Pesanlah makan siang untuk kita berdua.”
“Saya ada janji dengan teman, Pak,” tolaknya dengan cepat.Dewa mengerutkan kening, “Dengan siapa?” tanyanya. Salah satu alisnya naik ke atas. Ciri khas pria itu kalau tengah menyelidik. “Sepertinya aku belum cukup memberimu pelajaran ya?”“Bukan begitu, Pak,” sanggah Dinda buru-buru.“Kamu pasti tahu kalau ini masih jam kerja kamu.”“Saya mengerti,” ucap Dinda, mencoba untuk tidak terdengar terlalu membantah sang atasan. “Saya akan pesankan makan siang untuk Bapak. Namun, saya tidak bisa menemani Bapak makan kali ini.”Langkahnya terhenti ketika Dewa menghadangnya. “Dengan siapa?”Pria itu mengulang pertanyaan yang sama.“Peraturan nomor 5, Pak. Maaf saya permisi,” jawab Dinda tegas. Ia menyebutkan pasal di mana pihak pertama dilarang mengurusi urusan pribadi pihak kedua. Baik itu menyelidiki, memata-matai, atau sekadar bertanya sekalipun.Dewa tidak bergerak, sebelum kemudian berkata, “Langsung ke apartemen.”Pria itu akhirnya sadar bahwa Dinda terlalu pintar untuk diintimidasi.Dinda mengangguk, kemudian berlalu pergi untuk menemui istri atasannya.“Din!” teriak wanita berkaca mata hitam besar yang hampir menutupi setengah wajahnya, memanggil nama Dinda serta melambaikan tangan.Rasa enggan mendera hati Dinda saat ini. Dia ingin menolak ajakan bertemu Helen, tapi isak tangis wanita itu membuat Dinda tidak tega dan akhirnya menyetujui untuk bertemu.“Maaf, Bu, saya terlambat, macet soalnya,” jawab Dinda menyunggingkan senyum.Padahal tidak seperti itu keadaannya. Jalanan tidak macet, tapi justru keraguan untuk muncul yang buat Dinda terlambat menemui Helen. Apalagi Dewa yang sangat sulit memberinya izin.“Gak papa, Din. Aku yang seharusnya minta maaf, sudah menyita waktu makan siang kamu. Kita pesan makan, ya.”Helen memanggil pelayan, memesan menu tanpa menanyakan apa yang ingin Dinda makan. Dinda hanya bisa diam. Semua sama, baik suami atau istrinya, sama-sama dominan pada orang lain. Selalu memaksakan kehendaknya masing-masing.“Din, aku ngajak kamu ke sini, mau menanyakan sesuatu hal. Aku gak tahu harus cerita ke siapa. Kenapa pada akhirnya aku memilih untuk cerita padamu, karena aku pikir, kamu gadis yang baik, jujur dan bisa dipercaya,” ujar Helen memasukkan salad buah ke dalam mulutnya. Wanita yang selalu menjaga penampilannya itu hanya makan salad dan jus jeruk.Seolah tahu kalau Dinda gadis miskin yang jarang makan enak dan tidak pernah peduli pada bentuk tubuhnya, Helen memesan steik dan juga banyak kudapan lainnya.“Maaf, Bu. Saya gak ngerti. Ada masalah apa yang ingin ibu ceritakan?” tanya Dinda mulai harap-harap cemas. Dalam hati berdoa, jangan sampai wanita itu bertanya perihal Dewa. Sumpah, Dinda tidak ingin dosanya semakin banyak karena berbohong.“Soal Dewa. Aku mohon kamu terbuka sama aku, Din. Suamiku punya selingkuhan, kan?”Wajah Dinda memucat. Potongan daging yang sedang dia telan terasa nyangkut di tenggorokan. Diraihnya air putih dan menghabiskan isi gelas itu.“Ehek... Kenapa... Kenapa ibu berkata begitu?”“Habis mau gimana lagi? Dulu, Dewa sangat baik, dan peduli padaku. Dia begitu mencintaiku, tapi setelah beberapa bulan terakhir, dia berubah. Kami sering bertengkar dan dia begitu dingin padaku. Kalau bukan karena ada wanita lain, mana mungkin dia bisa berubah seperti ini?”Dinda terpojok. Ucapan Helen memang tidak menuduhnya secara langsung, tapi bagi dirinya yang mengetahui kebenarannya, tentu saja merasa tertuduh.Dalam hati, Dinda menghitung hari-hari sebagai tawanan ranjang Dewa agar tidak perlu lagi menyakiti dan berbohong pada Helen.“Din, kamu kok malah bengong. Gimana menurut kamu? Masa kamu gak bisa lihat ada gelagat Dewa yang mencurigakan? Aku mohon Din, kita sama-sama wanita, aku juga sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Please, kalau ada yang mencurigakan atas tingkah Dewa, kamu lapor padaku.” Helen meraih tangan Dinda yang tergeletak lemah di atas meja.“Eh, Bu...,” Dinda merasa semakin tidak enak. Dia dijadikan mata-mata demi menyelidiki Dewa yang memang sudah berselingkuh, tapi apa yang bisa dia laporkan karena Dinda sendiri yang jadi selingkuhan Dewa.Sebenarnya tidak bisa juga dikatakan selingkuh. Konteks selingkuh itu adalah si wanita dan si pria memang saling suka, tapi mereka? Selain untuk hubungan seks, Dewa sama sekali tidak membutuhkan Dinda.“Tolong, Din. Kamu janji ya, akan selalu ngabarin apapun padaku tentang Dewa. Kamu tahu sendiri, pelakor zaman sekarang ini, kalau belum mengangkangi suami orang, dia gak akan merasa hebat!”“Dari mana saja kamu? Lagi-lagi kamu memancing amarah saya, ya?” Salak Dewa begitu mendapati wajah Dinda di balik daun pintu. Sejak tadi dia dilingkupi rasa kesal yang luar biasa pada gadis itu. Janjinya pergi hanya sebentar, tapi ditunggu, tak kunjung datang. Dewa juga sudah berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. “Ya, Maaf, Pak. Saya juga gak tahu kan, bakal lama ngobrol nya,” jawab Dinda menerobos masuk, melewati lengan kekar pria arogan itu. Memilih kursi single lalu mengempaskan bokongnya di sana. Pandangannya kini menatap lekat ke arah Dewa, ketika pria itu melihatnya, dia buang muka. Tubuh Dinda sangat lelah, sepanjang hari menemani pria itu bermain peluh di ranjang, kini rasa lelahnya bertambah dengan misi penuh beban yang diberikan Helen padanya. “Tampaknya malam ini kau harus kembali di hukum, seolah hukuman siang tadi tidak cukup.” Dewa sudah mendekat dan menarik tangan Dinda masuk ke dalam kamar. Wanita itu pasrah, dia terlalu lelah untuk mendebat. *** “Ada
Dering bel yang tiba-tiba terdengar dan terus berulang-ulang menyelamatkan Dinda dari terkaman Dewa kali ini. Keduanya saling tatap seolah dalam diam bertanya siapa yang datang malam ini."Ada yang datang, Pak."Dewa masih mengunci tatapan matanya pada wajah ketakutan Dinda. Bagaimana tidak, dia masih ada di apartemen milik bosnya, pada malam hari, terlebih saat ini dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun! Habislah dia kali ini.Tanpa kata, Dewa meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju ruang depan guna melihat siapa yang datang bertamu malam-malam begini. Di dalam kamar mandi, Dinda yang ketakutan menebak kalau orang yang menekan bel kemungkinan adalah pengurus apartemen ini. Bulan lalu, saat dia juga berada di apartemen ini, pria itu datang untuk menanyakan perihal keamanan dan kebersihan apartemen apakah sudah memuaskan Dewa.Dinda terus berdoa, jangan sampai ada yang tahu dia bersembunyi di kamar mandi ini, siapapun yang datang kali ini.Rasa penasaran membuatnya menempelkan t
"Keluarlah!"Mendengar Instruksi dari Dewa, barulah Dinda berani memutar kunci. Perlahan dia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kembali menegang, Dewa menutup aksesnya untuk keluar dengan tangan kekarnya melintang di kusen pintu."Saya mau pulang, Pak. Tolong!" Pinta Dinda dengan suara bergetar. Kedatangan Helena nyaris membuatnya pingsan, jadi kalau Dewa masih menyimpan hasrat padanya malam ini, sebaiknya lupakan saja, dia tidak akan mau.Dewa masih bergeming, meski dia jelas melihat ketakutan di mata gadis itu, dan Dinda sudah bersiap untuk berdebat kalau pria itu masih saja mempertahankan egonya.Apa dia pikir Dinda bukan manusia yang punya perasaan? Bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan Dewa sementara pikirannya masih shock memikirkan Helen.Nuraninya semakin tersiksa, tapi mau marah, pada siapa? Dia tidak bisa berbuat apa-apa.Tebakannya salah. Dewa tidak mengatakan apapun, dia menarik tangannya dan memberi jalan pada Dinda yang sudah berpakaian."Ini sudah jam 11 malam, t
"Jadi begitu rencananya, Pak. Apa bapak setuju?" Pertanyaan Ferdi, utusan dari PT Global Jaya hanya mengambang di udara. Meeting yang mereka lakukan selama satu jam itu terasa hanya berjalan searah.Fokus Dewa justru tertuju pada pemandangan menggugah hatinya di depan sana. Seorang anak yang tampak dikeroyok oleh tiga orang anak seumurannya. Anak itu dikelilingi, dan seperti diintrogasi. Anehnya, dia merasa tertarik untuk mengetahui pembicaraan mereka."Pak Sadewa," ulang Ferdi, kali ini lebih keras agar Dewa memberikan perhatian padanya. Kalau saja sekretaris Dewa ikut, Ferdi pasti tidak sekesal ini mengurus mau pria itu yang sangat banyak. Bahkan rapat sepenting ini dia hanya datang dengan tangan kosong dan ogah-ogahan menanggapi tawaran kerja sama yang diajukan oleh perusahaan itu."Mmm?""Ini gimana, Pak? Saya harap Bapak mau membaca draft nya terlebih dulu." Ferdi menyerahkan dokumen dalam amplop coklat besar yang masih terikat rapi."Aku akan membacanya. Kirimkan saja lewat emai
"Akhirnya kamu muncul. Apa kamu benar-benar sudah sembuh? Jangan membawa virus ke kantor ini!"Baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan pria menyebalkan yang sudah mendapat julukan dari Dinda- raja iblis- , Dinda sudah kembali dibuat berwajah masam. Kalau bukan memikirkan kontrak, memangnya Dinda mau kembali?"Iya, Pak. Saya sudah sembuh.""Bagus! Ini!" Dewa seenak udelnya melempar berkas yang sudah dua hari ini menumpuk di mejanya yang diletakkan Anita setelah diantar setiap kepala divisi. Mereka membutuhkan tanda tangan Dewa, tapi alih-alih menandatangani, membaca apa isinya saja belum.Selama Dinda tidak ada, Dewa uring-uringan. Dia tidak bisa berpikir jernih. Seperti meeting kemarin, sedikitpun hasil negosiasi itu tidak menempel di kepalanya.Dinda memunguti berkas yang tercecer di lantai. Pagi-pagi sudah membuat mood Dinda berubah jelek. "Ini mau diapain, Pak?""Bakar!""Baik, Pak!""Heh!"Dinda berhenti. Dia hanya berusaha melakukan apa yang diperintahkan pria gila itu. Kata
Wajah Dinda seketika pucat pasi. Berlari ke arah cermin untuk melihat penampakannya. Pakaian sudah dirapikan, tapi rambut sedikit acak-acakan. Beruntung lipstiknya mate hingga masih melekat nyata di bibirnya.Dewa bangkit, masih dengan ketenangan yang dia punya. Ekor matanya melirik ke arah Dinda, gadis itu sudah rapi, lalu mulai memberi perintah pada Anita."Suruh masuk!" Dewa sudah menempati kursi kerajaan, dengan menyandarkan punggung melihat ke arah Dinda yang masih gugup. Gadis itu memberanikan diri melihat ke arah Dewa, bertanya dia harus apa. Jangan sampai Helen curiga pada mereka. Tapi, bukan menenangkan, pria itu justru mengulum senyum menggelitik yang berhasil membuat Dinda semakin jengkel."Sayang, kok, lama banget, sih, buka pintunya?" Helen memasang wajah kesal, tapi tetap mendekat pada Dewa. Dia merentangkan tangan memeluk leher pria itu tanpa menyadari kalau Dinda ada di sana."Kamu mau apa ke sini?" jawaban Dewa masih sama, jutek dan tidak peduli."Dewa, kenapa kamu pe
"Ada apa dengan Bu Helen, Pak? Tadi saya sempat berpapasan dengan beliau di lift. Ibu menangis terisak," tanya Dinda memberanikan diri. Dinda memutuskan menanyakan hal itu karena takut kalau sampai Helen ternyata sudah tahu soal hubungan gelap mereka. Pasalnya, wanita yang selalu ramah padanya itu, sama sekali tidak mengatakan apapun, menekan tombol lift untuk turun.Selama waktu berputar, Dinda gelisah di kursinya, berharap Dewa memanggilnya agar bisa bertanya soal Helen. Setelah tiga jam berlalu, Dewa pada akhirnya menyerukan namanya dari dalam ruangan."Tidak ada apa-apa. Sudah jangan dibahas. Kepalaku pusing. Temani aku pulang."Dinda masih mematung di tempatnya. Apa pria itu gila, seharusnya dia pulang ke rumah, kenapa justru mengajak ke apartemen."Maaf, Pak. Sebaiknya Bapak pulang ke rumah. Tadi, Naka menelpon. Keadaan Bu Reni drop."Dewa yang tadi coba membuka dasinya, berhenti dan menoleh pada Dinda. "Mama? Sakit apa?""Gak tahu, Pak. Naka hanya meminta saya menyampaikan hal
"Makasih, Naka, udah nganterin aku pulang," ulang Dinda untuk kedua kalinya sembari membuka seatbelt."Iya. Kamu itu udah dua kali ngucapin terima kasih. Perasaan kalau di dekat aku kamu kaku banget. Gak nyaman, ya?"Dinda hanya bisa meringis. Benar sih, gak nyaman, tapi bukan karena dia benci sama Naka, hanya saja rasa nyamannya karena takut Naka bisa mengendus hubungan terlarangnya bersama Dewa."Bukan gitu. A-aku... hanya segan padamu. Bisa dibilang minder juga. Jujur, aku hanya lulusan SMA, dan bergaul dengan seorang dokter hebat membuatku gak percaya diri."Alasan yang terakhir juga benar adanya. Naka begitu baik dan bersikap lembut padanya, berbeda Dewa. Dia bukan tidak ingat pesan almarhum ayahnya, pria yang bersikap baik pada seorang wanita pasti karena ada niatnya. Jadi, apa boleh Dinda menyimpulkan Naka juga punya niat lain padanya? Ah, jangan terlalu percaya diri Dinda!"Jangan bodoh, sikap baik pada orang gak ditentukan oleh jabatan atau pendidikannya. Sekarang aku tanya,