kamu! Dia nyindir aku tadi, kan?"
"Tenang, Cherry ..."
Fiks! Itu suara laki-laki! Mereka diskusi sebentar, seputar keluarga si laki-laki, mungkin dia adalah salah satu sepupu Theo. Selang semenit kemudian, aku tak mendengar mereka membahas tentang keluarga si laki-laki itu lagi. Namun, malah lebih buruk, aku mendengar suara ciuman! Yuck! Aku jadi jijik sendiri. Bisa tidak dua orang ini jangan ciuman di sini? Rasanya aku ingin berteriak sekarang, menendang pintu ini sampai menghantam mereka. Rasanya lebih menggelikan ketimbang melihat anjing sedang kawin di jalan, kututup telingaku kuat-kuat.
Dari celah pintu bilik toilet, aku bisa melihat kaki si perempuan yang bernama Cherry itu tidak lagi terlihat. Sepertinya dia kini berada di atas wastafel. Suara ciuman mereka makin kuat, disertai sedikit desah, aku tidak tahan lagi, sumpah ..., aku tidak mau mendengar lebih jauh!
"Stop!!"
Brak!!
Kubuka pintu bilik toilet dengan cepat, tubuhku membeku sedang dua orang di hadapanku melihatku seperti melihat penampakan jin. "Lo siapa?! Sejak kapan lo di situ?! Lo paparazzi, ya?!" Cewek berambut pirang itu turun dari wastafel, bertanya dengan panik. Duh, kalaupun aku ini paparazzi, mending aku mengikuti Justin Bieber ketimbang cewek bermakeup satu kilo ini!
Sedetik aku bertemu pandang dengan si laki-laki. Aku benci untuk mengakui, tapi dia memang sangat tampan. Ya Tuhan, caranya melihatku ..., apakah aku bermimpi? Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi ... siapa? Aku tidak yakin dia sepupu Theo yang mana. Dia tak berkata apa-apa, cuma mukanya saja yang bingung.
Cukup bengongnya, Mayang! Aku harus lari dari sini sebelum mereka melaporkan aku kepada pihak keamanan karena dianggap menguntit. Secepatnya aku berlari keluar tanpa penjelasan. Jantungku memburu, pengalaman itu tak akan kulupakan seumur hidup! Semoga saja Theo tidak akan memperkenalkan mereka kepadaku atau sebaliknya, semoga tidak!!
Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman
Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol
Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.
Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su
Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi
"Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.