Share

6. Cemburu yang Terselubung

Narendra menekan pedal rem kala mobil mewahnya tiba di halaman rumah. Dilihatnya dari celah lubang angin, tampak tak ada cahaya dari rumah sederhana itu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Ia melirik Alexander Christie di pergelangan kiri. Pukul 01.05. Narendra gegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu, lalu membukanya dengan kunci duplikat. Sengaja dirinya membuat kunci duplikat sebab ia tahu akan sering pulang malam. Begitu pintu terbuka, ruang tamu memang gelap, tetapi ada cahaya dari arah dapur. 

'Apa iya, Anyelir memasak tengah malam begini? Ah, mungkin ia haus, lalu minum ke dapur', gumamnya. 

Namun, dirinya terkesiap melihat istrinya tertidur di meja makan. Raga bagian bawahnya duduk di kursi, kepalanya bersandar pada meja makan dengan beralaskan lengan. Diperhatikan wajah polos natural yang sering ia kagumi tanpa sengaja. 

'Wajar, sih, Panji menyukainya'. Namun, buru-buru ditepis pikirannya. 

Dirinya hendak melangkah ke kamar tanpa menghiraukan Anyelir. Namun, tebersit rasa iba melihat sang istri yang kelelahan menunggunya, padahal ia sudah memasak banyak dan terlihat lezat.

'Kenapa ngeyel, sih? Sudah dibilang tak usah memasak. Kan, mubasir jadinya'. Ia pun membantu memasukkan makanan-makanan tersebut ke lemari pendingin, lalu mengangkat raga istri yang berbobot lima puluh lima kilogram itu.

Narendra membaringkan perlahan raga Anyelir di katil. Posisi wajah mereka yang berdekatan, membuat Rendra terpaku di tempatnya, tepatnya di samping tempat tidur. Perlahan, jemarinya menyusuri wajah mulus tanpa jerawat yang tampak cerah berseri itu. Lalu, turun ke bibir merah muda tanpa lipstik. 

'Memang benar kata orang, wanita hamil itu wajahnya berseri dan memancarkan aura berbeda', puji Rendra spontan.

Namun, tubuh Anyelir tiba-tiba menggeliat. Spontan Rendra menarik tangannya dan beranjak dari posisi tersebut. Lelaki itu bernapas lega kala Anyelir mengubah posisi tidurnya menjadi miring. 

Dirinya pun melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

'Please, Ren! Jangan jatuh cinta padanya! Baru saja mereguk kenikmatan bersama Felicia, masa masih kurang?' umpatnya dalam hati di bawah guyuran air. 

****

Anyelir mengejai di katil kala mendengar azan subuh berkumandang. Dirinya mengerjap, lalu samar-samar netranya mengukir sosok lelaki sedang tertidur pulas di sampingnya. Ia mengubah posisi menjadi duduk seraya mengingat sesuatu semalam. Perempuan berbaju tidur bahan kaus warna biru muda dengan gambar boneka di bagian perut itu sadar bahwa semalam dirinya menunggu Narendra pulang. Seingatnya, ia duduk di meja makan. Ia bingung, tiba-tiba mendapatkan dirinya berada di kamar. Selain itu, keberadaan sang suami di sisinya juga membuatnya kaget.

"Mas, bangun! Salat dulu." Anyelir memberanikan diri mengguncang pelan pundak Narendra.

Tentu saja alasan utamanya bukan membangunkan untuk salat, melainkan mencari jawaban atas beberapa pertanyaan yang menguar di relung.

"Apaan, sih, Nye? Salat saja sendiri, tak usah mengajak aku!"

"Begitu, ya? Aku selalu menceritakan ke Papa bahwa kamu rajin salat Subuh sejak menikah denganku. Tolong bantu aku agar tak menjadikan ibadah sebagai bahan membohongi Papa," ucap Anyelir dengan raut wajah memelas.

Narendra berusaha mengabaikan permintaan Anyelir. Akhirnya, Anyelir memilih menyerah dan bergerak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Namun, ketika usai berwudu, perempuan itu dikagetkan oleh kemunculan sang suami di depan pintu kamar mandi. Anyelir pun memilih tak bertanya apa pun. Dirinya berpikir suaminya, hanya buang air kecil atau buang air besar.

Akan tetapi, baru hendak mengangkat tangan untuk takbiratul ikhram, suara Narendra menghentikan geraknya. "Tunggu! Aku ingin belajar menjadi imam. Mohon maklumi jika bacaanku kurang fasih, nantinya," ucap lelaki yang sedang mengenakan sarung itu.

Pasangan suami istri itu pun melaksanakan salat subuh berjama'ah. Usai salat, Anyelir gegas membebaskan pertanyan yang bercokol di hati. "Apa kau yang memindahkanku ke kamar semalam? Lalu, ada apa gerangan tiba-tiba kau tidur satu kasur denganku?"

Narendra melipat sarung. "Ya, aku yang memindahkanmu. Soal aku yang tidur di kasur, badanku terasa sakit tidur di sofa sempit seperti itu dan tak seempuk di rumahku. Lagi pula, meski satu kasur, aku tak tertarik berbuat mesum padamu," ucap Rendra seraya meletakkan sajadah dan sarung di nakas.

"Memangnya kau pulang jam berapa semalam?" Anyelir melepas mukena.

"Untuk apa kau bertanya? Kau lupa dengan perjanjian pernikahan kita? Jangan campuri urusan masing-masing. Terserah aku mau pulang malam, bahkan tidak pulang sekalipun. Bukan urusanmu!"

Anyelir menghelas napas berat. "Baiklah. Sorry!" Ia meletakan mukena dan sajadah di laci nakas.

Narendra baru ingat bahwa ia mesti membahas masalah Panji dengan sang istri. Namun, dirinya mencari kata-kata agar perempuan itu tak merasa ia mencampuri urusannya. "Kau bisa masak berarti kau ke pasar? Memangnya, kau tak pusing, ke pasar sendirian saat sedang hamil seperti itu?" Narendra duduk di sofa.

Anyelir duduk di katil dengan kaki menjuntai. "Kata siapa aku sendirian? Aku ditemani Panji. Katanya temanmu." Anyelir melirik raut wajah Narendra dan berharap ada setitik cemburu di sana.

"Panji? Bagaimana bisa?"

Anyelir pun menceritakan kronologis dirinya bertemu Panji, mulai dari mengungkit kesalahan Narendra yang tak mau makan masakannya sehinhga menyebabkannya mesti mengantar makanan ke rumah Sadewo, bertemu dan bercengkerama dengan Panji, sampai Panji mengantarnya pulang ke rumah."

"Kenapa mesti jujur segala bahwa kau dan suamimu menikah, hanya sekadar status saja?"

Anyelir mengernyit."Dari mana kau tahu aku berkata seperti itu pada Panji? Kalaunmemang Panji sudah beecerita padamu, kenapa masih bertanya?"

"Aku,hanya ingin mendengar langsung dari bibirmu." 

Anyelir merasa bahwa ada tatapan cemburu yang menguasai sang suami."Kalau tak begitu, tak akan ada lelaki yang berani mendekatiku, Rendra!"

"Memangnya kau masih berharap ada lelaki yang mendekatimu?"

"Kau pikir, hatiku ini terbuat dari batu? Aku juga punya perasaan, apalagi sedang hamil begini. Wanita hamil sangat butuh perhatian dari suaminya, sementara aku tak punya suami, kecuali di buku nikah saja," sindir Anyelir. "Lagipula, kenapa kau sewot? Aku tak sewot kau berhubungan dengan Felicia."

"Aku bukan sewot! Aku, hanya bertanya."

"Tak perlu bertanya. Baru beberapa menit yang lalu kau mengingatkan aku tentang perjanjian pernikahan. Apa aku harus ingatkan lagi untuk tidak mencampuri urusanku. Aku mau berhubungan dengan lelaki mana pun, bukan urusanmu." Anyelir bergerak menuju dapur untuk membuat sarapan.

Sementara itu, Narendra memilih kembali ke tempat tidur, mendaratkan punggung di sana, menarik selimut, lalu mengatupkan netra.

Anyelir tampak semangat membuat omelet mi instan. Hari ini, Anyelir tak memasak banyak. Ia, hanya membuat sarapan untuk dua porsi. Kalaupun sang suami tak mau makan, ia berniat akan memakannya saat lapar. Ia ingin menikmati masa kehamilannya yang tak lagi merasa mual dengan banyak makan. 

Hati perempuan itu sedikit senang pagi ini sebab  merasa Narendra cemburu dengan kedekatan dirinya dan Panji. Akan tetapi, perempuan yang menggelung rambutnya ke atas itu tak berani menaruh perasaan mendalam pada lelaki itu. Ia sadar bahwa Narendra masih sangat mencintai Felicia. Oleh karena itu, ia pun tak menutup hatinya untuk pria lain. Sebelum perasaanya semakin kuat kepada sang suami, ia ingin ada lelaki lain yang membuatnya jatuh cinta. Toh, status pernikahan mereka, hanya di buku nikah saja. Pada dunia nyata, sama sekali taka da pernihakan. Anyelir memasrahkan hatinya. Biar Tuhan yang menentukan, ke mana pelabuhannya nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status