Home / Romansa / SELIR HATI / Bab 1 - Panggilan Istana

Share

SELIR HATI
SELIR HATI
Author: lucyta

Bab 1 - Panggilan Istana

Author: lucyta
last update Last Updated: 2025-09-17 09:11:01

Suasana desa sore itu begitu hening. Angin berhembus pelan, menggoyangkan pucuk padi yang mulai menguning. Dari kejauhan, Gita duduk di depan rumah panggung sederhana milik keluarganya. Senyumnya tipis, wajahnya teduh, tapi ada resah yang tak bisa ia sembunyikan.

Keramaian tiba-tiba pecah ketika beberapa prajurit kerajaan datang menunggang kuda. Debu beterbangan, langkah mereka mantap, tapi sorot matanya serius. Hati Gita langsung berdebar, seolah firasat buruk sedang menjemput.

“Putri Gita,” ucap salah satu prajurit dengan suara tegas. “Mulai besok, kau harus bersiap. Nama keluargamu terpilih untuk mengirim seorang gadis sebagai selir raja. Dan keluarga memilihmu.”

Kata-kata itu jatuh bagai palu. Gita terpaku, tubuhnya kaku. Selir? Ia nyaris tak bisa bernapas. Dunia kecilnya yang sederhana tiba-tiba runtuh.

Ibunya menunduk, wajahnya penuh pasrah.  Ayahnya mencoba tersenyum, meski jelas kegelisahan menari di sorot matanya. “Gita,” ujarnya lirih, “ini kehormatan besar. Menjadi bagian dari istana adalah kebanggaan. Raja membutuhkan penerus, dan kau... terpilih untuk itu.”

Tapi Gita tahu, kata-kata ayahnya hanya pembungkus. Di baliknya ada ketakutan: menolak titah istana sama saja mengundang murka.

Malam itu, di kamar kayu kecilnya, Gita duduk termenung. Lampu minyak berkelip samar, bayangan menari di dinding . Dadanya sesak. Ia bukan gadis yang mengejar kemewahan. Hidup sederhana bersama keluarga  di desa damai adalah cukup baginya. Tapi kini, takdir menyeretnya ke arah yang tak pernah ia bayangkan.

Keesokan harinya, kereta kuda berhias lambang kerajaan datang menjemput. Warga berbaris di tepi jalan, menunduk hormat ketika Gita melewati mereka. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Orang tuanya melambai, senyum terpaksa di wajah mereka membuat hatinya makin perih. Apakah aku masih bisa pulang suatu hari nanti?

Perjalanan menuju ibu kota memakan waktu dua hari. Hamparan sawah, hutan, hingga perkampungan perlahan berganti dengan jalan batu dan bangunan megah. Gita hanya diam, matanya menatap kosong, pikirannya penuh pertanyaan.

Saat kereta memasuki halaman istana, napasnya tercekat. Dinding tinggi menjulang, ukiran emas memantulkan cahaya sore, prajurit berjaga dengan tatapan tajam. Indah sekaligus menakutkan.

“Mulai sekarang, ini rumahmu,” kata seorang dayang yang menjemputnya. Suaranya lembut, tapi matanya penuh kewaspadaan. “Kau akan tinggal di paviliun selir. Ingat, di istana, satu kesalahan kecil bisa berakibat besar.”

Gita hanya mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang.

Malam pertamanya di istana terasa asing. Dayang-dayang menyiapkannya dengan pakaian sutra, rambut disanggul sederhana, lalu membawanya ke aula pertemuan.

Aula itu berkilau diterangi obor, pilar-pilar tinggi menjulang, lantai berkilat bagaikan kaca. Dan di ujung ruangan, duduklah sosok yang membuat langkah Gita goyah.

Raja David.

Wajahnya tampan namun dingin. Jubah hitam berhiaskan benang emas membuatnya tampak berwibawa. Sorot matanya tajam, penuh perhitungan.

“Ini gadisnya?” suara David terdengar datar.

Dayang segera memberi hormat. “Ampun, Baginda. Inilah Putri Gita, yang terpilih menjadi selir sesuai titah.”

David menatap Gita lama, lalu kembali menunduk pada dokumen di tangannya. “Bawa dia ke paviliun. Besok aku ingin melihat apakah dia cukup patuh pada aturan istana.”

Hanya itu. Tanpa senyum, tanpa sapaan hangat.

Gita menelan ludah, hatinya semakin berat. Apa ini takdir yang harus ia jalani-hidup sebagai wanita tanpa suara di samping raja yang bahkan tak sudi menoleh padanya?

Namun di balik kegelisahan itu, Gita berjanji dalam hati: jika memang ia harus hidup di istana, ia akan menjalaninya sebaik mungkin. Tidak dengan ambisi, tetapi dengan hati.

Tapi benarkah hati yang tulus bisa bertahan di tengah intrik dan dinginnya kekuasaan Raja David?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELIR HATI   Bab 82 - Emosi Dias

    Hari itu suasana di istana terasa berbeda dari biasanya. Semua orang tahu, Permaisuri Dias sedang tak bisa diganggu.Sejak pagi, ia hanya berdiam di ruang pribadinya. Makanan yang dihidangkan tak disentuh. Surat-surat dari dewan pun tak dibuka. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap halaman istana yang kosong, sementara pikirannya berputar ke satu hal, David. Ia tidak bisa berhenti memikirkan suaminya itu.Sari, dayang milik Selir Gita, berjalan pelan membawa teh ke ruangan itu. Wajahnya tegang, tapi ia tetap menunduk hormat. “Ampun, Baginda. Ini teh hangatnya.”Dias menoleh. “Kau bukan dayangku. Kenapa kau yang datang?”Sari menelan ludah. “Selir Gita menyuruh hamba mengantarkan langsung. Beliau takut Baginda tak mau menerima kalau pelayan lain yang datang.”"Oh... jadi ini permintaan Selir Gita ya?"Mata Dias sempat melunak sedikit. “Gita selalu begitu, ya. Penuh hati-hati.”Sari hanya diam, tak tahu harus menanggapinya.Dias menghela napas, lalu menatap cermin di hadapannya. “Kau

  • SELIR HATI   Bab 81 - Perjalanan di Luar Negeri

    Setelah menempuh perjalanan panjang, David dan Ratu Aruna akhirnya tiba di Eropa. Mereka berdua masuk ke area hotel. David dan Ratu Aruna menginap di hotel yang sama."Akhirnya kita bisa pergi berdua ya, Vid," ucap Aruna. David hanya diam tak membalas ucapan Aruna. David menatap keluar tanpa banyak bicara. Matanya kosong.Aruna melilitkan syal di leher. “Kau masih memikirkan istana?” tanyanya pelan, suaranya menggoda.David tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas, lalu berkata pelan, “Ada banyak hal yang tidak mudah kutinggalkan.”Aruna tersenyum. “Termasuk seseorang?”David menoleh cepat. Ada sesuatu yang sulit diungkapkan di sana, antara rasa bersalah dan kebingungan yang disembunyikan di balik sikap tenang.“Perjalanan ini untuk urusan kerajaan,” jawab David akhirnya. “Jangan memelintirnya jadi hal lain, Aruna.”"Hal lain, apakah kamu berpikir akan ada hal lain?" goda Aruna.Aruna menatapnya lama, seolah mencoba menembus dinding yang David pasang di sekeliling dirinya. “Kau

  • SELIR HATI   Bab 80 - Jarak yang Menjauh

    Kereta kuda yang membawa David dan Aruna perlahan meninggalkan halaman istana. Dari kejauhan, suara roda yang bergesekan dengan tanah terdengar seperti irama yang menyesakkan. Gita berdiri di balkon paviliunnya, hanya bisa menatap punggung Baginda yang makin kecil. Hatinya seperti ditarik paksa, antara ingin menatap lebih lama dan ingin segera memalingkan pandangan.Sari berdiri di belakangnya. “Baginda pasti akan kembali, Nyonya. Jangan terlalu khawatir.”Gita hanya mengangguk. Ia tahu perjalanan itu bukan sekadar urusan kerja. Aruna ikut bersama Baginda, itu saja sudah cukup membuat pikirannya tak tenang.“Kenapa Permaisuri membiarkan Aruna ikut?” gumam Gita lirih.Sari menjawab hati-hati, “Mungkin karena beliau tidak bisa menolak permintaan Baginda.”Gita menatap ke langit yang mulai gelap. Ia tahu alasannya bukan itu. Dias pasti punya rencana lain. Sejak pertengkaran pagi tadi, Gita sadar bahwa amarah Permaisuri belum padam.Sementara itu, di dalam kereta kuda, Aruna duduk bersand

  • SELIR HATI   Bab 79 - Langkah yang Bikin Emosi

    Suasana pagi di istana terasa berbeda. Para pelayan berjalan cepat tapi diam, seolah tahu sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Gita berdiri di balkon sisi timur istana, menatap halaman utama yang mulai ramai. Di sana, kereta kerajaan sudah disiapkan. Kuda-kuda putih berjajar rapi, pengawal berbaris dengan wajah tegang. Dan di tengah hiruk pikuk itu, Raja David berdiri di samping Ratu Aruna. Gita menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia tahu David akan pergi hari ini, tapi tetap saja hatinya belum siap. Bukan karena perginya David… tapi karena siapa yang pergi bersamanya. Sari, dayangnya, mendekat pelan. “Nyonya, mungkin sebaiknya istirahat di kamar saja.” “Tidak perlu, Sari. Aku baik-baik saja,” potong Gita cepat. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan semua mata istana yang sedang menilai siapa yang paling berhak berdiri di sisi Raja. Dari kejauhan, Gita melihat Aruna mengenakan gaun biru lembut, serasi dengan jubah perjalanan David. Mereka tampak cocok. Sakitnya seperti

  • SELIR HATI   Bab 78 - Api yang Tersulut

    Kabar itu datang pagi-pagi sekali. Raja David akan berangkat ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Gita mendengarnya dari dayang lain bahkan sebelum Sari sempat bicara apa pun. Sejak itu, dadanya terasa sesak, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia duduk di beranda, memandangi halaman istana yang sibuk. Kuda-kuda disiapkan, kereta kerajaan dipoles, dan para pengawal lalu-lalang dengan wajah tegang. Sari datang membawa teh. “Nyonya, apakah kabar keberangkatan Raja itu benar?” Gita menatap cangkir di tangannya. “Kelihatannya iya, Baginda akan ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Tapi aku juga tahu nya dari orang lain.” Sari mendengus. “Kalau Permaisuri Dias dengar, pasti beliau kecewa.” Gita terdiam. “Kecewa karena apa, Sar? Karena Baginda pergi bersama Aruna, atau karena semua orang akan membicarakannya?” Sari menunduk, tak berani menatap tuannya. “Mungkin dua-duanya, Nyonya.” Gita memandangi taman kecil di depan paviliun, bunga-bunga yang baru mekar kini tampak layu tertiup

  • SELIR HATI   Bab 77 - Jarak dan Waktu

    Biasanya, Gita bangun pagi dengan aroma kopi yang disiapkan David atau suara langkahnya di ruang tengah. Tapi kali ini, ia hanya mendengar kicau burung dan tirai yang tertiup angin.David tidak ada disampingnya. Hanya secarik kertas di meja kecil:“Ada urusan di luar istana. Jangan khawatir, aku pulang sore.”Tidak ada sapaan hangat, tidak ada tanda tangan kecil yang biasanya David beri di ujung, kebiasaan kecil yang selama ini jadi tanda cinta.Gita menyentuh kertas itu lama sekali.Sepagian ia menghabiskan waktu di ruang kerja, menata ulang buku-buku yang sebenarnya sudah tersusun rapi.Sari sempat datang membawa sarapan, tapi Gita hanya menyentuh sarapan itu sedikit.“Baginda bilang pulang sore, ya, Nyonya?” tanya Sari hati-hati.“Iya,” jawab Gita singkat.Sari mengangguk, lalu beranjak pergi. Tapi sebelum keluar, ia sempat berbalik. “Kadang kalau kita sayang seseorang, kita juga harus kasih dia ruang buat sendiri, Nyonya.”Gita tersenyum. “Aku tahu, Sari. Tapi ruang itu jangan sam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status