Melihat Eliza pingsan di pelaminan, Karan membawanya ke ruangan lain. Acara yang berlangsung lama serta meriah itu mendadak terhenti seketika. Para tamu undangan ikut panik melihat pengantin wanita tidak sadarkan diri.
Wajar saja Eliza pingsan, dia memang sudah terlalu lelah dengan berbagai rangkain acara dalam beberapa waktu terakhir. Apalagi, keluarga Karan meminta mereka resepsi dengan adat Padang. Serangkaian acara itu diterima Eliza begitu saja tanpa protes.
Hari ini menjadi titik akhir rasa lelah tubuhnya. Bayangan masa lalu yang pahit juga telah mengancam kehidupan Eliza. Banyak hal buruk yang terbesit dalam benaknya, tentang seseorang.
“Lelaki itu, aku benci dia. Tidak!!!!” pekik Eliza seketika saat terbangun.
Setelah beberapa kali Karan berupaya membangunakan Eliza dibantu oleh beberapa orang lainnya.
“Arrrrggghhhttt!!!” lirih Eliza seraya menyentuh pelipisnya.
Rasa sakit di kepala sebelah kirinya membuat Eliza terpekik menahan sakitnya. Karan menyentuh lembut istrinya seraya membantu Eliza bangun.
“Aku di mana Karan? Apa yang terjadi kepadaku?” tanya Eliza seraya melihat sekeliling ruangan.
“Kamu tadi pingsan, aku membawaku ke ruangan tempat kita berganti pakaian. Kenapa kamu tidak mengatakan apapun. Jika aku tahu kamu sakit, tentu saja aku tidak akan membiarkan tetap menyelesaikan acara.”
Sekali lagi Eliza menyentuh pelipisnya seraya mengernyitkan dahi, “tidak masalah, Karan. Aku baik-baik saja, mungkin kelelahan saja. Maaf, aku sudah mengacaukan acara kita.”
“Jangan bicara begitu, acara ini tidak lebih penting daripada kesehatan kamu. Aku sudah meminta pembawa acara untuk mengakhiri kegiatannya. Kurasa kita sudahi saja, kamu bangun pun pasti tidak akan kuat lagi. Minumlah, kamu membutuhkan energi untuk tubuhmu.”
Eliza menuruti Karan, dia meneguk segelas air putih di tangan Karan. Setelah Eliza lebih tenang, perias membantu Eliza untuk melepaskan pakaian dan segala aksesoris yang memberatkan tubuhnya.
Entah berapa berat segala macam aksesoris itu, demi menyenangkan mertuanya Eliza mau melakukan serangkaian kegiatan ini. Tidak peduli dengan kondisi tubuh dan rasa lelahnya. Saat itu, yang ada dalam benak Eliza hanyalah agar acara segera selesai.
Pernikahan bahagia dan menyenangkan ini seperti mimpi buruk, selama tiga hari berturut-turut acara terus berlangsung dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak mengerti, Eliza mau saja menuruti keinginan keluarga Karan.
“Cinta telah mengalahkan segalanya, dan cinta pula telah membungkam mulutmu untuk berbicara.”
Kalimat Zoe seolah terngiang dalam pikiran Eliza. Saat terakhir kali keduanya bertemu di sebuah coffeeshop menikmti kopi kesukaan mereka sambil bercanda menghabiskan masa lajang. Sebelum Eliza melepas masa lajang dan sibuk dengan suaminya. Zoe mengajaknya bertemu hari itu.
Bukan tidak mungkin, Eliza menceritakan banyak hal mengenai Karan. Perjumpaan tidak sengaja, dari atasan dengan bawahan menjadi sepasang kekasih. Eliza yang saat itu bekerja di perusahaan milik Karan.
Cinta tumbuh di antara keduanya, hanya menjalani hubungan tidak kurang dari dua bulan. Akhirnya Karan melamar Eliza dan keduanya memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat.
“Bukan cinta, Zoe. Takdir. Tuhan telah menunjukkan Karan sebagai takdir terakhirku, tidak ada salahnya. Dia baik, selama ini ia memperlakukan aku layaknya lelaki sejati.”
“Jadi, hanya karena itu kamu akhirnya mau menikah dengannya?”
“Apa yang perlu aku pikirkan lagi, Zoe. Di depan mataku sudah ada lelaki yang tulus, tidak ada salahnya jika aku memutuskan menikah dengannya. Itu keputusanku, Zoe.”
“Itu keputusanmu, benar. Tapi aku hanya mengingatkan, jangan sampai kamu salah melangkah dan salah memilih lelaki. Selama ini yang kamu lihat hanya kebaikan saja, tapi dalamnya tidak begitu tahu.”
Percakapan itu terngiang dalam benak Eliza. Bukan tidak mungkin jika Eliza merasa ketakutan saat mengambil keputusan menikah dengan Karan. Hatinya hanya menyakini Karan baik, meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
Bukankah dahulu ayahnya juga baik? Sosok suami dan ayah yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Hanya karena masalah yang terjadi di tahun 1998 itulah kemudian merubah Jacob menjadi serigala ganas.
Bukan hanya istrinya sebagai korban, Eliza juga menjadi korban perpisahan dan pengkhianatan sang ayah. Perasaan campur aduk itu menjadikan Eliza sosok yang tangguh. Dia belajar untuk lebih kuat, apalagi setelah ibunya meninggal. Seolah langit runtuh menimpa tubuhnya, Eliza hidup sebatang kara.
“El, kamu kenapa? Kok melamun?” ujar Karan membuyarkan lamunan kosong Eliza.
“Ah, tidak. Aku hanya sedang rindu kepada ibuku, seharusnya di hari bahagiku beliau hadir. Sayang sekali, Tuhan lebih menyayangi dirinya daripada aku. Sebelum melihat anaknya bahagia, Tuhan telah mengambilnya lebih dulu.”
“Ibumu pasti bahagia, El. Kamu harus mengikhlaskan kepergiannya, istirahatlah sebentar di sini. Aku akan meminta sopir untuk menyiapkan mobil. Kita langsung ke rumah saja, kamu perlu banyak istirahat.”
Eliza hanya mengangguk menyetujui permintaan Karan. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain istirahat dan membaringkan tubuhnya. Tidak lupa Eliza mengganti pakainnya dengan pakain lebih sederhana daripada gaun yang dikenakan di pelaminan.
Jangankan tiga hari tiga malam non stop, sehari saja sudah sangat lelah melewati prosesi resepsi pernikahan dengan serangkaian adat istiadat. Bak pernikahan tuan putri yang meriah nan megah, bukan bahagia justru Eliza tersiksa dengan keadaanya saat itu.
Hanya beberapa menit Karan meninggalkan Eliza.
“El, kita pulang sekarang? Mobilnya sudah siap.”
“Iya, aku juga sudah lelah ingin istirahat.”
Karan memboyong Eliza, membantunya berjalan perlahan. Tubuh Eliza benar-benar lemah, tenaga terkuras habis dalam beberapa waktu terakhir selama prosesi akad hingga resepsi.
“Kamu pasti benar-benar kelelahan, maafkan aku jika pesta pernikahan kita hanya membuatmu sakit.”
“Tidak, Karan. Jangan bicara begitu, aku tahu kamu bahagia dengan acara seperti ini. Apapun yang kamu berikan tentu itu juga untuk aku.”
“Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kita?”
Seketika Eliza terperangah dengan pertanyaan Karan. Seolah Karan meragukan perkataan Eliza, dia selalu mengatakan semua yang dilakukan Karan membuatnya bahagia. Namun kenyataan, entahlah.
Sebenarnya, Eliza tidak ingin menjawab pertanyaan Karan. Cukuplah bagi Eliza agar Karan melihat senyumnya, itu sudah menjelaskan dirinya benar bahagia. Tetapi sekali lagi, Karan meragukan hal itu.
“Pak, jalan!” pinta Eliza.
Dia mengalihkan pembicaraan, Eliza tidak ingin Karan terus mempertanyakan kebahagiaannya. Setiap perempuan tentu akan bahagia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Lelaki yang tidak hanya obral janji semata, melainkan bukti cinta dengan mengikat janji sucinya.
“Jangan mengalihkan pertanyaanku, El. Jika kamu tidak bahagia, katakan saja.”
“Karan, seluruh dunia juga tahu bahwa aku bahagia bersamamu. Kamu sudah memberikan banyak hal untukku dan kamu sudah membuktikan keseriusanmu dengan menikahiku. Itu saja sudah cukup memberikan aku banyak kebahagiaan. Pesta pernikahan ini juga menjadi impian setiap wanita, aku merasa sangat istimewa menjadi salah satu dari wanita yang mendapatkan ini dari suamiku.”
Karan tersenyum mendengar jawaban Eliza. Wajah bahagianya benar-benar berbinar, Karan mengecup lembut dahi Eliza.
Mendapati semua itu, Eliza tersipu malu. Apalagi di antara mereka ada sopir yang melihat melalui kaca spion dalam.
“Sudah, malu dilihat Pak Bayu.”
Perhatian Karan teralihkan saat mendengar dering ponselnya. Entah siapa yang mengganggu romantisme keduanya.
[Karan, kamu di mana? Aku tahu kamu sedang bahagia bersama Eliza. Tapi, tolong Karan. Jangan berbahagia di atas penderitaan aku. Aku gak mau tahu, pokoknya kita harus bertemu malam ini]
“Karan, kenapa diam? Itu pesan dari siapa?”
“Emh, ini...”
BERSAMBUNG...
Karan masih terdiam setelah mendapatkan pesan dari seseorang. Eliza masih menunggu Karan untuk bicara, dia masih sibuk membalas pesan tersebut.“Pesan dari siapa? Sibuk banget.”Merasa didiamkan Karan, akhirnya Eliza beranikan diri untuk bertanya. Memang, Karan terlihat asyik dengan gedget di tangannya. Tanpa sadar, dia seperti lupa ada Eliza di sebelahnya.“Emh, ini enggak kok, ada pesan dari kantor. Biasa, masih perihal pekerjaan. Kamu tahu sendiri bagaimana pekerjaan di kantor bukan? Sejak kamu tidak ada, banyak pekerjaan yang berantakan. Aku masih harus beradaptasi dengan sekretaris baruku.”“Itu bukan salahku, kamu sendiri yang memintaku berhenti bekerja.”“Sayang, bukan begitu. Aku hanya ingin istriku di rumah, istirahat. Agar saat aku pulang bekerja, kamu menyambut kepulanganku.”Sekali lagi lagi, Eliza tidak diberikan kesempatan untuk melakukan yang dia inginkan. Meskipun tujuan Karan baik, tetap saja itu tidak membuatnya nyaman. Maklum, selama ini Eliza terbiasa bekerja dan j
Karan segera mengenakan pakain dengan malas, terpaksa dia harus turun ke bawah untuk menyantap makan malamnya. Sepertinya, Eliza juga tidak bersedia untuk memenuhi keinginannya saat ini. Karan harus menunggu, setidaknya sampai makan malam usai. “Oh, ayolah! Kenapa wajahmu muram sekali? Tersenyumlah sedikit, Karan.” “Aku sebenarnya tidak begitu lapar, tapi kamu juga harus mengisi perutmu. Aku tidak ingin kamu pingsan lagi seperti tadi.” “Tenanglah, aku baik-baik saja. Setelah ini aku akan baik-baik saja, ayolah kita turun sekarang!” Eliza menarik tangan Karan setelah usai menggunakan pakaian. Karan mengikutinya dari belakang. Demi bidadari yang dicintainya, tentu saja dia akan melakukan apapun. Bidadari? Benar hanya Eliza yang dicintai oleh Karan? Lalu, siapa yang mengirimkan pesan begitu mesra itu kepadanya? Ah, sial. Karan terlalu baik untuk dikatakan lelaki brengsek. Siapa yang akan mengira Karan akan melakukan pengkhianatan. Tidak! Karan baru saja akan meninggalkan kamar sebe
Bukan hanya lampu kamar yang dimatikan oleh Karan, seketika dia menarik tubuh Eliza ke atas ranjangnya. Tak memberikan aba-aba, tidak peduli Eliza akan menyetujuinya ataupun tidak. Karan benar-benar malayangkan aksinya.“Karan, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!”“Diamlah! Bukankah kita sudah menikah? Tidak ada yang dapat melarang apapun yang dapat kulakukan kepadamu.”“Iya, tapi... Karan...”Karan tidak mengindahkan teriakan Eliza. Dia terus melakukan aksinya, memberikan sentuhan pada tubuh Elizaa. Tidak peduli, Eliza memberikan penolakan.Malam ini benar-benar sudah tidak ada lagi toleransi bagi Karan untuk tidak menyelesaikan keinginannya kepada Eliza.“Kamu tidak percaya padaku, jika aku bekerja di luar bukan? Kamu takut melakukan pengkhianatan bukan? Akan aku buktikan kepadamu malam ini, bahwa aku benar-benar mencintaimu dan tidak pernah melakukan hal buruk di luar sana.”“Karan, aku percaya padamu, tapi bukan dengan cara ini kamu membuktikannya.”“Emph!!! Ka...”Karan tidak me
Karan tidak peduli dengan Eliza yang mencoba mencegahnya untuk pergi. Dia tetap meninggalkan rumahnya begitu saja di malam pengantin mereka. Tidak ada malam pertama yang indah, hanya ada rasa sakit dan kekecewaan bagi Eliza.Eliza bangkit dari ranjang seraya menahan rasa sakit dan pedih di bagian bawahnya. Karan memang gila, dia bahkan tidak memberikan jeda dari satu posisi ke posisi lainnya. Tidak peduli Eliza berteriak ataupun merintih kesakitan.Perlahan, Eliza bereskan sprai di ranjangnya dan mengganti dengan sprai baru. Terpaksa, Eliza harus berjalan menuruni tangga untuk menurunkan cucian.“Bu, kenapa tidak memanggil saya untuk mengambil cuciannya?” ujar Bi Tuti seraya membantu Eliza membawakan cuciannya.“Tidak apa-apa, Bi. Ini sudah terlalu malam, Bibi juga sedang istirahat.”“Saya bisa dimarahin Tuan kalau melihat semua ini.”Eliza tersenyum, “jangan berlebihan, Tuan tidak ada di rumah. Baru saja pergi keluar, entahlah mau ke mana malam-malam begini.”Nada suara Eliza terdeng
BRAK!!!!Pintu kamar mendadak terbuka secara paksa. Eliza baru saja keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya yang basa. Melihat istrinya hanya menggunakan handuk saja, Karan segera menangkap tubuhnya.“Tidak! K-karan, emph... Karan,” teriak Eliza.Karan tidak peduli dengan penolakan Eliza, dia tetap melancarkan aksinya. Melanjutkan sisa pembantaian semalam. Sebagai istri, Eliza tidak memiliki hak untuk menolaknya dan penolakan itu hanya akan membuat Karan semakin liar.“Diamlah! Ikuti saja permainanku ini, nanti juga kamu akan menikmatinya.”Karan melepaskan ikat pinggangnya, Eliza semakin ketakutan melihat perilaku Karan yang semakin liar. Dia benar-benar sudah tidak waras lagi dalam permainan ranjangnya.PLAK! PLAK! PLAK!!!Ikat pinggang terbuat dari kulit itu dilayangkan Karan tepat di bokong istrinya. Tanda merah itu sudah tidak dapat dihindari lagi. Selepas Karan mengerayangi istrinya, melepaskan kain handuk yang menutupi tubuh sang istri.Karan tidak membiarkan tubu
Eliza sengaja tidak melanjutkan perdebatannya dengan Karan. Dia tidak mau Karan mengetahui bahwa dirinya sudah mengentahui skandal Karan dengan sang sekretaris. Untuk memastikan kebenarannya, Eliza diam-diam akan datang ke kantor.Setelah Karan berpamitan selepas sarapan pagi, Eliza hanya pura-pura melanjutkan aktivitas di kamarnya. Melihat Karan sudah berlalu menggunakan mobilnya, Eliza mengganti pakaian.“Bi, tolong bantu saya untuk membereskan meja makan. Saya mau pergi sebentar,” ucap Eliza seraya melangkah perlahan meninggalkan rumah.Bi Tuti tahu, Eliza berusaha menahan rasa sakit saat berjalan. Memang, Eliza mengalami pembekakan akibat hubungan intimnya dengan Karan. Tetapi, dia tidak menggubris rasa sakitnya. Akan jauh lebih baik, jika Eliza tahu apa yang sebenarnya terjadi antara suami dengan sekretarisnya.“Lihat saja Karan, aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja dari tanganku. Kamu berpikir bahwa aku benar-benar akan mempercayaimu begitu saja? Tidak Karan, tidak akan
KRING!!!!!Ponsel Karan berdering sangat kencang membuatny menghentikan aktivitas. Tetapi tangannya tetap tidak terlepas dari Eliza. Justru semakin dalam memasukan jarinya. Sementara Eliza pun tidak menolaknya, dia menikmati sentuhan dan semakin melebarkan keduanya. Agar Karan lebih leluasa bermain di sana, semakin dalam dan semakin merdu derap napasnya.“Ssshhhttt! Sean, apa yang terjadi di bawah sana? Kenapa rasanya nikmat sekali?” lenguh Eliza sambil menggigit bibir bawahnya.Tetapi sepertinya, Karan masih sibuk bicara melalui panggilan telepon. Dia tidak menjawab, tetapi tangannya tidak terhenti hingga dia kembali menyimpan ponselnya.“Sean, lakukan sesuatu. Rasanya aku buang air kecill saat ini.”Eliza terus meracau tidak karuan, mendengar itu seperti membangunkan sesuatu yang sejak tadi sedang tertidur. Sean tidak ingin melewatkan kesempatan ini, dia sudah tidak tahan lagi untuk membiarkan bibir teman wanitanya menganggur.Tanpa meminta persetujuan dari Eliza, Sean langsung saj
Hampir saja Karan menabarak sesuatu di hadapannya, sejak tadi Eliza mengganggu Karan berkonsentrasi membawa mobil. Gadis ini beracau tidak karuan, saking terlalu sakit pendarahan yang terjadi kepadanya.Sepanjang perjalanan, dia terus meringis kesakitan. Dia terus menyalahkan Karan atas apa yang terjadi padanya. Rasa sakit akibat hubungan seksual yang tidak sehat dan sakit hatinya atas pengkhianatan yang dia lakukan.“Aku baik-baik saja, jangan bawa aku ke rumah sakit. Kita pulang saja, Karan.”“Tapi kamu pendarahan, jangan kamu...”Puk!Eliza melayangkan tangannya tepat di lengan kekar Karan. Sebelum Karan mengutarakan kalimat dan tuduhan gila, Eliza sudah memakinya lebih dulu.“Apa yang kamu pikirkan? Pendarahan karena keperawanan aku sudah berhasil kamu ambil? Dasar lelaki gila, tidak waras.”“Kenapa kamu terus mengatakan aku gila dan tidak waras. Jelas-jelas aku dalam keadaan warasa saat aku menikahimu, Eliza.”“Jika kamu lelaki yang sedang waras, tentu saja kamu tidak akan membia