Share

5. Sedikit Cemburu

Narendra melepas pagutan bibirnya dengan kesal kala terdengar ketukan pintu. Felicia lekas mengancing bagian atas kemejanya yang terbuka, lalu beranjak dari pangkuan Narendra seraya merapikan rok span pendek warna kelabu. Felicia gegas meraih Map di meja tamu, lalu melangkah menuju pintu. 

Tampak sosok cantik dengan setelan kemeja berbalut blazer putih dan celana panjang ketat berdiri di ambang pintu. Perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris Narendra itu memegang beberapa Map dan sebuah tas bekal di tangan. 

Felicia melangkah ke pinggir agar peremuan bernama Adelia itu bisa melewatinya terlebih dulu. Setelah Adelia sudah tak di ambang pintu, Felicia melangkah keluar tanpa pamit, lalu menutup pintu. 

"Maaf, Pak, kalau saya menggangu," ucap Adelia hati-hati.

Semua karyawan tahu tentang hubungan Felicia dan Narendra. Felicia juga bekerja di perusahaan sama dengan Narendra. Ia yang,hanya lulusan SMA bisa bekerja di perusahaan milik pengusaha ternama itu, tentu saja tak luput dari pertolongan Narendra.

"Sudah biasa, Del. Santai saja. Apa Ada berkas yang harus saya tandatangani?"

"Ada, Pak." Wanita yang kerap disapa Adel itu meletakkan tumpukan map di meja kerja. "Oh, iya, ini ada titipan bekal. Kata satpam, sih, dari keluarga jauh Pak Sadewo."

Narendra menautkan alis. Ia memperhatikan tas bekal di tangan Adel. Netranya tak asing dengan benda itu. 

"Taruh saja di situ," titah Rendra seraya menunjuk meja yang ada di depan sofa tamu, kemudian menandatangani beberapa berkas. 

Adel menuruti titah bos tanpa bersuara. "Kalau begitu, saya permisi, ya, Pak." Adel meraih berkas yang sudah ditandatangani, lalu membawanya keluar. 

Narendra membuka tas bekal dan mengeluarkan kotak bekal dari dalam. Ia sudah bisa menebak bahwa itu dari Anyelir. Namun, bukannya berterimakasih, lelaki berkemeja biru muda itu justru merutuki sang istri. 

'Dasar wanita pandai cari muka, padahal tak berpengaruh apapun buatku. Justru, membuatku geli. Lagipula, kalau sampai Felicia melihat, bisa jadi masalah besar. Memang cari gara-gara, nih, cewek'. 

Baru hendak mengirim pesan pada Anyelir untuk memarahinya, gawai Narendra berdering dan tertera nama Yudha di layar. "Ada apa?" 

"Nongki, yuk. Mumpung Panji lagi mau kumpul sama kita," ucap suara dari balik gawai. 

"Di rumahmu saja! Nanti aku bawa makanan, deh." Rendra melirik tas bekal yang sempat membuatnya kesal. 

"Baiklah! Aku kabari Panji dulu. Ditunggu, Bro!" seru Yudha. 

Panggilan terputus. Rendra lekas meraih tas bekal, kemudian melangkah keluar menuju pelataran parkir yang ada di basement.

Begitu sudah di mobil, Narendra melajukan kereta besinya dengan kecepatan sedang menuju kediaman Yudha. Akan tetapi, ia mampir untuk membeli makan siangnya sebab dirinya malas memakan masakan Anyelir. 

Butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di rumah mewah dengan nuansa minimalis itu. 

Usai memarkirkan mobil di halaman rumah sahabatnya itu, bangat Rendra   masuk sebab pintu tak tertutup. Lelaki itu tahu, sudah ada Panji di dalam karena mobilnya lebih dulu parkir di sana. Terlebih, ketika semakin melangkah ke dalam, terdengar suara kedua sahabatnya itu sedang bercengkerama sembari tertawa kecil. Akan tetapi, sebelum mendekat, Rendra menghentikan langkah sesaat dan memfokuskan indra pendengaran. Membran tipaninya menangkap nama Anyelir disebut. 

Narendra bukan tipe lelaki sabar. Ia memilih bertanya langsung daripada menyimpan rasa penasaran lebih lama. 

"Anyelir? Cewek mana lagi, nih?" tanya Rendra pura-pura tak tahu. 

"Wah! Kura-kura dalam perahu dia. Pura-pura tak tahu, nih, ye!" goda Yudha. 

"Kau gimana, sih, Ren? Punya keluarga cantik tak bilang-bilang."

Narendra menautkan alis. "Maksud kalian?"

"Iya! Anyelir itu keluargamu, kan? Kenapa tak pernah kenalkan pada kami?" sahut Panji. 

Narendra tak tahu mesti menjawab apa. Anyelir tak memberitahu apapun mengenai ini. "Ketemu di mana? Tahu dari mana kalau dia keluargaku?"

"Itu, si Panji kemarin ketemu sama dia di rumah Papamu. Malahan, diantar Panji ke pasar."

Narendra tergemap mendengar penuturan Yudha. Namun, dirinya buru-buru mengubah mimik wajah kagetnya menjadi agak santai meskipun sulit. "Bagaimana bisa? Papaku mengizinkan?"

"Mengizinkan, dong. Aku pria baik-baik, tak sepertimu, Bro!" canda Panji. 

Lelaki berkemeja lengan panjang motif garis vertikal warna cokelat tua itu kembali merutuki Anyelir. Kali ini ia kesal gadis itu tak memberitahunya  soal pertemuannya dengan Panji. 

"Jadi, maksudmu aku bukan pria baik-baik?" 

Panji dan Yudha kompak menertawakan wajah menyebalkan Narendra.

"Santai saja, Bro!" ujar Panji. "Eh, tapi Anyelir tipe jaga harga diri juga, ya. Dia tak izinkan aku masuk ke rumahnya."

Lagi, Narendra dibuat tergemap oleh pekataan Panji. "Jadi, kau antar sampai rumah?"

"Memangnya kau pikir, bakal ku antar sampai ujung gang? Memangnya, anak sekolahan?"

"Kau sudah tahu tentang dia?" Narendra mencoba mencari tahu, sampai mana Papa menceritakan tentang Anyelir. 

"Iya, aku tahu dia sudah menikah, tapi Papamu bilang, hanya sekadar untuk memperjelas status bayinya di akta lahir saja. Suaminya tak akan berani menuntut, kecuali sanggup memberikan satu setengah miliar untuk Papamu. Benar begitu, Ren?"

Kali ini, Rendra semakin terperanjat. Ia kesal karena Papa dan Anyelir tak memberitahu apa saja yang mereka ceritakan pada Panji. Bagaimana kalau yang dirinya katakan, tak sama dengan yang mereka sampaikan kepada Panji. 

"Oh, kalau itu aku kurang paham. Kalian, kan, tahu sendiri. Aku tak pernah ikut campur masalah keluarga." Akhirnya, kalimat itu yang terlontar dari mulut Rendra. "Oh, iya. Anyelir juga tinggal bersamaku."

Giliran Yudha dan Panji yang dibuat terperangah oleh Rendra. "What?"

"Aku menjaganya agar suaminya tak mengganggu dia. Tenang saja, kadang aku mengajak Felicia ke rumah. Kak Anindya juga sesekali datang," kilah Rendra. Ia berharap, dirinya tak salah bicara. 

"Kami kira, kau tipe penyuka segala wanita, termasuk keluarga sendiri. Meski bukan keluarga angkat, tapi sepertinya Papamu menganggapnya seperti putri kandung," sahut Panji. 

"Aku tak segila itu!" Narendra hamoir melupakan sesuatu yang masih menempel di tangan. "Astaga! Aku sampai lupa mau memberi ini." Ia meletakkan tas bekal dan dua bungkus nasi, serta camilan di meja. 

"Wah, jangan-jangan Anyelir yang masak ini." Yudha meraih tas bekal dan mengangkatnya sejajar dengan netra. 

"Kalian makan saja. Aku sudah beli untukku."

Gegas Panji merampas tas bekal dari tangan Yudha dan membawanya ke dapur. Dirinya memindahkan nasi serta lauk yang berupa semur daging dan sayur capcay telur puyuh itu ke wadah lain. Makanan tersebut cukup untuk dua orang dengan porsi sangat mengenyangkan. 

Panji setengah berteriak memanggil Yudha dan Narendra agar menyusulnya. 

"Masakan Anyelir memang enak. Nasi gorengnya juga enak," puji Panji kala kedua temannya sudah di meja makan. 

"Jadi, Anyelir antar sarapan juga?"

"Iya, katanya mau antar buatmu, tapi kau sudah berangkat kerja. Jadi, buatku saja."

"Loh, katamu tadi Anyelir tinggak bersamamu, Ren. Lalu, kenapa dia mengantar sarapan untukmu ke runah Om Dewo?"

Narendra lupa bahwa Yudha bukan tipe yang mudah dibohongi. "Baru hari ini, Yud. Kemarin belum," tukasnya. 

Narendra bernapas lega sebab Yudha tak lagi bertanya. 

"Kau kenapa tak mau makan masakan Anyelir? Kan, enak!" tanya Panji. 

Rendra memperhatikan kedua sahabatnya yang makan dengan belalah. Dirinya menelan ludah. Ia pun mengambil sedikit lauk, lalu dipindahkan ke makanannya. 

'Pantas saja mereka lahap. Memang enak, sih!' puji Rendra dalam hati. 

"Aku, hanya mau berbagi sama kalian saja."

"Oh, iya! Aku boleh main ke rumahmu untuk pendekatan dengan Anyelir, kan?" Panji kembali bersuara. 

Narendra merasa ada rasa sakit sedikit kala mendengar itu. "Terserah padamu," ucapnya untuk mengalihkan rasa cemburu yang sedikit menyeruak. 

Tak ada respons dari Panji dan Yudha. Narendra pun merasa kebohongan hari ini aman dan berjalan lancar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status