Share

Hari Keempat

Udara September begitu sejuk setelah beberapa hari hujan melanda bentala bagian barat Indonesia, tak terkecuali Jakarta Pusat. Namun, tak sesejuk hati Anyelir dan Narendra yang menjalani hari kedua di rumah baru. Rumah sederhana tak bertingkat itu menjadi saksi pertama ketidakharmonisan hubungan penghuninya.

Anyelir tetap membuat sarapan untuk kekasih halalnya meski ia sudah tahu tak akan disentuh lelaki itu. Akan tetapi, dirinya tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun tak mendapat respons baik suami.

“Aku, kan, sudah bilang, tak usah buatkan sarapan lagi. Percuma, aku tak mau makan. Tak usah melakukan hal yang sia-sia dan membuat makanan mubazir.”

“Tak ada yang sia-sia dan taka da yang mubazir. Aku bisa antar ke rumah Papa atau ke rumah orang tuaku. Anggap saja Tuhan menyuruhku beramal.”

“Beramal saja pakai uangmu.”

“Narendra Satria Abiyakta, anak pengusaha terkenal tidak mengetahui bahwa uang suami itu uang istri? Kau tak lupa kontrak pernikahan, kan? Kau tetap memberiku nafkah lahir padaku. Jadi, uang yang kau beri, tentu saja sudah menjadi milikku dan terserah padaku penggunaannya.”

Narenda menatap tajam wanita yang juga membelaang kepadanya. Ia tak menduga, perempuan yang tampak pendiam dan sok polos itu berani melawannya.

“Baiklah, terserah kau saja! Aku pamit!”

Kalau di hari pertama kemarin Anyelir sempat ingin memberi takzim pada punggung tangan sang suami, maka hari ini, ia tak melakukan lagi. Selain karena tahu akan diabaikan lagi dan membuatnya terluka, ia pun sebal dengan pertengkaran yang baru saja terjadi.

Anyelir gegas membereskan bekas sarapannya dan menyiapkan bekas sarapan untuk mertuanya. Setelah itu, dirinya ke kamar dan mengganti daster merah muda motif tulip ungu dengan kemeja tunik warna gandaria sebatas betis mulusnya. Ia beralih ke depan kaca lemari, kemudian memoleskan bedak padat dan lipstick warna nude. Lalu, sejumput rambut di tepi kanan dan kiri, ia ia ikat ke belakang dengan pita, sisa rambut yang menjuntai ke belakang, di bawa ke depan pundak, kiri dan kanan. Setelah puas dengan penampilannya, ia melangkah, mengambiltas selempang di capstok belakang pintu, kemudian bergegas menuju dapur. Diraihnya kotak bekal berukuran lumayan besar itu, dimasukan ke dalam tas khusus tempat bekal. Lalu, dirinya menuju rak sepatu di dekat pintu yang menghubungkan ke teras belakang. Diambilnya sepatu flatshoes warna cokelat tua, lalu dikenakan.

Baru hendak menelepon Pak Karman lagi, suara mobil terdengar. Lima menit usai membuat sarapan tadi, dirinya sudah menghubungi Pak karman terlebih dulu. Ia sengaja memasak lebih banyak agar tetap tersisa untuk sang mertua jika Narendra mau mencicip sarapannya.

Anyelir gegas masuk ke mobil setelah mengunci pintu. Perjalanan ke rumah mertua menyita waktu satu jam sudah lengkap dengan macet. Begitu tiba disana, gadis itu lekas turun dari mobil dan ketika tiba di depan pagar rumah mertuanya, Anyelir melihat ada sebuah mobil yang asing di netra. Dirinya ragu untuk masuk. Ia takut jika tamu bertanya tentangnya. Dirinya bingung memikirkan jawaban yang akan diberi.

'Ah, kenapa bingung, sih? Bilang saja anak teman Papa. Semoga saja aku tak keceplosan atau salah tingkah sehingga membuat orang curiga', gumamnya seraya melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

"As-salamu'alaikum!" ucap Anyelir yang melintasi ambang pintu.

Suara Sadewo yang sedang bercakap dengan seseorang, terdengar jelas di telinga. Gadis itu mendekat ke arah sumber suara yang berasal dari ruang keluarga.

"Permisi! Maaf, aku langsung masuk sebab pintu terbuka."

Spontan kedua pria yang sedang asyik bercengkerama itu menoleh.

"Loh, Anyelir? Tumben kemari?"

"Iya, maaf mengganggu. Kebetulan mau ke pasar, sekalian antar sarapan untuk Om dan Rendra." Anyelir sedikit kaku dan canggung menyebut kata Om pada sang mertua.

Hari ini, Anyelir berniat memasak untuk makan siang dan menyuruh Pak Karman mengantarnya pada Narendra. Jadi, bisa berdalih kalau itu dari Anindya atau keluarga Narendra. 

Sang ayah yang semula kaget dengan panggilan itu, perlahan sadar bahwa mereka harus berakting di depan orang sesuai perjanjian yang mengatakan tak boleh ada yang mengetahui statusnya sebagai istri Narendra, pun sebaliknya.

"Oh, iya, terima kasih sudah repot mengantarkan, tetapi Rendra sudah berangkat kerja. Jadi, jatahnya buat si ganteng ini saja, ya." Papa menepuk pundak lelaki muda di depannya. "Oh, iya. Kenalan dulu, dong. Panji, ini Anyelir anaknya saudara angkat Om."

Panji mengulur tangan seraya menatap lekat wajah Anye. "Hai, Anyelir! Aku teman akrab Narendra."

Perempuan yang masih membimbit tas bekal  itu menyambut uluran tangan Panji. "Salam kenal, Panji." Anyelir menarik paksa tangannya yang sempat digenggam lama oleh Panji. "Aku taruh ini di meja makan, ya, Om. Aku mau langsung ke pasar takut kesiangan." Anye gegas melangkah ke meja makan tanpa menunggu jawaban sang mertua.

Sementara itu, Panji tampak salah tingkah karena ketahuan menikmati jabatan tangan tadi dan sempat menatap lekat wajah perempuan itu.

Setelah memindahkan nasi goreng dari kotak bekal kedua buah piring, Anye kembali menemui Sadewo.

"Bagaimana kalau aku antar saja Anyelir ke pasar. Wajahnya terlihat pucat. Takut ada apa-apa," tawar Panji.

"Tak usah! Aku minta tolong Pak Karman saja. Kamu saja belum sarapan. Lagipula, apa tak bekerja," tolak Anyelir.

Sadewo terkekeh, "Itulah enaknya pengusaha, Nye. Kerja tak terikat waktu. Dia owner sepuluh minimarket di kota ini. Jadi, hanya memantau usahanya saja sesekali. Semua sudah dikelola anak buah," jelas Sadewo. "Tak apa kalau mau diantar Panji. Dia orang baik, kok. Tak bergajul seperti Rendra. "

Anyelir mengangguk tanda mengerti. "Baiklah kalau begitu, tetapi kamu makan dulu, ya, Pan."

Panji tertawa geli mendengar Anyelir memanggilnya Pan. "Memangnya panci karatan?" sahut lelaki dengan brewok tipis menghiasi tepi pipi kiri dan kanannya yang putih dan mulus.

Anyelir dan Sadewo tergelak. Ketiga insan beda usia itu melangkah ke meja makan. Anyelir membuat dua gelas sirup untuk Sadewo dan Panji. Namun, setelah itu tiba-tiba ia berlari ke kamar mandi sebab perutnya terasa ingin meluah segala yang ia makan.

"Anyelir memang sakit, ya, Om?" Tampak raut khawatir di wajah lelaki beralis tebal itu.

"Ehem, sebenarnya Anyelir itu sedang hamil, tapi lelaki yang menghamilinya kabur dari tanggung jawab."

"Astaga! Lalu, bagaimana nasib anaknya, Om?"

"Dia juga sudah menikah, tetapi sekadar status dan tak serumah dengan suami. Pernikahan mereka, hanya untuk memperjelas status anaknya di akta lahir saja. Jangan sampai tercantum nama ibu saja. Takut menjadi pertanyaan oleh anak itu di kemudian hari. Kalau ada nama ayah, kan, bisa bilang ayahnya sudah meninggal dunia." Sadewo menghela napas. "Om tahu, dalam agama kalau tiga bulan tak ada nafkah lahir dan batin, maka jatuh talak. Namun, di mata hukum masih sah-sah saja selama belum ada gugatan resmi dari suami maupun istri. Toh, nanti juga akan bercerai setelah bayi Anyelir lahir."

Panji mengangguk tanda mengerti. Dirinya menebak bahwa lelaki yang menikahi Anyelir pasti diberi uang oleh Sadewo. "Suaminya nggak akan menemui Anyelir, kan?"

"Tenang saja, Panji! Kami sudah membuat perjanjian di atas materai bahwa kami tak boleh menuntut perasaan atau lelaki itu harus membayar lima kali lipat dari uang yang diberikan Om Sadewo." Anyelir tiba-tiba muncul dari kamar mandi dengan wajah yang tampak lesi.

"Oh, Ya? Memang berapa uang yang om kasih?" Panji sudah siap mendengar nominal yang pasti tak sedikit.

"Tiga ratus lima puluh juta," ucap Sadewo.

Anyelir menahan tawa dengan mengulum senyum.  Namun, dirinya tak boleh meremehkan ini. Ia harus mencatat di otaknya, semua yang dikatakan Dewo kepada Panji. Kalau harus menjelaskan ke orang lain lagi, tentu saja dengan jawaban yang sama. Ia juga heran, dirinya dan mertua bisa kompak mendapat ide untuk memberi alasan palsu pada Panji.

"What? Jadi, kalau dia melanggar perjanjian, harus memberi uang satu setengah miliar, dong?"

"Iya! Lelaki pemalas seperti orang itu mana bisa mencari uang sebanyak itu selama tujuh bulan?"

"Iya, Panji. Jadi, kamu tak perlu takut dikejar suami orang dengan golok ketika mengantarku ke pasar nanti," kekeh Anyelir.

Panji dan Sadewo tertawa keras. "Aku tak takut! Aku bertanya itu, berharap ada kesempatan mempunyai kekasih."

Sadewo yang sedang mengunyah nasi, mendadak termengkelan.

"Pelan-pelan, Om!" Panji sigap beranjak dari duduk, menepuk punggung Sadewo.

Sementara itu, Anyelir memberikan segelas air putih untuk mertua yang sedang berperan sebagai paman angkatnya. "Minum dulu, Om."

Sesungguhnya, kalau sedang makan pun, Anyelir akan tersedak juga mendengar ucapan Panji. Dirinya yang baru dua hari menikah, sudah harus mengalami risiko dari kontrak pernikahan mereka. Pernikahan yang tak boleh diketahui siapa pun itu, akan sangat menguji kesetiaan Anye dan kesabaran Narendra. Namun, Anye yakin hal seperti ini tak akan berpengaruh apapun untuk lelaki itu.

"Om, hanya kaget saja. Kamu jatuh cinta pada Anyelir pada pandangan pertama sepertinya."

"Pertanyaan Om Dewo ada-ada saja, deh. Saya ini, hanya wanita kampung. Mana mungkin selera Panji seperti saya, Om, apalagi saya bukan wanita baik-baik." Anyelir bercandala seraya menunduk.

"Hei, kenapa bicara begitu? Tak ada yang tahu takdir Tuhan. Tak ada juga istilah bukan wanita baik-baik. Itu tugas suami untuk membimbing istri ke jalan yang benar," sahut Panji dengan bijak.

"Kamu lihat, Anye! Meski teman akrab Rendra, tapi karakter mereka jauh berbeda, bukan?"

Anyelir, hanya menjawab dengan senyum. Ia tak memungkiri bahwa Panji pria baik dan menyenangkan, tak seperti Narendra. Panji jauh lebih dewasa ketimbang suaminya.

'Astagfirullah! Sadar, Anye! Terlalu cepat untuk memuji pria lain, apalagi kau sudah bersuami." Anyelir lekas menepis rasa kagumnya terhadap Panji.

Anyelir menumpuk piring dan gelas bekas mertua dan Panji makan dan minum dengan kotak bekal, membawa ke washing dash, lalu mencucinya.

Usai mencuci, Anyelir sudah siap berangkat ke pasar, "Kalau sudah selesai, ayo, kita berangkat!"

"Baiklah, Nona cantik."

Anyelir menoleh ke arah lain untuk menyembunyikan rona merah yang menyembul di pipi tanpa blush on itu.

"Jangan terlalu banyak memujinya, nanti dia jatuh karena terbang terlalu tinggi." Sadewo sukses menolong Anyelir dari rasa canggung.

"Ah, aku tak melayang, kok. Biasa saja," kilah Anyelir. "Ya sudah, kami berangkat, ya, Om." Anyelir memberi takzim pada punggung tangan Sadewo.

"Pamit dulu, ya, Om!" Panji membungkukkan sedikit raganya sembari menangkupkan kedua telempap, memberi hormat kepada Sadewo.

Anyelir mengikuti langkah Panji yang berada di depannya. Mereka gegas masuk ke mobil mewah Panji.

Sementara itu, Sadewo mengantar mereka dengan perasaan ambigu. Di sisi lain, ia takut menantunya itu suatu saat mencintai Panji atau pria lain. Akan tetapi, ia tak bisa berbuat banyak demi nama baiknya sebagai pengusaha sukses dan terkenal.

Meski di kontrak pernikahan ia menulis bahwa rumah tangga putra dan menantunya, hanya berlangsung dua tahun, tetapi jauh di lubuknya tebersit asa agar hubungan mereka abadi. Namun, di hari keempat pernikahan saja pernikahan mereka sudah diuji seperti ini. Sepertinya, asa itu, sulit terwujud.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status