Share

BAB 4

Di sudut ruangan aku terdiam menatapi bocah lelaki yang terlelap. Iba melihat wajah polos itu harus kekurangan kasih sayang. Akhir-akhir ini Mas Adam telah banyak berubah. Jarang dia memiliki waktu untuk kami bersama.

Yang lebih parah, dua malam belakangan suamiku justru tak tidur di rumah. Kalaupun dia marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya tak sampai mengabaikan anak-anak. Jangan jadikan bocah yang tak berdosa sebagai korban keegoisan.

“Ini juga salahmu, Sil! Kenapa masih membiarkan kakakmu tinggal di sini, sedangkan kamu tahu suamimu tak menginginkannya!”

“Tidak! Ini bukan salahmu! Seharusnya Adam bisa mengerti posisimu. Bukankah menerimamu harus menerima keluargamu juga?”

Suara batin berebut mengganggu pikiran. Dilema kian nyata membuat denyut nyeri di kepala semakin terasa. Satu sisi aku ingin menuruti keinginan Mas Adam, di sisi lain aku juga tak tega jika harus membiarkan saudara sedarah menjadi gelandangan.

Sebentar kemudian aku bangkit lalu melongok kamar sebelah. Melihat anak Mbak Nina yang terlelap, aku semakin tak tega. Bocah itu kini harus kehilangan kasih sayang karena perpisahan orang tuanya.

Perpisahan? Ah ... aku jadi takut membayangkan hal itu. Sangat khawatir jika Mas Adam meninggalkanku, tentu anakku akan bernasib sama seperti anak Mbak Nina.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi.

Lekas aku menutup pintu kamar saat terdengar deru mesin mobil yang berhenti sesaat. Aku hafal itu tanda kepulangan Mbak Nina yang selalu diantar menggunakan mobil oleh siapa entah aku enggak tahu.

Benar. Tak lama kemudian terdengar bunyi ketukan pintu diiringi salam khas Mbak Nina. Aku menyahut lalu membukakan pintu.

“Kamu belum tidur, Sil?” tanya Mbak Nina.

“Belum, Mbak! Aku pusing!”

Lalu aku menghempaskan tubuh di atas sofa diikuti Mbak Nina yang duduk tak jauh dariku.

“Pusing kenapa? Soal uang itu?”

“Iya, Mbak! Sampai hari ini Mas Adam belum juga tidur di rumah gara-gara uang itu. Mending jual gelangnya Mbak saja ya. Aku takut Mas Adam semakin marah,” sahutku.

Rasa takut kehilangan menumbuhkan keberanian untuk bicara dengan kakakku. Meski Mas Adam masih tetap marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya marah itu akan berkurang jika aku bisa menagih dari kakakku.

“Kamu tega mau menjual perhiasan ini?” Mbak Nina menatap sendu benda yang melingkar di pergelangan tangan. “hanya ini yang aku punya, Sil! Setelah aku sedih karena ditinggal suami, sekarang kamu mau menambah kesedihanku? Apa ini caramu menjadi adik?”

Perempuan itu tergugu. Tangisnya pecah tak terbendung hingga mampu membuat hati terenyuh.

Bagi sebagian orang, perhiasan itu menjadi sebuah keharusan. Bahkan aku pernah mendengar ada suatu kaum yang lebih mengutamakan fashion ketimbang perut. Mungkin itu juga yang menjadi prinsip hidup kakakku.

“Tapi ini darurat, Mbak! Aku khawatir jika Mas Adam marah dan meninggalkanku.” Aku berganti mengeluh.

“Kalau memang suamimu sangat mencintaimu, seharusnya dia bisa menerima apa pun keadaanmu. Dia bisa memaafkan!” tandasnya.

Aku terdiam. Sering Mbak Nina mengatakan hal itu. Tapi setiap aku meniru dan mengatakan pada Mas Adam, yang terjadi justru dia semakin marah. Maka kali ini aku tak mau percaya kata-kata Mbak Nina.

“Masalahnya ini beda lagi, Mbak! Suamiku lagi butuh uang untuk biaya pengobatan korbannya. Aku mohon, Mbak! Jual saja!”

Meski berulang kali aku mengemis, Mbak Nina. Tetap bersikukuh dengan pendirian. Hal ini memaksaku terdiam saking bingungnya mau bicara apa lagi agar dia mau merelakan.

“Jangan-jangan yang ditabrak suamimu perempuan, Sil, “ celetuk Mbak Nina tiba-tiba.

“Memang perempuan kok. Kenapa Memangnya?” tanyaku heran.

“Bisa jadi nanti suamimu digoda olehnya. Kamu harus hati-hati.” Mbak Nina seperti sedang menakuti.

“Makanya, Mbak! Kembalikan uangku biar urusan ini cepat selesai,”

Entah berapa kali aku merengek, tapi jawaban Mbak Nina tetap sama.

Hening datang menyelimuti. Kami dua bersaudara saling diam dengan sedikit ketegangan.

“Begini saja, Sil! Kamu ambil pinjol saja. Kamu enggak usah bilang sama suamimu, jadi pasti aman. Nanti tiap bulan aku yang cicil,” usul Mbak Nina tiba-tiba.

Sejenak aku diam memikirkan saran kakak perempuanku. Ini ide yang lumayan bagus karena aku tak perlu repot-repot memikirkan uang bulanan. Namun, entah kenapa aku takut dengan yang namanya pinjol. Di berbagai kasus yang pernah kulihat, beberapa orang sampai hidupnya hancur gara-gara kesesatan itu, bahkan ada yang sampai nekat mengakhiri hidup. Aku bergidik ngeri membayangkan itu.

“Enggak, Mbak! Aku takut. Aku enggak berani,” tolakku.

“Jadi perempuan kok penakut. Harus berani dong! Siapa yang berani mengambil risiko, maka dia yang akan memiliki peluang untuk menjadi sukses,”

Sekali lagi aku masih menolak. Masih saja hati merasa takut meski sangat butuh.

Beberapa saat lamanya kami terdiam. Sampai akhirnya Mbak Nina kembali memberi sebuah saran.

“Kalau enggak, kamu pinjam uang dari temanku saja. Nanti tiap bulan kamu hanya perlu membayar bunganya saja. Yang ini aman. Dia enggak bakalan meneror kayak pinjol,”

Aku sedikit tertarik mengingat aku tak perlu mengembalikan modalnya. Jadi bisa kukembalikan kalau Mbak Nina sudah membayar hutang padaku.

“Memangnya berapa bunga tiap bulan, Mbak?” tanyaku penasaran.

“Enggak banyak. Paling juga 20 % tiap bulan. Mungkin masih bisa kurang,” jelas kakak perempuanku.

Aku mulai berhitung. Jika 20% dikalikan 10juta, maka akan keluar angka dua juta di tiap bulan. Sontak aku ternganga setelah mengetahui jumlah bunga yang harus kubayar.

“Banyak banget, Mbak!”

“Ya namanya juga modal, pasti ada bagi hasilnya. Jadi gimana? Kamu mau enggak?”

Beberapa saat aku terdiam, membandingkan antara pinjol dan hutang sama teman Mbak Nina. Keduanya sama-sama berat untukku.

“Bukannya aku mau ikut campur urusanmu, Sil. Tapi menurutku ini ide terbaik. Suamimu tak harus marah-marah terus sama kamu,” ujar Mbak Nina kemudian.

Aku masih diam, menimbang baik buruknya.

“Ayolah, Sil! Ini demi keluargamu. Semua akan baik-baik saja jika kamu bisa memberi Adam 10 juta. Selain itu, kamu juga bisa menolongku. Aku janji nanti tiap bulan kita cicil sama-sama. Beres kan?” Mbak Nina terus membujuk.

Ada benarnya juga yang Mbak Nina katakan. Jika dia membantu mencicil, lambat laun hutang akan lunas dan Mas Adam tak lagi marah-marah. Tapi entah kenapa aku masih merasa takut.

Jadi aku harus turuti saran Mbak Nina atau bagaimana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status