Gadis ini berlari ke arah tangga menuju pintu keluar. Arga sangat menyesali pertemuan tak mengenakkan ini. Ia harus lakukan agar Septa tak terlalu lama berinteraksi dengan dirinya. Ia tak mau gadis tersebut tertular penyakit. Pria gondrong ini segera menelepon Pak Sopir agar mengantar Septa pulang dan meminta untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Septa.****Malam hari tiba, Septa sedang duduk di depan paviliun seaat selesai mandi sepulang kerja. Tiba-tiba tampak dari pintu gerbang yang terbuka mobil Arga yang selama ini dititipkan kepada Dion.Abangkah? Mau ngapain kemari? tanya Septa dalam hati sembari masih menanti siapa yang mengemudikan mobil tersebut. Mobil belok ke arah karpot depan rumah besar dan berhenti di sana. Pelan-pelan pintu depan mulai terbuka dan terlihat seraut wajah yang sangat ia kenali. Kemudian disusul penampakan sang pengemudi yang tersenyum manis ke arahnya. Mereka melangkah ke arah paviliun. Septa tertawa bahagia melihat orang-orang kesayangannya dat
“Gak papa, Bu. Saya lakuin dengan senang hati. Saya kagum dengan kebaikan Non Septa. Tuan Arga aja, yang selama ini cuek dan tak mau berinteraksi dengan siapa pun. Dibikin kalang kabut, saat dicuekin Non Septa. Barusan aja, saya dipesan untuk lebih memperhatikan kebutuhan Non Septa. Kata Tuan Arga tubuhnya kurusan.”“Apaan sih, Bik? Gak usah mengada-ada deh. Barusan kemarin juga ketemu. Bilang kurusan.”“Bibik gak bohong, Non. Tiap hari Tuan itu suruh Pak Sopir buat fotoin Non. Pokoknya Non itu penting buat Tuan.”“Wah, lelaki idaman banget. Di mana pun selalu ingin tau perkembangan wanitanya.”“Betul banget, Ma. Kayanya nih, Bos Arga udah bucin banget ama Septa. Abang bilang apa? Dari awal ketemu Abang udah ngerasa dia suka kamu.”“Kalian bertiga, ngapain bully aku? Kerja masih baru dan sekarang harus ngerjain semua sendiri. Aku bingung ngadepin klien-klien.”“Udah, Non. Buruan nikah aja. Kalian itu pasangan serasi. Bibik bahagia Tuan Arga udah ada pendamping.”“Ini lagi! Apaan sih,
“Assalammu'alaikum, Bos. Udah mulai sehat?”“Wa'alaikumussalam, Bang Dion. Alhamdulilah, besok juga mau pulang ke sana. Gimana kabar Abang dan Tante? Maaf, ya. Gak bisa ikut menemani.”“Gak apa-apa, Bos. Yang penting biar sehat dulu. Sesuai pembicaraan kita di telepon, pagi ini kami melanjutkan dengan Septa. Udah gak ada masalah. Tinggal kalian urus semua berkas pendukung.”“Terima kasih banyak atas bantuan Bang Dion dan Tante. Entar aku sediakan semua dana untuk semua. Tolong diskusi dengan Septa agar minggu ini terlaksana.”Dion yang mendengar pembicaraan Arga tak bisa menahan tawa.“Ada yang salah, ya, Bang? Terus terang aku panik. Sangat menyesal telah melakukannya. Yang pasti, aku harus segera bertanggung jawab. Apalagi seperti kata Tante, Bibik pun menduga kalo Septa hamil.”“Dan Bos percaya?”“Percaya dong! Yang kasih tau, orang-orang yang berpengalaman. Tapi, Septa masih menyangkal tuh. Bilang dia punya bukti akurat. Apa pun itu, aku harus nikah dengan dia.”“Sebentar! Maaf, y
“Jadi udah aman. Kita pulang, Ma,” ucap Dion segera bersalaman dengan Bibik lalu di susul oleh mamanya.Septa mengikuti sampai tempat parkir sedang Bibik segera masuk rumah besar. Saat di tempat parkir, Dion menyempatkan telepon Arga.“Assalammu'alaikum, Bang.”“Wa'alaikumussalam, Bos. Aku pinjam mobil, ya?”“Kan emang buat Abang dan Tante. Pake-pake aja.”“Terima kasih, Bos.”“Gak usah pake Bos, kale. Arga aja.”“Kaga enak, Bro.”“Nah. Ini keren, Bro.”“Kami pamit dulu. Assalamualaikum.”“Wa'alaikumussalam. Salam buat Tante.”“Oke.”Dion mengakhiri hubungan telepon lalu segera membuka pintu mobil dan naik. Beberapa saat Bu Rita memberi wejangan kepada Septa. Setelah itu, wanita setengah baya tersebut masuk mobil. Septa tampak masih kangen dengan mamanya.“Ma, sering-sering kemari, ya?”“Habis ini, kamu yang harus sering ajakin Nak Arga pulang. Ni kerja, gak pulang-pulang. Saingan sama Bang Toyib," sindir Bu Rita yang ditimpali tawa oleh Dion.“Belum juga tiga kali lebaran," sahut Sep
“Ah, gak jadi, ya. Padahal aku udah siapkan nama untuk calon bayi. Kan ada aku, bapaknya yang akan tanggung jawab sampai dia dewasa.”“Iya, ngerti, Pak.”Arga tak berucap sepatah kata pun setelahnya. Ada sedikit rasa bahagia yang lenyap sebagian dari hatinya. Helaan panjangnya terasa di punggung Septa.“Paaak?”“Panggil yang mesra dikit.”“Ya, Hati.”“Gitu dong, Mata.”“Kok hati?”“Karena kamu tuh sepenuh hati banget padaku. Terus panggilan mata?”“Kamu ini selalu terliat di mataku padahal yang lain tak tampak olehku. Makasih.”Septa memberi balasan dengan kecupan di pipi. Arga semakin bahagia karenanya. Malam semakin larut, akhirnya Septa turun dari pangkuan. Wanita berkuncir ini berdiri menghadap calon suaminya lalu menggenggam kedua tangan pria tersebut dan diletakkan ke dadanya.“Janji padaku! Akan berusaha menghilangkan rasa trauma karena mulai saat ini, ada aku yang selalu ada untukmu.”“Insyaallah, My eyes! Thanks.”“My heart! Udah malam. Buruan istirahat biar makin sehat.”“Ok
“Okey.”Arga segera menelepon Bibik mengenai hal itu. Namun, beberapa kali melakukan panggilan, tidak dia angkat oleh wanita tersebut. Arga berjalan ke arah jendela.Ia melihat ada sebuah mobil mewah sedang terparkir di depan. Tampak Bibik sedang berbicara dengan penumpang mobil. Arga tidak bisa melihat orang tersebut. Ia bisa tahu kalo itu Bibik karena masih pakai daster yang sama dengan tadi. Siapa orang itu? Siapa yang kasih izin masuk?Arga mengetik pesan kepada Bibik. Tampak langsung dibaca olehnya. Beberapa saat kemudian, Arga mendapat balasan dari Bibik. Lega sudah hati Arga.“Mau dipesankan sesuatu lewat online?”tanya Arga sesaat setelah kembali duduk di sisi ranjang.“Enggak usah. Kita jadi keluar, kan?”“Jadi. Oh, iya! Kenapa aku sepikun ini.”Septa tertawa mendapat jawaban dari Arga yang terkesan konyol, tetapi ia semakin tahu akan ketulusan cintanya. Seorang pria dengan penglihatan unik ini karena trauma.Terdengar langkah kaki mendekat dan ternyata Bibik datang membawa pe
"Saya bikinkan resep untuk Nona Septa dulu.”“Gak usah, Dokter. Dia trauma minum obat. Kalo ada yang berupa suntik, bisa dilakukan,”ucap Arga dengan tangan masih mengetuk-ngetuk pintu toilet.“Hanya ada vitamin yang bisa disuntikkan, Tuan. Yang lain secara oral. Pemeriksaan belum selesai. Tolong nanti sample urin dan cairan muntah taruh ini,”ucap Dokter Sebastian sambil menyodorkan dua buah botol kecil ke air.Arga menerima kedua botol. Dokter Sebastian berpamitan untuk kembali bertugas ke rumah sakit.“Saya antar ke tempat kerja Dokter atau langsung ke laboratorium rumah sakit?” tanya Arga.“Langsung ke laboratorium saja. Oh, ya, maaf. Surat rujukan ini dibawa saat ke laboratorium. Saya permisi, Pak. Semoga Nona Septa lekas membaik,” balas Dokter Sebastian sambil mengulurkan amplop putih berlogo tempat prakteknya.“Terima kasih, Dokter. Maaf, saya gak bisa antar sampe bawah.”“Gak apa, Tuan Arga. Selamat pagi.”“Selamat pagi, Dokter.”Pria berjas putih tersebut berlalu. Septa sudah ti
Septa segera menghubungi sopir untuk mengantar mereka ke rumah sakit. Sedang Pak Dokter berangkat terlebih dahulu. Mereka akan bertemu di rumah sakit. Sepuluh menit dari kepergian Pak Dokter, mobil jemputan telah datang.Arga hanya diam saja, meski melangkah berdampingan dengan Septa. Mereka bagai dua orang asing yang baru bertemu. Septa semakin menangis terisak-isak diperlakukan seperti ini oleh calon suaminya.“Saya," ucap Arga sembari celingukan. "Ya, duduk di depan saja." Tampak raut wajah kecewa Arga sembari membuka pintu. Ia langsung naik ke mobil di kursi dekat sopir.Septa seketika salah tingkah karenanya. Padahal sedari tadi, tangannya telah membuka pintu tengah untuk Arga. Pak Sopir yang melihat ekspresi jengkel di raut wajah Septa, ikut merasa prihatin.“Septa ke mana, ya?” tanya Arga yang tentu saja membuat kedua orang di dalam mobil jadi keheranan. Namun, Septa mencoba paham akan hal itu “Pak, Non Septa dari tadi bersama Bapak. Tuh ada di belakang,” ucap Pak Sopir mengha