“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.
Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.
“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.
Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun tak semuanya. “Azahra merasa kalau jawaban Tuhan untuk istikharah Azahra itu…” Aku menatap ibu lebih dalam, kemudian kugelengkan kepalaku pelan. “Dan ada beberapa hal yang membuat Azahra semakin yakin dengan jawaban ini,” imbuhku pelan-pelan.
“Nduk…” Ibu meraup wajahku dengan tangan yang tak terbilang halus. “Menikah itu ibadah paling panjang. Jadi carilah pasangan yang tepat untuk teman ibadah itu. Cuma kamu yang tahu baik dan buruk untuk dirimu sendiri. Jangan sampai salah melangkah, Nduk.”
Aku memperhatikan dengan saksama pesan yang ibu berikan. Mengait senyum simpul sambil mengangguk perlahan menyetujui apa yang barusan ibu sampaikan. Hanya dua patah kalimat yang ibu berikan, tapi itu saja sudah cukup bagiku untuk menjadi bahan pertimbangan. “Turuti saja nalurimu itu. Kalau memang masih ragu, coba shalat lagi, kemudian pasrahkan semuanya pada Allah. Jangan dipikir terlalu larut, cantikmu loh hilang.”
Aku terkekeh kecil mendengar kalimat terakhir ibu. “Nggih, Bu.”
“Ya sudah, siap-siap gih. Katanya mau diajak Mbak Aiza ke kliniknya.”
“Pak, saya minta tolong ini belikan belanjaan yang ada di list ini ya. Kalau sudah, nanti langsung jemput saya ke sini lagi.” Mbak Aiza memberikan sebuah catatan kepada sopir yang mengendarai mobil setelah ia menghentikan mobilnya.
“Oh, siap Bu.” Pak Hasan, sopir itu, mengangguk patuh sambil menerima daftar belanjaannya.
Kami keluar dari mobil dan langsung disuguhkan dengan bangunan indah yang terkesan elegan. Mata wanita mana yang tidak terbius untuk masuk ke sana? Akupun mengikuti langkah Mbak Aiza untuk masuk ke dalam bangunan itu.
“Selamat pagi, Bu.” Para pegawai berseragam itu menyapa kami dengan ramah.
Baru jam delapan pagi, tapi di lobi klinik kecantikan milik Mbak Aiza ini sudah banyak lalu-lalang manusia.
Mbak Aiza mengajakku ke salah satu ruangan khusus, ruangan yang tidak begitu luas dari lobi di depan sana. Aku duduk di salah satu sofa kala Mbak Aiza mempersilahkanku untuk duduk. Salah seorang pegawai masuk ke dalam ruangan.
“Saya mau lihat pembukuan minggu ini,” begitu kalimat yang dikatakan pada Mbak Aiza, dan pegawai itu menyodorkan sebuah tablet kepada Mbak Aiza. Mbak Aiza memeriksa dengan teliti benda yang dibawanya itu.
“Oke, good. Thanks ya.”
Pegawai itu keluar dengan senyum setelah mendapati kalimat dari Mbak Aiza.
“Mbak Aiza keren deh. Dulu terakhir saya ke sini, satu tahun yang lalu, enggak sih? Dulu masih tahap pembangunan, sekarang udah seramai ini. Keren banget.”
“Iya. Alhamdulillah, Zahra. Ini aku lagi ngurus untuk cabang di luar kota. Semoga saja terus ada update.”
“Wah, Alhamdulillah. Semoga lancar ya, Mbak.”
“Saya cuma mau ngecek pembukuan. Kita istirahat dulu ya? Atau kamu mau lihat-lihat?”
“Hem… boleh deh, Mbak.”
Mbak Aiza mengajakku berkeliling ke klinik kecantikan yang resmi diberi nama Aiz Beauty sejak sebelas bulan yang lalu. Tak bisa kupungkiri kehebatan Mbak Aiza dalam mengatur bisnisnya. Ia juga memiliki banyak relasi untuk mengembangkan klinik kecantikannya. Aku hanya bisa mengangguk takjub selama Mbak Aiza mengajakku dan mengenalkanku pada setiap ruangan, bahkan memberitahuku beberapa hal mengenai klinik ini.
Pak sopir sudah menjemput kami. Aku kira kami akan langsung pulang, ternyata Mbak Aiza ingin membawaku ke suatu tempat. Aku bertanya, tempat apa yang membuat Mbak Aiza seantusias itu untuk ditunjukkan padaku? Apakah bisnis baru dari Mbak Aiza? Itu yang ada di pikiranku sebab yang kutahu, Mbak Aiza memiliki banyak bisnis selain kliniknya. Karena tak kunjung Mbak Aiza menjawabnya, aku berhenti menerka-nerkka sampai kami berada di depan rumah berwarna-warni.
Kami turun dari mobil, dan segerombolan anak-anak menyerang kami. Eh, tidak. Mereka sedang berebut untuk mendapatkan peluk Mbak Aiza. Aku terdiam menatap betapa dekatnya anak-anak ini dengan Mbak Aiza. Mereka menggemaskan, seperti seorang anak yang bertemu dengan ibunya. Sepertinya Mbak Aiza sering mengunjungi tempat ini, jika kulihat dari antusiasme kerumunan anak-anak itu.
“Mama, kami kangen banget sama Mama,” ujar salah satu anak yang ada di dalam pelukan besar Mbak Aiza.
Mbak Aiza menyudahi pelukannya, tersenyum pada anak laki-laki itu. Tulus sekali senyumnya. “Mama juga kangen banget sama kalian.” Tangan lentiknya menyentuh pipi satu hingga tiga anak yang ada di depannya.
“Oh iya, Mama bawa sesuatu buat kalian semua. Tapi sebelumnya kalian harus masuk dulu, berbaris yang rapi kayak biasanya. Sesuatunya sudah ada di dalam, dibawa sama Bu Hamida.” Mendengar perkataan dari Mbak Aiza, mereka bersorak kegirangan kemudian mematuhi Mbak Aiza untuk masuk ke dalam.
“Bu Aiza, mari masuk…” Seorang wanita menyambut dengan hangat, mempersilakan, mengiringi kami untuk memasuki rumah berwarna ini.
Aku mengikuti langkahnya, menyusuri setiap sudut dari halaman rumah warna-warni ini dengan mataku.
“Mbak,” aku tersentak kala mendapati sentuhan di pahaku. “Kenapa berhenti di sini? Mari masuk ke dalam.” Wanita yang tadi menunjukkan senyum hangatnya padaku.
“Ah, iya.” Aku mengangguk mengikuti langkahnya yang membarengiku memasuki panti asuhan ini, di mana di dalam sana sudah ada Mbak Aiza bersama anak-anak yang selalu terlihat menggemaskan. “Mbak Aiza sering ke sini, Bu? Anak-anak terlihat sangat dekat dengan Mbak Aiza.”
“Iya, setiap minggu Bu Aiza tidak pernah absen untuk datang ke sini. Bu Aiza dan juga Pak Risam sangat menyayangi anak kecil. Karena itu, mungkin, mereka membangun Panti Asih ini.”
“Panti asuhan ini milik Mbak Aiza?”
Wanita itu mengangguk sambil menunjukkan senyum lebarnya.
“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak
“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru
“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i
“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun
"Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu
“Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa