Share

Sanksi dari Atasan

“Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”

Dinda diam sejenak, menyembunyikan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Meskipun ia paham mengapa ibunya curiga, tetapi tetap saja ia berharap sang ibu tidak perlu bertanya.

Tiga bulan lalu, Dinda sulit mendapatkan pekerjaan karena kartu tanda pengenal yang oa punya bukan dari kota ini. Padahal saat itu mereka sedang kesulitan finansial karena semua harta yang mereka punya sudah habis untuk bisa berusaha menyelamatkan Leon. 

Waktu itu, Dinda hampir gila saat dokter mengatakan kemungkinan Leon tidak akan mungkin bisa diselamatkan kalau tidak segera menjalani operasi.

Dinda pontang-panting, pergi selama dua hari tanpa ada kabar berita pada sang ibu, hingga pada hati ketiga, dia datang ke rumah sakit dan menyerahkan sejumlah uang untuk deposit operasi di rumah sakit tersebut agar putranya bisa segera menjalani operasi.

Wanita itu tidak pernah mengatakan pada sang ibu mengenai asal uang tersebut. Tidak sampai sekarang, bahkan hingga kapan pun.

“Dinda. Jawab Ibu.” Kini suara Diana berubah tegas dan menuntut, hingga membuat Dinda kembali mendongak.

"Aku mendapatkan pekerjaan, Bu.” Akhirnya ibu satu anak itu menjawab. “Di sebuah perusahaan besar. Bosnya begitu baik, menggajiku cukup besar hingga bisa memenuhi kebutuhan kita.”

“Beliau juga yang meminjamkan uang padaku. Gajiku akan dipotong tiap bulan untuk membayarnya," imbuh Dinda usai mengalihkan pandangan, tidak berani menatap mata ibunya.

Sang ibu menghela napas. “Baiklah. Ibu hanya tidak mau perjuangan ayahmu untuk menyelamatkan kita jadi sia-sia.”

Pembicaraan mengenai hal tersebut berakhir di sana dan tidak diungkit lagi hingga tiba saatnya Dinda harus kembali pulang ke kosnya. Selama hari kerja, ia tidak tinggal bersama Diana dan Leon, karena tidak mau membuat Diana makin mencurigai pekerjaan Dinda. Ia juga tidak mau Dewa mengetahui bahwa Dinda telah memiliki seorang putra. Bisa-bisa pria itu menggunakan kesempatan dan mengambil milik Dinda lebih banyak lagi.

“Bunda….”

Dinda menatap buah hatinya dengan rasa bersalah. Ia bisa melihat, bagi Leon, Dinda adalah segalanya, dunianya. Bocah cilik ingin sekali selalu berada di dekat Dinda, hingga merengek untuk ikut bekerja.

Meski itu membuat Dinda terharu, hal tersebut juga membuat Dinda sedih. 

“Gak bisa, Sayang. Bos Bunda galak. Gak boleh bawa anak ke kantor.” Dinda berusaha menjelaskan dengan penuh kelembutan. 

“Tapi aku anak Bunda, kenapa gak bisa tinggal sama Bunda?” rengek Leon sembari berdiri di ambang pintu, menghalangi Dinda keluar dari rumah.

“Nanti, kalau Ibu pulang, Ibu akan bawa banyak mainan, tapi Kamu jangan nangis begini. Tapi katanya jagoan, masa cengeng.”

Leon segera menghentikan tangisnya. Dia selalu berkata kalau dia adalah seorang Hero yang akan melindungi Dinda. Leon tidak ingin ibunya menganggapnya lemah.

Setelah menyakinkan Leon dan menghujani pipi anak itu dengan ciuman, Dinda pamit pada Diana.

“Ingat, jangan sampai kamu kecewakan Ibu. Jangan pernah menggadaikan harga dirimu!” 

**

Dinda kembali ke kantor dengan rasa enggan. Alasannya hanya satu, dia tidak ingin bertemu dengan Dewa. Diibaratkan, Dewa itu singa kelaparan, yang setiap melihat dirinya, pasti ingin menerkam. 

Namun, apa dia punya pilihan lain? 

Embusan napas kasar mengiringi Dinda memasuki lobi kantor. Front office berjumpa dua orang itu tidak pernah menunjukkan rasa sukanya pada Dinda, semanis apa pun gadis itu memberikan senyuman.

“Bodo amat, deh!” Dinda ngeloyor pergi. Setengah berlari, Dinda mengejar pintu lift yang masih terbuka.

Namun, begitu ia sampai di depan lift, Dinda menyesali keputusannya karena di dalam sana ada Dewa. Kalau saja dia tahu Dewa ada di sana, mana sudi dia mengejar lift itu.

“Pa-pagi, Pak,” sapa Dinda menunduk, lalu masuk ke dalam lift.  

Hening yang terasa seperti selamanya menyelimuti mereka hingga ke lantai ruangan presdir.

Ting! 

Pintu lift terbuka, lalu Dewa keluar. Dinda yang sejak tadi menunduk kemudian mengikuti langkahnya. 

Akan tetapi, gadis itu mendongak kala tubuh Dewa menutup akses keluar.

“Kamu turun lagi, bawakan saya kopi.”

Dinda terbelalak mendengar ucapan Dewa. “Pak? Kenapa gak dari awal aja, Pak. Kenapa saya harus ngikut sampai lantai atas?” gerutunya. Ia mulai kesal.

Padahal baru juga hari Senin.

Dewa membalas tatapan Dinda. “Kamu membantah saya?” balasnya.

“Mana berani, Pak.” Dinda menghela napas. “Baik, Pak, saya ambilkan.” 

Dinda bergegas menekan tombol hingga pintu tertutup agar dia bisa mengumpat. 

“Dasar iblis!”

Setelah membeli kopi. Dinda membawa kopi pesanan Dewa ke ruangan. Akan tetapi ruangan pria itu tampak kosong. 

Wanita itu tersenyum lega. Setidaknya dia tidak perlu bertemu pria menakutkan itu.

Namun, harapan tinggal harapan.

Tiba-tiba, tanpa suara, Dewa sudah berada di dekat Dinda. Pria itu melingkarkan tangan di pinggang wanita itu dan mulai menciumi tengkuk Dinda penuh nafsu.

“P-Pak? Ini masih pagi. S-sebaiknya Bapak minum kopi dulu,” ujar Dinda tergeragap. Bulu kuduknya meremang dengan sentuhan Dewa.

Namun, alih-alih mendengarkan ucapan Dinda, Dewa justru membalik tubuh Dinda hingga mereka saling berhadapan dengan mudah.

“Aku mau sarapan,” bisik Dewa dingin. Pria itu mulai menyentuh ceruk leher Dinda.

“B-baik, Pak. Kalau begitu saya ambilkan dulu.” Dinda sudah bergerak ke samping, melepaskan diri dari kungkungan Dewa, tapi gagal. Justru tangannya ditarik pria itu menuju ruang istirahatnya.

“Tidak  perlu.”

“Oh, tidak!” batin Dinda dengan bola mata membulat.

Dinda bergerak gelisah di bawah tubuh kekar Dewa. Gadis itu pasrah ketika tadi tubuhnya dilempar ke atas ranjang dan kini pria itu sibuk membuka seluruh pakaian Dinda.

Dewa bangkit setelah berhasil melepas semua atribut di tubuh Dinda. Dengan mata mawas pada tubuh tawanannya yang sudah polos, Dewa mulai melucuti satu per satu pakaiannya.

“Pak, ini masih pagi,” ucap Dinda, sekali lagi mencoba peruntungannya. “Jadwal Bapak–”

“Aku tahu. Anggap saja ini hukuman untukmu karena sudah membantahku.”

Dinda berperang dengan pikirannya. Perintah mana yang sudah dia bantah? 

Kemudian, dia mengingat kejadian di rumah Bu Reni, ibu Dewa. Akan tetapi, Dinda hanya bisa mendelik kesal. Pria ini sungguh pendendam. 

Dewa semakin beringas bergerak di atas tubuh Dinda; mencium, mencerca, menjelajah setiap inci tubuh Dinda yang berulang kali dia puji dengan kata nikmat tanpa disadari sementara Dinda diam, pura-pura tidak menikmati perlakuan kasar Dewa..

Akan tetapi, sama seperti sebelum-sebelumnya, permainan Dewa memaksa dirinya untuk merespons. Hentakan milik pria itu nyatanya mampu menghasut Dinda jadi pelacur paling murahan yang pernah ada, seolah-olah Dewa tahu di mana letak kepuasan Dinda hingga keduanya mencapai puncak bersama.

Dewa melemparkan tubuhnya ke samping, tersenyum menatap langit-langit kamar, sebuah senyum kepuasan yang selalu berhasil dia dapatkan dari tubuh Dinda yang semakin membuatnya candu.

Setelah beberapa saat usai Dinda berhasil mengatur napasnya, wanita itu bangkit menuju kamar mandi–tapi tertahan.

“Mau ke mana?”

“Ke kamar mandi, Pak. Bersih-bersih.”

“Baring lagi. Aku belum selesai denganmu.”

Bola mata Dinda membulat. Ini bercanda, kan? Ada apa dengan pria ini?

“Tapi kita harus kembali bekerja, Pak. Hari ini ada pertemuan dengan direktur dua perusahaan yang mau kerja sama dengan kita.” Dinda hampir saja memukul dada telanjang pria itu karena seenaknya saja menahan dirinya.

Apa tadi permainan mereka tadi belum cukup? 

“Batalkan semua meeting hari ini.”

Ucapan Dewa seperti titah bagi Dinda, tidak terbantah. Seakan tidak lelah dan selalu merasa kurang, Dewa kembali melahap tubuh Dinda. Pagi hingga siang, mereka hanya berada di atas ranjang, bermain peluh hingga ubuh Dinda lemas, entah sudah berapa kali dia keluar.

Baru ketika jam makan siang, Dewa akhirnya melepaskan Dinda sejenak. Pria itu memintanya untuk memesan makanan. Dinda yang sudah kewalahan tidak mampu untuk membantah.

Sementara itu, Dewa tersenyum miring. Ia tampak puas saat melihat pemandangan di atas tempat tidurnya. Sekretarisnya tersebut tampak berantakan. Tatapan Dinda yang terlihat sayu karena kelelahan makin membuat Dewa senang.

“Kuharap kamu bisa berpikir ulang untuk membantahku lain kali,” ucap Dewa dengan nada bicaranya yang arogan.

Wanita itu miliknya.

Dewa mengklaim hal tersebut pada dirinya sendiri. Selama beberapa bulan mereka terikat kontrak dan berhubungan badan, ada perasaan asing yang menyerupai candu setiap kali Dewa “bermain” dengan Dinda. Seakan ia ingin lebih dan lebih.

Perasaan ini adalah perasaan yang sama dengan malam itu–ketika Dewa melangsungkan pesta lajangnya dan berakhir tidur dengan seorang wanita. 

Wanita yang masih ia cari hingga saat ini–wanita yang sebelumnya diklaim oleh Helena, sang istri, sebagai dirinya, tapi Dewa tahu itu hanyalah kebohongan semata. Sebuah kebohongan yang membuat Dewa tidak bisa memercayai istri dan rumah tangganya lagi.

Sementara itu, Dinda akhirnya bisa bergerak dan memunguti pakaiannya sebelum kemudian meraih ponsel untuk mengecek pesan-pesan atau panggilan yang masuk.

Seketika, sepasang matanya membeliak seketika saat membaca salah satu pesan yang ada.

[Dinda. Apakah kamu bisa makan siang sama aku? Ada yang mau kutanyakan soal Dewa.]

Helena! Istri sah atasannya!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fai Royyan
iyah gapapa saya juga menunggu sabar
goodnovel comment avatar
Agus Roma
hutang yang harus fi bayar dengan harga diri, sabar Dinda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status