Keluarga Theo sudah berlalu, aku tak semestinya memikirkan mereka lagi. Tapi tidak, mereka masih menggentayangi kepalaku bahkan setelah seminggu berlalu sejak acara family gathering sialan itu. Apa lagi kakak laki-laki Theo, Nicholas. Mukanya seringkali tiba-tiba muncul di benakku, aku tidak tahu kenapa. Mungkin aku butuh liburan, mungkin aku butuh rehat sejenak dari toko buku ...,
"Mayang!"
Aku yang sedang menyusun buku terperanjat bukan main. Berbalik dengan muka mutung. Kulihat manajer toko, Ryan, berkacak pinggang sambil memegang beberapa buku di tangan kanannya. Dia membenarkan kacamatanya sembari berjalan ke arahku. Dia cuma dua tahun lebih tua tapi perawakannya tampak seperti pria hampir berkepala empat, jangan tanya kenapa.
"Belakangan saya liat kamu suka bengong, nggak heran buku-buku disusun nggak sesuai abjad! Ini buku juga nggak sesuai genre!"
Yup, dia lebih cerewet dari nenekku, tapi aku paham, itu adalah pekerjaannya.
"Sorry, saya perbaiki lagi." Kupaksa diri untuk tersenyum.
"Fokus! Semua orang juga punya masalah, bukan cuma kamu aja." Dasar cowok mulut setan!
Ryan berbalik ke tempat kassa, sekarang kasir yang jadi samsak tinju mulutnya. Tanganku lanjut bergerak menyusun buku yang belum selesai. Fokus, seperti kata Ryan tadi. Dan, saking fokusnya sampai aku menabrak seorang pengunjung bertubuh tinggi berjaket kulit, buku-buku di tanganku berjatuhan ke lantai.
"Ma-maaf, Mas!" kataku terbatah-batah sembari merunduk untuk mengambil buku-buku yang jatuh.
Senyum di bibirku memudar seiring aku berdiri dan menatap pria tinggi di hadapanku. Nicholas! Aku menjerit dalam hati. Jemari tangannya yang lentik perlahan melepas kacamata hitam yang dia kenakan.
"Jadi, di sini tempat kamu kerja?" Kepalanya beredar singkat.
Tidak mungkin. Pria seperti ini mana mungkin datang ke sini untuk membeli buku. Pasti dia sengaja menguntitku! "Kamu ngapain di sini? Ngikutin aku?!" tanyaku bernada cukup tinggi.
Nicholas tertawa kecil, dianggapnya tuduhanku tidak serius. "Maaf, tapi kamu kira kamu ini model atau apa? Ngapain ngikutin kamu?"
"Terus, ngapain di sini? Orang kayak kamu keliatan bukan tipe pembaca buku." Aku juga tidak tahu kenapa aku berkata seperti itu, tapi aku tahu aku terdengar sangat kasar tanpa alasan.
Nicholas melipat kedua tangannya di depan dada. "Oke, jujur aja ..., aku memang mencari tau soal kamu. Kenapa terkejut?"
"Buat apa?"
"Yah ..., karna di zaman sekarang, ada banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk jadi kaya, termasuk merusak hidup seorang anak orang kaya," katanya tajam, sambil tepat membidik tajam mataku.
Buset, sekarang dia mengira aku cewek Gold Digger (mata duitan alias matre). Padahal, sumpah, aku tidak pernah meminta apa pun kepada Theo. Dan lagi, kami juga tidak pacaran. Semestinya pura-pura jadi pasangan itu sudah berlalu,cukup sampai di acara keluarganya kemarin, kenapa masih berlanjut saja? Tapi tidak mungkin pula kalau aku jujur kepada Nicholas kalau kami hanya berpura-pura, Theo akan dipermalukan. Satu-satunya jalan hanyalah ..., melanjutkan sandiwara!
"Kalau kamu kira aku cuma mengejar harta Theo, kamu salah. Aku nggak ada maksud begitu. Kalau aku memang punya niat kayak gitu, ngapain juga aku masih tetap kerja di tempat ini?" Aku membela diri.
Nicholas tersenyum miring, sinis. "Justru itu, seorang karyawan toko buku yang bermimpi jadi Cinderella."
"Kamu udah keterlaluan, kalau kamu datang ke sini cuma untuk menghina aku dan profesi aku, lebih baik kamu keluar," kataku tegas.
Sekali lagi Nicholas tersenyum sinis, lantas mengambil satu buku secara acak dari rak buku di sampingnya. "Kita liat, apa kamu akan bertahan," katanya sembari berbalik. Tangan kanannya terangkat memegang buku yang dia ambil tadi lalu berjalan cuek ke kasir.
Apa mau cowok itu? Aku tak paham jalan pikirannya.
Harusnya sejak lima menit yang lalu aku sudah bisa pulang, berhubung jam ganti shift tepat pukul 5, dan sekarang telah pukul 5 lewat 5 menit. Tapi gara-gara si Ryan sibuk mengomeli anak baru yang bekerja di shift malam, aku terpaksa harus menunggu.Langkahku gontai keluar dari toko buku, akhirnya aku bisa pulang. Kepalaku pening. Kuseret langkah malas, saking tak berkonsentrasi hingga tersandung teras toko buku yang tak rata. Untung sebuah tangan dengan sigap menarik tanganku sebelum mukaku mencium teras batu!"Maka-- Kamu lagi?!"Kalimatku terputus, berganti muka jengkel sekaligus kaget. Lagi-lagi Nicholas! Mau apa dia di depan toko buku?! Jangan bilang ..., sejak kuusir tadi siang sampai sekarang, dia menunggu aku?!"Kamu nggak punya kerjaan, ya?! Hah?! Ngapain masih di sini?! Tadi udah kusuruh pergi, kan?!""Kenapa kamu galak banget, sih? Kamu lupa ..., posisi aku ini apa? Sebaiknya, kalau kamu butuh restu dari aku, kamu harus tau jaga sikap, ca
Dari ekor mataku, bisa kulihat ekspresi muka Nicholas sekarang. Bibirnya sedikit terangkat, sedang alisnya mengerut. Singkat kata, dia jijik melihat indekos tempat aku tinggal. Menurutku pribadi tidak buruk. Ada jendela kayu dengan warna favoritku, biru langit. Di halaman yang sempit, beberapa pot bunga mawar pemberian Ibu mekar. Memang kecil, berada tepat di tengah rumah bedeng, diapit dua indekos lainnya, tapi manis dan cantik. Sesuai seleraku."Ayo masuk." Kubuka pintu kayu yang juga dicat biru langit.Nicholas masuk. Matanya langsung menyisir ke kiri dan kanan, dari dapur yang cuma ada satu kompor kecil dan kulkas satu pintu, ke pintu kamar mandi yang juga dicat biru langit, lemari pakaian, TV, lalu berakhir di tempat tidur berseprai putih. Sisanya, hanya lantai kosong di tengah ruangan untuk duduk atau makan."Nggak ada sofa untuk duduk?" tanya Nicholas."Kalau pun ada sofa mungkin cuma muat di atap," balasku sinis. "Duduk aja di lantai. Kamu mau mak
"Kamu kira nyari kerjaan itu mudah? Ya ..., untuk orang sekaya kamu, pastinya mudah. Itu bukan masalah, tapi beda sama aku," ucapku agak tersinggung.Nicholas terdiam lagi, sepertinya sedang berpikir akan menyahut apa selanjutnya. Sedang masakanku sudah siap. Sembari aku menyajikan makanan, dia berkata lagi, "Kalau kamu mau, aku bisa carikan kamu kerja yang lebih layak dan bagus."Apa maksudnya, sih? Apa yang ada di pikiran manusia ini? Tadi dia seolah ingin menyingkirkan aku dari kehidupan Theo, namun sekarang dia malah bersikap manis. Mungkin ini jebakan, pikirku. Kalau aku langsung setuju, barangkali dia akan langsung mengira aku memang sengaja ingin memanfaatkan Theo dan keluarganya."Kerja apa maksudnya? Maaf ya, aku tau aku ini bukan orang kaya, tapi aku bukan pengemis. Aku juga nggak mau ngerepotin keluarga Theo.""Kenapa langsung ke arah sana ngomongnya? Aku kan nggak bilang kamu pengemis. Cuma ..., kalau kamu mau jadi bagian keluarga kami, seengg
Sebetulnya, semalam setelah aku mengadu soal Nicholas kepada Theo, dia melarangku untuk pergi ke kantor Nicholas hari ini. Namun, ego yang menumpuk di dada rasanya memaksaku untuk tetap pergi sebagai tanda bahwa aku siap untuk perang yang sebenarnya. Aku akan membuktikan kalau aku bukan cewek payah seperti yang Nicholas kira.Aku menerima tantangannya.Maka di sinilah aku sekarang, di kantor tempat Nicholas bekerja. Lengkap dengan kemeja putih dan rok hitam di bawah lutut. Rambut diikat rapi, muka dipoles riasan ringan dan lembut."Tunggu di sini aja, Mbak. Pak Nicholas belum datang," kata resepsionis yang mengantarku ke depan ruangan direktur.Perusahaan ini milik ayahnya, ruangan ayahnya berada di lantai paling atas, sewajarnya seorang CEO. Setahuku Theo bekerja di anak perusahaan yang lain. Mengingat kalau aku akan bekerja di tempat yang sama dengan Nicholas dan Om Baskoro, mendadak jantungku berdebar kencang.Mayang tolol! Sekarang lebih baik a
Satu ciri kalau tubuhku sudah terlalu lelah adalah aku baru bisa bangun dengan bantuan Alarm. Dan sejak bekerja dengan Nicholas, aku memang membutuhkan alarm untuk terjaga. Kalau lupa menyetel alarm, bisa-bisa aku baru terjaga pukul 10 pagi.Selama seminggu pertama, tiap hari aku harus mengisi asupan energi dengan kopi, padahal sebelumnya aku bukan tipe peminum kopi. Beberapa kali aku tertidur di atas meja kerja. Mau bagaimana lagi, tubuhku tidak bisa kompromi.Seperti siang ini pun, saat Nicholas sedang rapat mendadak, aku mencuri waktu untuk tidur siang sebentar di atas meja.Aku terjaga sekitar dua puluh menit kemudian. Anehnya, tubuhku kini diselimuti dengan jas hitam. Aku terperangah bukan main."Jas siapa nih?!" teriakku parno.Kucium aroma jas hitam itu, jelas ini bau aroma parfum mahal Nicholas. Ini jasnya! Aku memekik dalam hati. Ini pertama kali Nicholas menyelimuti aku saat tertidur di atas meja, dengan jasnya sendiri!Kutarik nap
Butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai ke peternakan milik keluarga Theo. Pantatku terasa panas akibat begitu lama duduk di kursi mobil milik Theo. Tak peduli mobilnya mewah dan jok-nya empuk, lima jam duduk di atasnya tetap saja bikin pantat super panas dan kebas.Selama menuju ke sana, tiga kali kami harus istirahat di warung kelontong pinggir jalan. Sekadar untuk melepas dahaga dan juga membeli camilan. Theo bilang, keluarganya sudah lebih dulu berangkat dengan naik bis keluarga. Entah apa itu maksudnya, aku tidak peduli, yang penting aku ingin secepatnya bisa lepas dari jalanan yang yang panjang ini.Makin dekat dengan area peternakan, jalan kian sepi, kami sudah meninggalkan kawasan pemukiman, yang tersisa hanya hutan di kanan dan kiri, untung saja jalannya tidak sejelek yang aku duga. Kami sampai saat aku sudah tertidur selama sepuluh menit akibat kantuk yang tak bisa dilawan.Terasa pipiku ditepuk-tepuk oleh Theo dibarengi suara sapaannya yang lembut, "Ma
Kuda hitam yang dikendalikan Nicholas masih terus bergerak. Dan aku masih berada di hadapannya, duduk dengan perasaan gugup campur takut. Ada ribuan kata di dalam kepalaku, mulai dari permohonan sampai makian, tapi tak satu pun yang terucap keluar. Semuanya tertahan di tenggorokan. Sementara kuda Nicholas masih terus berjalan ke area yang lebih luas, mulutnya juga tak mengucap sepatah kata pun. Suasana jadi makin tak nyaman.Ngomong, dong, Nicholas! Ngomong apa, kek!gerutuku dalam hati.Sebab dia tak juga memulai percakapan, akhirnya aku yang lebih dulu membuka mulut. "Aku mau turun! Aku takut! Kita mau sampe kapan kayak gini?!" kataku sambil berusaha menjauhkan diriku dari lengannya yang berada di bawah ketiakku, mengapit tubuhku agar tak jatuh."Nanggung. Tunggu kita nyampe!" tolaknya tak acuh.Ini orang emang, ya! Udah tadi aku hampir mati gara-gara dia, malah dengan seenaknya aja terus jalan!Aku bersungut-sungut dalam hat
Apa yang terjadi tadi siang di lapangan berumput masih terus menghantui pikiranku. Kesal, marah, jengkel, merasa jijik, dihinakan, semua bercampur dalam dada dan otak. Gara-gara Nicholas si brengsek, aku terpaksa kembali jalan kaki. Belum lagi, sikap kasar dan dinginnya tadi pun masih terpatri di kepala. Dan, meski aku jengkel setengah mati, rasanya di hati masih ada sedikit ruang tersisa untuk perasaan bersalah. Entah mengapa.Kalau bukan karena ada Theo dan orang tuanya, aku ingin sekali langsung pulang saat ini. Tak mau lagi berada di sini, harus berhadapan lagi dengan Nicholas. Apa lagi kalau harus pulang, aku harus menempuh perjalanan lima jam lagi, huh!Saat kembali ke peternakan, Theo bertanya kenapa mukaku berlipat-lipat, aku tak mau jujur terbuka kepadanya, lebih baik untuk saat ini dirahasiakan. Akan sangat aneh kalau Theo tahu tadi Nicholas sudah menciumku. Tanpa alasan.***Malam tiba, api unggun dinyalakan. Kompor untuk memanggang daging pun