Karan masih terdiam setelah mendapatkan pesan dari seseorang. Eliza masih menunggu Karan untuk bicara, dia masih sibuk membalas pesan tersebut.
“Pesan dari siapa? Sibuk banget.”
Merasa didiamkan Karan, akhirnya Eliza beranikan diri untuk bertanya. Memang, Karan terlihat asyik dengan gedget di tangannya. Tanpa sadar, dia seperti lupa ada Eliza di sebelahnya.
“Emh, ini enggak kok, ada pesan dari kantor. Biasa, masih perihal pekerjaan. Kamu tahu sendiri bagaimana pekerjaan di kantor bukan? Sejak kamu tidak ada, banyak pekerjaan yang berantakan. Aku masih harus beradaptasi dengan sekretaris baruku.”
“Itu bukan salahku, kamu sendiri yang memintaku berhenti bekerja.”
“Sayang, bukan begitu. Aku hanya ingin istriku di rumah, istirahat. Agar saat aku pulang bekerja, kamu menyambut kepulanganku.”
Sekali lagi lagi, Eliza tidak diberikan kesempatan untuk melakukan yang dia inginkan. Meskipun tujuan Karan baik, tetap saja itu tidak membuatnya nyaman. Maklum, selama ini Eliza terbiasa bekerja dan jarang ada di rumah.
“Pak, kita sudah sampai,” tutur Pak Bayu seraya menghentikan mobilnya.
Jarak dari gedung ke rumah Karan memang tidak begitu jauh, dia sengaja mengambil gedung terdekat di lokasi resepsi terakhir agar dekat menuju rumah. Mereka juga pulang hanya berdua, Karan sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya pulang lebih awal.
Sudah sejak lama Karan terpisah dari orang tua, bahkan usahanya saat ini dia rintis dari awal tanpa bantuan orang tuanya. Karan yang sudah mandiri sejak masih kuliah, dipertemukan dengan gadis mandiri seperti Eliza. Seolah keduanya memang cocok bertemu dalam pernikahan.
“Nah, mulai sekarang kamu akan tinggal di rumah ini. Kita akan tinggal berdua saja, ini yang kamu inginkan bukan?”
“Iya, aku hanya ingin kita berdua saja. Agar bisa mandiri dan tentu saja lebih intim tanpa ada gangguan dari pihak manapun.”
“Hmm, baiklah!”
Karan terlihat memberikan senyuman kepada Eliza, tetapi senyum dan tatapan itu tampak berbeda. Spontan saja, Karan meraih tubuh Eliza. Menggendongnya ke dalam rumah setelah wanita paruh baya itu membukakan pintu untuk mereka.
“Karan, kamu mau ngapain? Lepaskan aku!”
“Diamlah, manis!”
Mau tidak mau, Eliza harus mengikuti keinginan Karan. Dia membiarkan Karan mengendongnya menuju kamar mereka. Karan menurunkan Eliza setelah sampai di kamar tersebut.
Tampak indah dengan hiasan bunga mawar beraneka warna. Karan sengaja membayar orang untuk mendekorasi kamarnya khusus menyambut malam pertama dengan Eliza. Dia inginkan malam ini benar-benar berbeda dan special untuk keduanya.
“Karan, ini indah sekali.”
“Kamu menyukainya?”
Eliza mengangguk, “kamu tahu, Karan. Aku selalu menyukai apa yang kamu lakukan untukku.”
Tidak perlu menunggu, Eliza spontan memberikan kecupan di pipi Karan. Mendapatkan kejutan itu, seolah dia terpaggil untuk segera menuntaskan apa yang ditunggu keduanya.
Jantung Karan nampak berdebar, sesuatu yang tersembunyi dibalik celananya seolah ingin segera berontak keluar dari sarangnya. Ah, apa ini? Belum apa-apa sudah bergulat dengan hasrat sendiri.
“Aku mau membersihkan diri terlebih dulu, setelah itu istirahat.”
“Hanya istirahat?” tanya Karan.
“Iya, tentu saja. Lalu apa lagi yang akan kita lakukan? Sebentar lagi matahari terbenam.”
“Emh, menurutmu apalagi?”
Tanpa memberikan jawaban, Eliza tetap meninggalkan Karan di tempatnya berdiri terpaku. Sejatinya, Karan hanyalah manusia biasa. Lelaki normal yang memiliki keinginan, kenyataannya Eliza tidak peka dengan kebutuhannya.
Selama tiga hari dia menahan itu, tetapi kali ini. Sepertinya dia tidak berniat untuk menundanya lagi.
Karan membiarkan Eliza meninggalkanya ke kamar mandi tanpa menyusul. Dia lepaskan jas hingga ikatan dasi dan sabuknya. Benar kata Eliza, gerah dan penat.
Tidak ingin membuat tubuhnya mendidih terlalu lama, Karan hendak menyusul Eliza ke kamar mandi. Dia sudah siap akan membuka pintu kamar mandi. Namun, Tuhan sepertinya tidak merestui.
“Sedang apa kamu berdiri di sana?” tanya Eliza yang tiba-tiba keluar kamar mandi.
“Emh, itu... aku mau mandi juga. Tubuhku lengket sekali.”
“Masuklah, aku sudah selesai.”
SIAL!! Berharap bisa mandi satu shower berdua, Eliza justru menyudahi mandinya. Mau tidak mau, Karan akhirnya masuk kamar mandi dan menyelesaikan aktivitasnya.
Setelah usai mandi, Eliza nampak mencari bajunya. Dia lupa belum memindahkan pakainnya ke rumah Karan. Alhasil, Eliza kebingungan duduk di pinggir kasur masih dengan handuknya.
“Masa aku harus menggunakan handuk terus, kenapa lupa membawa baju sih,” gerutu Eliza kesal pada dirinya sendiri.
Eliza mengambil inisiatif membuka lemari Karan dan menggunakan salah satu kemeja Karan sebagai gantinya. Terpaksa dia lakukan itu, daripada tidak menggunakan baju sama sekali.
Dari balik kamar mandi, Karan keluar. Dia mendapati Eliza memakai kemeja putihnya, bukan marah justru Karan tertawa. Dia ingat, belum sempat memindahkan baju Eliza dari apartemen.
“Kenapa kamu tertawa?”
“Lucu saja melihatmu menggunakan kemeja.”
“Salahmu tidak memindahkan bajuku. Daripada aku tidak menggunakan baju sama sekali.”
“Ya, maaf aku lupa. Tapi, sebenarnya kamu tidak menggunakan baju juga tidak masalah.”
Karan bicara seolah mengoda, bukanya tergoda Eliza juga kesal dengan pikiran Karan. Mereka memang baru saja menikah, tapi tidak akan mudah bagi Eliza melakukan hal lain. Dia masih gugup untuk melakukannya.
“Karan!!!!”
“Apa? Aku benar ‘kan? Mau ditutupi juga aku pasti akan membukanya.”
“Karan!!!”
Sekali lagi, Eliza memperlihatkan wajah kesalnya. Dia melempar Karan dengan bantal, sontak saja hal itu membuat Karan ingin tertawa lepas. Mereka sudah kenal lama, bahkan menjalin hubungan. Tetap saja, urusan ranjang masih terlalu tabu untuk Eliza.
Tidak ingin memberikan ampun kepada Karan, Eliza terus saja memukulnya. Meskipun Karan berusaha menghindarinya, dia tetap memukul dan mengejar Karan. Seperti anak kecil bermain saling mengejar, keduanya berlarian mengelilingi kamar.
“Cukup, El. Aku benar-benar lelah.”
“Aku tidak akan memberikan ampun kepadamu.”
“El, cukup. Kalau tidak aku akan...”
“Akan apa?”
BRUK!!!
Karan menangkap tubuh Eliza dan menjatuhkannya ke atas ranjang yang penuh dengan taburan bunga mawar. Tubuh Eliza tertindih Karan, membuatnya tidak berdaraya. Benar saja, bobot Karan cukup jauh dengan Eliza.
“Karan, lepaskan aku! Apa yang akan kamu lakukan.”
“Aku? Melakukan yang sebagaimana sepasang suami istri di malam pertama. Apalagi?”
“Tidak! Jangan Karan, jangan sekarang!! Karan!!”
TOK... TOK... TOK...
Pintu kamar diketuk, terdengar suara Bi Tuti memanggil Karan dari balik pintu. Terpaksa, Karan melepaskan diri dari tubuh Eliza.
“Iya, Bi. Ada apa?” tanya Karan seraya membuka pintu kamar.
“Makan malamnya sudah siap, mau makan di bawah atau saya antarkan ke kamar saja?”
“Kami akan turun, Bi,” jawab Eliza dari balik tubuh Karan.
“Baik.”
Ah, sial. Baru saja akan dimulai, selalu saja ada gangguan. Karan menyesalinya, padahal dia sudah tidak sabar menantikan malam yang menggetarkan jiwa raga ini. Mau tidak mau, dia harus menundanya.
“Kenapa masih diam saja di sana, Karan. Ayo turun!”
“Ya, baiklah.”
“Sabar, malam baru akan dimulai. Jangan tergesa-gesa!” bisik Eliza.
BERSAMBUNG...
Karan segera mengenakan pakain dengan malas, terpaksa dia harus turun ke bawah untuk menyantap makan malamnya. Sepertinya, Eliza juga tidak bersedia untuk memenuhi keinginannya saat ini. Karan harus menunggu, setidaknya sampai makan malam usai. “Oh, ayolah! Kenapa wajahmu muram sekali? Tersenyumlah sedikit, Karan.” “Aku sebenarnya tidak begitu lapar, tapi kamu juga harus mengisi perutmu. Aku tidak ingin kamu pingsan lagi seperti tadi.” “Tenanglah, aku baik-baik saja. Setelah ini aku akan baik-baik saja, ayolah kita turun sekarang!” Eliza menarik tangan Karan setelah usai menggunakan pakaian. Karan mengikutinya dari belakang. Demi bidadari yang dicintainya, tentu saja dia akan melakukan apapun. Bidadari? Benar hanya Eliza yang dicintai oleh Karan? Lalu, siapa yang mengirimkan pesan begitu mesra itu kepadanya? Ah, sial. Karan terlalu baik untuk dikatakan lelaki brengsek. Siapa yang akan mengira Karan akan melakukan pengkhianatan. Tidak! Karan baru saja akan meninggalkan kamar sebe
Bukan hanya lampu kamar yang dimatikan oleh Karan, seketika dia menarik tubuh Eliza ke atas ranjangnya. Tak memberikan aba-aba, tidak peduli Eliza akan menyetujuinya ataupun tidak. Karan benar-benar malayangkan aksinya.“Karan, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!”“Diamlah! Bukankah kita sudah menikah? Tidak ada yang dapat melarang apapun yang dapat kulakukan kepadamu.”“Iya, tapi... Karan...”Karan tidak mengindahkan teriakan Eliza. Dia terus melakukan aksinya, memberikan sentuhan pada tubuh Elizaa. Tidak peduli, Eliza memberikan penolakan.Malam ini benar-benar sudah tidak ada lagi toleransi bagi Karan untuk tidak menyelesaikan keinginannya kepada Eliza.“Kamu tidak percaya padaku, jika aku bekerja di luar bukan? Kamu takut melakukan pengkhianatan bukan? Akan aku buktikan kepadamu malam ini, bahwa aku benar-benar mencintaimu dan tidak pernah melakukan hal buruk di luar sana.”“Karan, aku percaya padamu, tapi bukan dengan cara ini kamu membuktikannya.”“Emph!!! Ka...”Karan tidak me
Karan tidak peduli dengan Eliza yang mencoba mencegahnya untuk pergi. Dia tetap meninggalkan rumahnya begitu saja di malam pengantin mereka. Tidak ada malam pertama yang indah, hanya ada rasa sakit dan kekecewaan bagi Eliza.Eliza bangkit dari ranjang seraya menahan rasa sakit dan pedih di bagian bawahnya. Karan memang gila, dia bahkan tidak memberikan jeda dari satu posisi ke posisi lainnya. Tidak peduli Eliza berteriak ataupun merintih kesakitan.Perlahan, Eliza bereskan sprai di ranjangnya dan mengganti dengan sprai baru. Terpaksa, Eliza harus berjalan menuruni tangga untuk menurunkan cucian.“Bu, kenapa tidak memanggil saya untuk mengambil cuciannya?” ujar Bi Tuti seraya membantu Eliza membawakan cuciannya.“Tidak apa-apa, Bi. Ini sudah terlalu malam, Bibi juga sedang istirahat.”“Saya bisa dimarahin Tuan kalau melihat semua ini.”Eliza tersenyum, “jangan berlebihan, Tuan tidak ada di rumah. Baru saja pergi keluar, entahlah mau ke mana malam-malam begini.”Nada suara Eliza terdeng
BRAK!!!!Pintu kamar mendadak terbuka secara paksa. Eliza baru saja keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya yang basa. Melihat istrinya hanya menggunakan handuk saja, Karan segera menangkap tubuhnya.“Tidak! K-karan, emph... Karan,” teriak Eliza.Karan tidak peduli dengan penolakan Eliza, dia tetap melancarkan aksinya. Melanjutkan sisa pembantaian semalam. Sebagai istri, Eliza tidak memiliki hak untuk menolaknya dan penolakan itu hanya akan membuat Karan semakin liar.“Diamlah! Ikuti saja permainanku ini, nanti juga kamu akan menikmatinya.”Karan melepaskan ikat pinggangnya, Eliza semakin ketakutan melihat perilaku Karan yang semakin liar. Dia benar-benar sudah tidak waras lagi dalam permainan ranjangnya.PLAK! PLAK! PLAK!!!Ikat pinggang terbuat dari kulit itu dilayangkan Karan tepat di bokong istrinya. Tanda merah itu sudah tidak dapat dihindari lagi. Selepas Karan mengerayangi istrinya, melepaskan kain handuk yang menutupi tubuh sang istri.Karan tidak membiarkan tubu
Eliza sengaja tidak melanjutkan perdebatannya dengan Karan. Dia tidak mau Karan mengetahui bahwa dirinya sudah mengentahui skandal Karan dengan sang sekretaris. Untuk memastikan kebenarannya, Eliza diam-diam akan datang ke kantor.Setelah Karan berpamitan selepas sarapan pagi, Eliza hanya pura-pura melanjutkan aktivitas di kamarnya. Melihat Karan sudah berlalu menggunakan mobilnya, Eliza mengganti pakaian.“Bi, tolong bantu saya untuk membereskan meja makan. Saya mau pergi sebentar,” ucap Eliza seraya melangkah perlahan meninggalkan rumah.Bi Tuti tahu, Eliza berusaha menahan rasa sakit saat berjalan. Memang, Eliza mengalami pembekakan akibat hubungan intimnya dengan Karan. Tetapi, dia tidak menggubris rasa sakitnya. Akan jauh lebih baik, jika Eliza tahu apa yang sebenarnya terjadi antara suami dengan sekretarisnya.“Lihat saja Karan, aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja dari tanganku. Kamu berpikir bahwa aku benar-benar akan mempercayaimu begitu saja? Tidak Karan, tidak akan
KRING!!!!!Ponsel Karan berdering sangat kencang membuatny menghentikan aktivitas. Tetapi tangannya tetap tidak terlepas dari Eliza. Justru semakin dalam memasukan jarinya. Sementara Eliza pun tidak menolaknya, dia menikmati sentuhan dan semakin melebarkan keduanya. Agar Karan lebih leluasa bermain di sana, semakin dalam dan semakin merdu derap napasnya.“Ssshhhttt! Sean, apa yang terjadi di bawah sana? Kenapa rasanya nikmat sekali?” lenguh Eliza sambil menggigit bibir bawahnya.Tetapi sepertinya, Karan masih sibuk bicara melalui panggilan telepon. Dia tidak menjawab, tetapi tangannya tidak terhenti hingga dia kembali menyimpan ponselnya.“Sean, lakukan sesuatu. Rasanya aku buang air kecill saat ini.”Eliza terus meracau tidak karuan, mendengar itu seperti membangunkan sesuatu yang sejak tadi sedang tertidur. Sean tidak ingin melewatkan kesempatan ini, dia sudah tidak tahan lagi untuk membiarkan bibir teman wanitanya menganggur.Tanpa meminta persetujuan dari Eliza, Sean langsung saj
Hampir saja Karan menabarak sesuatu di hadapannya, sejak tadi Eliza mengganggu Karan berkonsentrasi membawa mobil. Gadis ini beracau tidak karuan, saking terlalu sakit pendarahan yang terjadi kepadanya.Sepanjang perjalanan, dia terus meringis kesakitan. Dia terus menyalahkan Karan atas apa yang terjadi padanya. Rasa sakit akibat hubungan seksual yang tidak sehat dan sakit hatinya atas pengkhianatan yang dia lakukan.“Aku baik-baik saja, jangan bawa aku ke rumah sakit. Kita pulang saja, Karan.”“Tapi kamu pendarahan, jangan kamu...”Puk!Eliza melayangkan tangannya tepat di lengan kekar Karan. Sebelum Karan mengutarakan kalimat dan tuduhan gila, Eliza sudah memakinya lebih dulu.“Apa yang kamu pikirkan? Pendarahan karena keperawanan aku sudah berhasil kamu ambil? Dasar lelaki gila, tidak waras.”“Kenapa kamu terus mengatakan aku gila dan tidak waras. Jelas-jelas aku dalam keadaan warasa saat aku menikahimu, Eliza.”“Jika kamu lelaki yang sedang waras, tentu saja kamu tidak akan membia
Karan berbicara seolah dia tidak melakukan kasalahan apapun kepada Eliza. Dia tidak peduli meskipun istrinya akan marah terhadapnya atas kejujuran Karan tersebut. Dia juga sudah muak dengan kepalsuan hubungannya bersama Ryn.Meskipun Karan menyadari bahwa sebenarnya, dia akan menyakiti hari Eliza. Setelah Eliza mengetahui bahwa Karan memiliki hubungan denga Ryn, bukan hanya rekan kerja saja. Melainkan hubungan sepasang kekasih.Eliza mengagkat kepalanya, kali ini dia benar-benar memberanikan diri menghadap Karan dan menatapnya tajam. Dari sudut mata itu, Karan melihat kekecewaan dan kemarahan serta kepedihan yang ditunjukkan istrinya.“Karan, apa yang kamu katakan itu benar atau kamu hanya menguji perasaanku?”“Baiklah, El. Aku memang harus jujur padamu, bahwa aku dengan Ryn sudah menjalin hubungan satu bulan sebelum pernikahan kita. Aku menikah denganmu karena memang kita sudah menetapkan pernikahan. Jika aku membatalkannya, itu akan membuat reputasiku hancur, baik sebagai pengusaha