Share

BAB 4

Penulis: El Furinji
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-29 07:46:53

Di sudut ruangan aku terdiam menatapi bocah lelaki yang terlelap. Iba melihat wajah polos itu harus kekurangan kasih sayang. Akhir-akhir ini Mas Adam telah banyak berubah. Jarang dia memiliki waktu untuk kami bersama.

Yang lebih parah, dua malam belakangan suamiku justru tak tidur di rumah. Kalaupun dia marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya tak sampai mengabaikan anak-anak. Jangan jadikan bocah yang tak berdosa sebagai korban keegoisan.

“Ini juga salahmu, Sil! Kenapa masih membiarkan kakakmu tinggal di sini, sedangkan kamu tahu suamimu tak menginginkannya!”

“Tidak! Ini bukan salahmu! Seharusnya Adam bisa mengerti posisimu. Bukankah menerimamu harus menerima keluargamu juga?”

Suara batin berebut mengganggu pikiran. Dilema kian nyata membuat denyut nyeri di kepala semakin terasa. Satu sisi aku ingin menuruti keinginan Mas Adam, di sisi lain aku juga tak tega jika harus membiarkan saudara sedarah menjadi gelandangan.

Sebentar kemudian aku bangkit lalu melongok kamar sebelah. Melihat anak Mbak Nina yang terlelap, aku semakin tak tega. Bocah itu kini harus kehilangan kasih sayang karena perpisahan orang tuanya.

Perpisahan? Ah ... aku jadi takut membayangkan hal itu. Sangat khawatir jika Mas Adam meninggalkanku, tentu anakku akan bernasib sama seperti anak Mbak Nina.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi.

Lekas aku menutup pintu kamar saat terdengar deru mesin mobil yang berhenti sesaat. Aku hafal itu tanda kepulangan Mbak Nina yang selalu diantar menggunakan mobil oleh siapa entah aku enggak tahu.

Benar. Tak lama kemudian terdengar bunyi ketukan pintu diiringi salam khas Mbak Nina. Aku menyahut lalu membukakan pintu.

“Kamu belum tidur, Sil?” tanya Mbak Nina.

“Belum, Mbak! Aku pusing!”

Lalu aku menghempaskan tubuh di atas sofa diikuti Mbak Nina yang duduk tak jauh dariku.

“Pusing kenapa? Soal uang itu?”

“Iya, Mbak! Sampai hari ini Mas Adam belum juga tidur di rumah gara-gara uang itu. Mending jual gelangnya Mbak saja ya. Aku takut Mas Adam semakin marah,” sahutku.

Rasa takut kehilangan menumbuhkan keberanian untuk bicara dengan kakakku. Meski Mas Adam masih tetap marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya marah itu akan berkurang jika aku bisa menagih dari kakakku.

“Kamu tega mau menjual perhiasan ini?” Mbak Nina menatap sendu benda yang melingkar di pergelangan tangan. “hanya ini yang aku punya, Sil! Setelah aku sedih karena ditinggal suami, sekarang kamu mau menambah kesedihanku? Apa ini caramu menjadi adik?”

Perempuan itu tergugu. Tangisnya pecah tak terbendung hingga mampu membuat hati terenyuh.

Bagi sebagian orang, perhiasan itu menjadi sebuah keharusan. Bahkan aku pernah mendengar ada suatu kaum yang lebih mengutamakan fashion ketimbang perut. Mungkin itu juga yang menjadi prinsip hidup kakakku.

“Tapi ini darurat, Mbak! Aku khawatir jika Mas Adam marah dan meninggalkanku.” Aku berganti mengeluh.

“Kalau memang suamimu sangat mencintaimu, seharusnya dia bisa menerima apa pun keadaanmu. Dia bisa memaafkan!” tandasnya.

Aku terdiam. Sering Mbak Nina mengatakan hal itu. Tapi setiap aku meniru dan mengatakan pada Mas Adam, yang terjadi justru dia semakin marah. Maka kali ini aku tak mau percaya kata-kata Mbak Nina.

“Masalahnya ini beda lagi, Mbak! Suamiku lagi butuh uang untuk biaya pengobatan korbannya. Aku mohon, Mbak! Jual saja!”

Meski berulang kali aku mengemis, Mbak Nina. Tetap bersikukuh dengan pendirian. Hal ini memaksaku terdiam saking bingungnya mau bicara apa lagi agar dia mau merelakan.

“Jangan-jangan yang ditabrak suamimu perempuan, Sil, “ celetuk Mbak Nina tiba-tiba.

“Memang perempuan kok. Kenapa Memangnya?” tanyaku heran.

“Bisa jadi nanti suamimu digoda olehnya. Kamu harus hati-hati.” Mbak Nina seperti sedang menakuti.

“Makanya, Mbak! Kembalikan uangku biar urusan ini cepat selesai,”

Entah berapa kali aku merengek, tapi jawaban Mbak Nina tetap sama.

Hening datang menyelimuti. Kami dua bersaudara saling diam dengan sedikit ketegangan.

“Begini saja, Sil! Kamu ambil pinjol saja. Kamu enggak usah bilang sama suamimu, jadi pasti aman. Nanti tiap bulan aku yang cicil,” usul Mbak Nina tiba-tiba.

Sejenak aku diam memikirkan saran kakak perempuanku. Ini ide yang lumayan bagus karena aku tak perlu repot-repot memikirkan uang bulanan. Namun, entah kenapa aku takut dengan yang namanya pinjol. Di berbagai kasus yang pernah kulihat, beberapa orang sampai hidupnya hancur gara-gara kesesatan itu, bahkan ada yang sampai nekat mengakhiri hidup. Aku bergidik ngeri membayangkan itu.

“Enggak, Mbak! Aku takut. Aku enggak berani,” tolakku.

“Jadi perempuan kok penakut. Harus berani dong! Siapa yang berani mengambil risiko, maka dia yang akan memiliki peluang untuk menjadi sukses,”

Sekali lagi aku masih menolak. Masih saja hati merasa takut meski sangat butuh.

Beberapa saat lamanya kami terdiam. Sampai akhirnya Mbak Nina kembali memberi sebuah saran.

“Kalau enggak, kamu pinjam uang dari temanku saja. Nanti tiap bulan kamu hanya perlu membayar bunganya saja. Yang ini aman. Dia enggak bakalan meneror kayak pinjol,”

Aku sedikit tertarik mengingat aku tak perlu mengembalikan modalnya. Jadi bisa kukembalikan kalau Mbak Nina sudah membayar hutang padaku.

“Memangnya berapa bunga tiap bulan, Mbak?” tanyaku penasaran.

“Enggak banyak. Paling juga 20 % tiap bulan. Mungkin masih bisa kurang,” jelas kakak perempuanku.

Aku mulai berhitung. Jika 20% dikalikan 10juta, maka akan keluar angka dua juta di tiap bulan. Sontak aku ternganga setelah mengetahui jumlah bunga yang harus kubayar.

“Banyak banget, Mbak!”

“Ya namanya juga modal, pasti ada bagi hasilnya. Jadi gimana? Kamu mau enggak?”

Beberapa saat aku terdiam, membandingkan antara pinjol dan hutang sama teman Mbak Nina. Keduanya sama-sama berat untukku.

“Bukannya aku mau ikut campur urusanmu, Sil. Tapi menurutku ini ide terbaik. Suamimu tak harus marah-marah terus sama kamu,” ujar Mbak Nina kemudian.

Aku masih diam, menimbang baik buruknya.

“Ayolah, Sil! Ini demi keluargamu. Semua akan baik-baik saja jika kamu bisa memberi Adam 10 juta. Selain itu, kamu juga bisa menolongku. Aku janji nanti tiap bulan kita cicil sama-sama. Beres kan?” Mbak Nina terus membujuk.

Ada benarnya juga yang Mbak Nina katakan. Jika dia membantu mencicil, lambat laun hutang akan lunas dan Mas Adam tak lagi marah-marah. Tapi entah kenapa aku masih merasa takut.

Jadi aku harus turuti saran Mbak Nina atau bagaimana?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status