Share

Dihantui Rasa Takut

Melihat Eliza pingsan di pelaminan, Karan membawanya ke ruangan lain. Acara yang berlangsung lama serta meriah itu mendadak terhenti seketika. Para tamu undangan ikut panik melihat pengantin wanita tidak sadarkan diri.

Wajar saja Eliza pingsan, dia memang sudah terlalu lelah dengan berbagai rangkain acara dalam beberapa waktu terakhir. Apalagi, keluarga Karan meminta mereka resepsi dengan adat Padang. Serangkaian acara itu diterima Eliza begitu saja tanpa protes.

Hari ini menjadi titik akhir rasa lelah tubuhnya. Bayangan masa lalu yang pahit juga telah mengancam kehidupan Eliza. Banyak hal buruk yang terbesit dalam benaknya, tentang seseorang.

“Lelaki itu, aku benci dia. Tidak!!!!” pekik Eliza seketika saat terbangun.

Setelah beberapa kali Karan berupaya membangunakan Eliza dibantu oleh beberapa orang lainnya.

“Arrrrggghhhttt!!!” lirih Eliza seraya menyentuh pelipisnya.

Rasa sakit di kepala sebelah kirinya membuat Eliza terpekik menahan sakitnya. Karan menyentuh lembut istrinya seraya membantu Eliza bangun.

“Aku di mana Karan? Apa yang terjadi kepadaku?” tanya Eliza seraya melihat sekeliling ruangan.

“Kamu tadi pingsan, aku membawaku ke ruangan tempat kita berganti pakaian. Kenapa kamu tidak mengatakan apapun. Jika aku tahu kamu sakit, tentu saja aku tidak akan membiarkan tetap menyelesaikan acara.”

Sekali lagi Eliza menyentuh pelipisnya seraya mengernyitkan dahi, “tidak masalah, Karan. Aku baik-baik saja, mungkin kelelahan saja. Maaf, aku sudah mengacaukan acara kita.”

“Jangan bicara begitu, acara ini tidak lebih penting daripada kesehatan kamu. Aku sudah meminta pembawa acara untuk mengakhiri kegiatannya. Kurasa kita sudahi saja, kamu bangun pun pasti tidak akan kuat lagi. Minumlah, kamu membutuhkan energi untuk tubuhmu.”

Eliza menuruti Karan, dia meneguk segelas air putih di tangan Karan. Setelah Eliza lebih tenang, perias membantu Eliza untuk melepaskan pakaian dan segala aksesoris yang memberatkan tubuhnya.

Entah berapa berat segala macam aksesoris itu, demi menyenangkan mertuanya Eliza mau melakukan serangkaian kegiatan ini. Tidak peduli dengan kondisi tubuh dan rasa lelahnya. Saat itu, yang ada dalam benak Eliza hanyalah agar acara segera selesai.

Pernikahan bahagia dan menyenangkan ini seperti mimpi buruk, selama tiga hari berturut-turut acara terus berlangsung dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak mengerti, Eliza mau saja menuruti keinginan keluarga Karan.

“Cinta telah mengalahkan segalanya, dan cinta pula telah membungkam mulutmu untuk berbicara.”

Kalimat Zoe seolah terngiang dalam pikiran Eliza. Saat terakhir kali keduanya bertemu di sebuah coffeeshop menikmti kopi kesukaan mereka sambil bercanda menghabiskan masa lajang. Sebelum Eliza melepas masa lajang dan sibuk dengan suaminya. Zoe mengajaknya bertemu hari itu.

Bukan tidak mungkin, Eliza menceritakan banyak hal mengenai Karan. Perjumpaan tidak sengaja, dari atasan dengan bawahan menjadi sepasang kekasih. Eliza yang saat itu bekerja di perusahaan milik Karan.

Cinta tumbuh di antara keduanya, hanya menjalani hubungan tidak kurang dari dua bulan. Akhirnya Karan melamar Eliza dan keduanya memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat.

“Bukan cinta, Zoe. Takdir. Tuhan telah menunjukkan Karan sebagai takdir terakhirku, tidak ada salahnya. Dia baik, selama ini ia memperlakukan aku layaknya lelaki sejati.”

“Jadi, hanya karena itu kamu akhirnya mau menikah dengannya?”

“Apa yang perlu aku pikirkan lagi, Zoe. Di depan mataku sudah ada lelaki yang tulus, tidak ada salahnya jika aku memutuskan menikah dengannya. Itu keputusanku, Zoe.”

“Itu keputusanmu, benar. Tapi aku hanya mengingatkan, jangan sampai kamu salah melangkah dan salah memilih lelaki. Selama ini yang kamu lihat hanya kebaikan saja, tapi dalamnya tidak begitu tahu.”

Percakapan itu terngiang dalam benak Eliza. Bukan tidak mungkin jika Eliza merasa ketakutan saat mengambil keputusan menikah dengan Karan. Hatinya hanya menyakini Karan baik, meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

Bukankah dahulu ayahnya juga baik? Sosok suami dan ayah yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Hanya karena masalah yang terjadi di tahun 1998 itulah kemudian merubah Jacob menjadi serigala ganas.

Bukan hanya istrinya sebagai korban, Eliza juga menjadi korban perpisahan dan pengkhianatan sang ayah. Perasaan campur aduk itu menjadikan Eliza sosok yang tangguh. Dia belajar untuk lebih kuat, apalagi setelah ibunya meninggal. Seolah langit runtuh menimpa tubuhnya, Eliza hidup sebatang kara.

“El, kamu kenapa? Kok melamun?” ujar Karan membuyarkan lamunan kosong Eliza.

“Ah, tidak. Aku hanya sedang rindu kepada ibuku, seharusnya di hari bahagiku beliau hadir. Sayang sekali, Tuhan lebih menyayangi dirinya daripada aku. Sebelum melihat anaknya bahagia, Tuhan telah mengambilnya lebih dulu.”

“Ibumu pasti bahagia, El. Kamu harus mengikhlaskan kepergiannya, istirahatlah sebentar di sini. Aku akan meminta sopir untuk menyiapkan mobil. Kita langsung ke rumah saja, kamu perlu banyak istirahat.”

Eliza hanya mengangguk menyetujui permintaan Karan. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain istirahat dan membaringkan tubuhnya. Tidak lupa Eliza mengganti pakainnya dengan pakain lebih sederhana daripada gaun yang dikenakan di pelaminan.

Jangankan tiga hari tiga malam non stop, sehari saja sudah sangat lelah melewati prosesi resepsi pernikahan dengan serangkaian adat istiadat. Bak pernikahan tuan putri yang meriah nan megah, bukan bahagia justru Eliza tersiksa dengan keadaanya saat itu.

Hanya beberapa menit Karan meninggalkan Eliza.

“El, kita pulang sekarang? Mobilnya sudah siap.”

“Iya, aku juga sudah lelah ingin istirahat.”

Karan memboyong Eliza, membantunya berjalan perlahan. Tubuh Eliza benar-benar lemah, tenaga terkuras habis dalam beberapa waktu terakhir selama prosesi akad hingga resepsi.

“Kamu pasti benar-benar kelelahan, maafkan aku jika pesta pernikahan kita hanya membuatmu sakit.”

“Tidak, Karan. Jangan bicara begitu, aku tahu kamu bahagia dengan acara seperti ini. Apapun yang kamu berikan tentu itu juga untuk aku.”

“Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kita?”

Seketika Eliza terperangah dengan pertanyaan Karan. Seolah Karan meragukan perkataan Eliza, dia selalu mengatakan semua yang dilakukan Karan membuatnya bahagia. Namun kenyataan, entahlah.

Sebenarnya, Eliza tidak ingin menjawab pertanyaan Karan. Cukuplah bagi Eliza agar Karan melihat senyumnya, itu sudah menjelaskan dirinya benar bahagia. Tetapi sekali lagi, Karan meragukan hal itu.

“Pak, jalan!” pinta Eliza.

Dia mengalihkan pembicaraan, Eliza tidak ingin Karan terus mempertanyakan kebahagiaannya. Setiap perempuan tentu akan bahagia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Lelaki yang tidak hanya obral janji semata, melainkan bukti cinta dengan mengikat janji sucinya.

“Jangan mengalihkan pertanyaanku, El. Jika kamu tidak bahagia, katakan saja.”

“Karan, seluruh dunia juga tahu bahwa aku bahagia bersamamu. Kamu sudah memberikan banyak hal untukku dan kamu sudah membuktikan keseriusanmu dengan menikahiku. Itu saja sudah cukup memberikan aku banyak kebahagiaan. Pesta pernikahan ini juga menjadi impian setiap wanita, aku merasa sangat istimewa menjadi salah satu dari wanita yang mendapatkan ini dari suamiku.”

Karan tersenyum mendengar jawaban Eliza. Wajah bahagianya benar-benar berbinar, Karan mengecup lembut dahi Eliza.

Mendapati semua itu, Eliza tersipu malu. Apalagi di antara mereka ada sopir yang melihat melalui kaca spion dalam.

“Sudah, malu dilihat Pak Bayu.”

Perhatian Karan teralihkan saat mendengar dering ponselnya. Entah siapa yang mengganggu romantisme keduanya.

[Karan, kamu di mana? Aku tahu kamu sedang bahagia bersama Eliza. Tapi, tolong Karan. Jangan berbahagia di atas penderitaan aku. Aku gak mau tahu, pokoknya kita harus bertemu malam ini]

“Karan, kenapa diam? Itu pesan dari siapa?”

“Emh, ini...”

BERSAMBUNG...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
mayang wijaya
Helah karan karan wkwkwkkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status