Share

BAB 3

POV ADAM

Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Setelah harus menafkahi kakak ipar yang selama ini sering menghina, sekarang aku harus bertanggung jawab atas perempuan yang tak sengaja kutabrak saat hendak berangkat kerja.

Parahnya lagi, uang tabungan yang sejatinya bisa digunakan untuk keadaan darurat, ternyata sudah dipinjamkan oleh Sila tanpa sepengetahuanku.

Semula aku sempat menganggap istriku perempuan bijak karena mau memaafkan Mbak Nina setelah segala hinaan yang kami terima. Namun, ternyata dugaanku salah. Sila tak lebih dari perempuan bodoh yang tak bisa membedakan mana hak dan kewajiban.

Menyebalkan!

Aku melajukan motor yang sebagian body-nya penyok, bahkan bagian slebor depan hilang saat kecelakaan tadi. Insiden itu memang bukan sepenuhnya salahku, tapi sebagai pengendara aku merasa bertanggung jawab atas pejalan kaki yang kini berada di rumah sakit.

Sambil berkendara aku terus memikirkan cara mendapat uang untuk biaya pengobatan. Sampai akhirnya aku menepi sejenak di bahu jalan demi menghubungi teman-teman.

“Lang ... kamu ada duit enggak? Aku pinjam dulu sebentar. Tadi pagi aku nabrak orang,” ucapku tanpa basa-basi.

“Ada sih, tapi cuma sedikit. Paling sejuta,” sahut lelaki dari seberang sana.

“Ya enggak apa-apa. Kamu transfer ke rekeningku ya,”

“kamu kirim dulu nomor rekeningmu,”

“Iya. Makasih sebelumnya,”

Setelah panggilan terputus, aku langsung mengirim nomor rekening pada temanku. Lalu, aku kembali menghubungi teman yang lain guna meminjam uang.

Alhamdulillah, setelah menelepon tiga teman, aku bisa mengumpulkan uang dua juta 300 ribu. Mungkin ini tak cukup untuk biaya pengobatan, tapi setidaknya bisa dijadikan uang muka.

Kemudian, aku kembali melajukan kendaraan menuju rumah sakit tempat di mana perempuan yang kutabrak sedang di rawat.

***

“Bu ini uangnya. Tapi baru terkumpul sedikit,” ucapku pada Bu Hana, Ibu dari perempuan yang kutabrak tadi pagi.

“Kamu pegang dulu saja,” sahut perempuan yang masih terlihat syok itu.

Aku maklum. Kemudian memasukkan kembali amplop ke dalam saku kemeja yang kupakai.

“Maaf ya, Bu! Gara-gara aku jadi anak ibu harus berada di tempat ini,” ucapku kemudian.

Perempuan itu menoleh lalu tersenyum.

“Sudah ... enggak apa-apa. Namanya juga musibah. Pasti tak ada yang menginginkan,”

Sejak pertama kali datang, perempuan paruh baya itu memang terlihat bijak meski tak dipungkiri dirinya juga panik. Sama sekali tak kudengar dia menyalahkan atau memakiku yang telah mencelakai anaknya.

“Sekarang bagaimana keadaan anak Ibu? Apa sudah siuman?”

Sebenarnya ini pertanyaan bodoh mengingat kami sekarang berada di depan ruang perawatan. Mana mungkin jika masih pingsan sudah pindah ruangan. Namun, ini hanya basa-basi karena tak tahu harus bicara apa.

“Alhamdulillah. Sudah,”

“Boleh aku melihatnya?”

“Boleh.” Perempuan itu mengangguk.

Lalu, aku bergerak membuka pintu perlahan agar tak menimbulkan suara berderit. Mengayunkan langkah pelan demi meminimalkan gesekan dengan lantai.

Terlihat seorang perempuan terbaring lemah dengan perban melingkar di kaki, lengan dan dahi. Matanya terbuka, tapi pandangannya kosong menatap plafon.

Aku terus mendekat lalu berhenti di sebelahnya.

“Hey ... bagaimana keadaanmu?” Aku tersenyum menyapa.

Perempuan yang belum kutahu namanya itu menoleh sejenak lalu kembali fokus menatap plafon. Aku bisa melihat kekecewaan dari caranya memandang. Mungkin dia menyalahkanku atas apa yang menimpanya.

Kemudian, aku memberanikan menarik kursi kosong dan duduk.

“Aku minta maaf soal ini. Aku benar-benar tak sengaja,” ucapku lagi.

Dia menoleh lagi. Menatap tepat pada manik mataku. Ini membuat perasaan menjadi gugup.

“Kenapa kamu tak menabrakku sampai mati saja?” tanyanya.

Aku menelan ludah. Kata-katanya sangat membuatku terkejut di mana sebagian orang akan bersyukur nyawa masih terselamatkan saat kecelakaan, sedangkan dia justru mengharap kematian. Atau, dia sedang frustasi karena kata dokter salah satu kakinya mengalami patah tulang?

“Maaf. Aku benar-benar tak sengaja. Tapi aku janji akan membantu pengobatan sampai kamu sembuh,” ucapku lagi.

Perempuan itu tersenyum kecut. Detik berikutnya kembali mengalihkan pandangan ke tempat lain tanpa menanggapi permintaan maafku.

Hampir lima menit aku masih berada di ruangan serba putih ini. Namun, sama sekali tak bicara apa pun mengingat sikap ketus perempuan itu. Bahkan sekedar menanyakan nama pun aku tak berani.

Kemudian aku memutuskan keluar ruangan. Menunggui di depan tempatnya di rawat sambil mengobrol dengan Bu Hana, Ibunya.

“Sepertinya anak Ibu sangat marah denganku,” ujarku di sela obrolan ringan.

“Enggak kok. Ervina enggak marah sama kamu,” sahut Bu Hana.

“Tapi dia seperti gimana gitu, Bu. Kayak enggak mau bicara,” jelasku.

Bu Hana tersenyum ramah. Sebentar dia menoleh ke kanan kiri seperti mencari sesuatu. Aku mengikuti sorot mata sendu itu, celingukan. Namun tak kulihat seorang pun. Suasana sepi.

“Sebenarnya dia enggak marah sama kamu. Ervina hanya sedang frustasi.” Pandangan Bu Hana menerawang jauh ke depan. Binar kesedihan jelas sekali terlihat di kedua mata sendu itu.

Aku memasang telinga bersiap mendengarkan.

“Sebulan lalu calon suami Ervina ketahuan menghamili sahabatnya. Sejak saat itu dia menjadi sering murung karena pernikahan yang batal,” lanjut Bu Hana.

Sependek itu penjelasan, tapi cukup untuk menggambarkan suasana hati Ervina. Pantas saja saat kecelakaan tadi dia seperti sedang melamun. Rupanya itu yang jadi penyebab.

Kemudian Bu Hana banyak bercerita soal anak semata wayangnya. Aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik sambil sesekali mengangguk, menimpali.

Tanpa terasa waktu telah beranjak sore. Aku pamit pulang sebentar dan nanti kembali lagi untuk bergantian menjaga Ervina. Karena menurut cerita Bu Hana, mereka hanya tinggal berdua, jadi aku diminta membantu menunggui.

***

Setibanya di rumah, aku langsung menerobos masuk tanpa mengucap salam. Tampak Sila sedang duduk di ruang tamu bersama kakaknya. Aku terus mengayunkan langkah tanpa menyapa.

Terdengar derap langkah kaki mengikuti. Aku tak menoleh, tapi yakin dia Sila. Saat sampai kamar, lekas kucopot kemeja yang sudah seharian penuh membungkus tubuh. Kusambar handuk hendak ke kamar mandi, tapi istriku tiba-tiba bersuara.

“Mas,” panggilnya.

Aku menoleh sebentar. Sebenarnya Iba melihat wajah sendu itu. Aku yakin dia sedih dengan kata kasar yang tadi siang kuucapkan. Namun, sikap kolotnya yang secara membabi buta mengutamakan Mbak Nina memaksaku untuk abai sejenak. Aku terus berlalu ke kamar mandi.

Dinginnya air yang mengguyur tubuh sedikit banyak mampu memberikan efek fresh di kepala. Kemudian aku lekas keluar dengan handuk melilit tubuh. Rupanya, Sila masih menunggu di tepian ranjang.

Sebentar kemudian aku telah berganti pakaian. Sekali lagi Sila memanggil mengajak bicara. Aku menurut.

“Ada apa?” tanyaku

“Apa orang yang kamu tabrak terluka parah sampai harus mengeluarkan biaya begitu banyak?”

Aku mengernyit, masih belum paham perkataan itu. “Maksudmu?”

“Ya kan kamu tadi siang minta aku transfer semua uang di tabungan. Apa iya biaya rumah sakit sampai sebanyak itu?”

“Jadi kamu meragukanku?”

DI sini aku mulai mencium aroma ketidak-percayaan dari perkataan Sila.

“Bukan begitu, Mas! Aku hanya khawatir kamu akan menggunakan uang itu untuk hal lain,” jelasnya.

Kontan saja aku meradang. Sebagai lelaki yang selalu memberikan sebagian besar gaji pada istri, dicurigai merupakan hal yang menyakitkan. Bukankah jika hendak curang aku tak perlu repot-repot memberikan uang itu pada Sila?

Ah ... uang yang mana? Uang itu telah dipakai Mbak Nina. Mengingat kakak ipar saat ditagih, aku tak yakin uang itu akan kembali.

“Terserah kamu saja, Sil! Kita bersama bukan sehari dua hari. Jadi aku rasa kamu bisa menilai dari keseharianku!” Kemudian aku bangkit, berdiri lalu pergi ke luar.

“Tunggu, Mas! Aku belum selesai bicara!” Sila berteriak sambil terus mengejar sampai depan.

Aku yang sudah berada di atas motor menoleh sebentar. “Bicara saja sama kakakmu!”

Detik berikutnya aku sudah menarik gas, melajukan motor. Samar kudengar Sila terus berteriak menanyakan aku akan pergi ke mana, tapi aku rasa tak perlu menjawab.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status