“Mama… boleh kan aku mau telepon Papa,” ucap Nola sambil manja memeluk Dona. Dona terdiam, matanya sejenak kosong. Jantungnya berdegup kencang, seolah setiap kata anaknya adalah pisau yang menusuk dalam. “Bentar ya… tunggu di sini.” Dona memaksakan senyum, lalu mengecup pipi gempal Nola penuh kasih. Senyuman itu bergetar, menahan luka yang kembali tergores. Dengan langkah perlahan, Dona berjalan menuju dapur. Ia berdiri dekat Bara, suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang berat untuk diucapkan. “Sayang… Olla mau telepon Rangga. Boleh nggak?” Bara terhenti sejenak, menoleh pada istrinya. Wajah Dona terlihat gamang, matanya bergetar mencari jawaban. “Sayang… boleh nggak?” ulang Dona dengan suara lebih pelan, namun kali ini dibarengi genggaman lembut di lengan Bara. Sentuhannya penuh ragu, seolah meminta agar suaminya memberikan izin. Bara menatap wajah Dona lekat-lekat, lalu melirik Nola yang tengah asyik menari di atas sofa. “Huft… lima menit, dan cuma Olla. Bukan ka
“Pagi, Sayang…” ucap Bara lembut, tersenyum menatap anaknya yang begitu ceria. “Terus… Mama bangun?” tanya Bara sambil melirik Dona yang masih terlelap di sisinya. “Mama dari tadi tidur kayak begini waktu aku masuk kamar Daddy. Maaf ya, Daddy, aku masuk nggak izin soalnya nggak dikunci!” ucap Nola polos dengan tawa kecil yang mengisi ruangan. “Nggak papa, Sayang…” balas Bara sambil tersenyum hangat menatap Nola, hatinya luluh oleh kepolosan itu. “Daddy kok nggak pake baju sama Mama?” tanya Nola tiba-tiba sambil terus melompat-lompat dengan boneka di tangannya. “Hah?” Bara terkejut, baru menyadari semalam ia dan Dona bercinta. Wajahnya memerah, buru-buru ia menarik selimut lebih rapat, menutupi tubuhnya dan Dona. “Daddy habis ngapain sama Mama?” tanya Nola dengan penuh rasa ingin tahu. Ia melompat turun dari ranjang, berlarian mengelilingi kamar sambil melempari bonekanya berulang kali, membuat Bara tercekat dan Dona bergeming dalam tidurnya. Bara menghela napas, mencoba m
“Mas? Apa Mama jahat dan benci sama aku?” tanya Dona lagi, kali ini dengan tatapan yang langsung menusuk hati Bara, seolah memaksa suaminya membuka luka lama yang selama ini ia sembunyikan. “Menurut kamu, Sayang… apa ganjaran seorang anak laki-laki yang menyampaikan keburukan ibunya di depan istrinya?” ucap Bara dengan suara bergetar, mengingat betapa Dona sangat tidak disukai oleh ibunya sendiri. Mendengar itu, Dona langsung menangis. Bara segera memeluknya erat, menahan perasaan yang ikut terkoyak. “Maaf…” ucap Bara pelan di telinga Dona, penuh rasa bersalah. Dona hanya mengangguk pelan sambil terus menangis, seolah luka lama yang berusaha ia kubur kembali terbuka begitu dalam. Sejenak, waktu seakan mundur ke belakang. Bara mengingat jelas bagaimana perlakuan ibunya terhadap Dona—semua terekam oleh CCTV yang ia pasang diam-diam di lorong kamar dan dapur. Hatinya hancur ketika mengetahui ibunya, sosok yang ia hormati, tega menyakiti Dona. Menghina dengan kata-kata kasar,
Tangannya menyentuh perut kecilnya dengan lembut, bibirnya tersenyum, tapi matanya penuh tanda tanya. Rangga terdiam. Napasnya tertahan. Pandangannya kosong, seolah waktu membeku. “Hamil?” ucap Rangga, suaranya nyaris berbisik, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Iya, aku hamil. Aku kasih lihat hasil tespeknya,” jawab wanita itu, matanya berbinar. Ia segera bangkit dari ranjang, membuka tas, dan mengeluarkan sebuah benda kecil. “Nih, dua garis, Mas,” ucapnya sambil menyodorkan alat tes itu dengan senyum manis yang penuh kemenangan. “Kamu bahagia, kan? Ini anak pertama kita,” lanjutnya, menatap Rangga tanpa berkedip. Rangga hanya diam. Pikirannya berputar kacau, memutar ulang seluruh keputusan yang pernah ia ambil. Tak pernah ia bayangkan, benih yang ia tanam akan tumbuh di luar rencana. “Kamu happy banget, kan?” desak wanita itu lagi, suaranya lembut namun penuh tuntutan. Rangga terperanjat dari lamunannya. “Oh… iya? Iya, Sayang. Aku… aku happy,” j
Dona terdiam. Tangannya berhenti mengusap rambut Nola. Hening menekan ruang itu, hanya terdengar detak jarum jam. “Mama...” Nola memanggil pelan, menatap mata ibunya yang mulai berkaca-kaca. Dona menarik napas panjang. “Mama sayang sama Papa kamu... tapi...” suaranya merendah, hampir berbisik, “…Mama juga sayang sama Daddy.” Bara di ambang pintu memejamkan mata. Kata-kata itu bagai belati yang menembus pelan tapi pasti, meninggalkan perih yang membakar dada. “Tapi...” ucap Dona lagi, tampak ingin melanjutkan perkataannya pada Nola. Bara segera bersiap, menunggu dengan napas tertahan untuk mengetahui apa yang akan istrinya ucapkan. “Tapi itu dulu... Dulu Mama sayang sama Papa. Dan... karena ada hal yang belum bisa Mama jelasin sama Olla, akhirnya Mama sekarang lebih sayang sama Daddy,” ucap Dona sambil menahan air mata di balik senyum yang berusaha ia pertahankan. “Tapi, kenapa Mama lebih sayang sama Daddy? Kan Daddy bestie aku?” tanya Nola polos. “Um... karena Daddy it
“Iya, Mama?” sahut Dona sambil tetap tersenyum, tangannya menata makanan dan menyiapkan bahan mentah untuk dimasak. “Dona, kamu di mana? Sama Olla?” tanya ibunya, suaranya terdengar tergesa dan khawatir. “Iya, kenapa, Ma?” balas Dona, nada suaranya tetap tenang meski dahinya sedikit berkerut. “Kata Rangga, kalian nggak pulang ke rumah,” ucap ibunya penuh kecemasan, namun terselip nada interogasi. Udara di sekitar Dona seolah mendadak menegang—ia tahu, percakapan ini tak akan berhenti di sini. “Sayang?” Bara baru saja keluar dari kamar sambil membuka kancing kemejanya, lalu melangkah mendekati Dona. “Oh! Um, Mas!” ucap Dona terkejut, matanya membelalak sebelum ia buru-buru kembali berbicara pada ibunya di telepon. “Mama, nanti telepon lagi, ya?” ujarnya cepat, mencoba menahan nada gugup. “Dona? Tadi suara siapa? Kok nggak mirip sama Rang—” Panggilan terputus seketika. Keheningan yang tersisa justru terasa mencekik. “Siapa, Sayang?” tanya Bara sambil melirik ponsel D