"Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?"
"Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"
Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.
“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. G****e Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”
Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin turun di persimpangan jalan saja, tapi Satya dengan gigih mengantarkanku sampai di depan rumah ini, seolah tak rela melepaskan.
“Sini-sini, biar ku bantu membawakan barangmu ke dalam,” katanya, mengambil alih barangku yang tak banyak. Aku tersenyum, tahu betul bagaimana Satya dia sosok yang tak mudah mundur.
Kami mengucapkan salam di depan pintu gerbang. Seorang satpam yang baru kukenal membalas salam kami dengan sopan, kemudian mempersilakan masuk. “Saya anak dari Bu Santi,” aku memperkenalkan diri, dan ia segera mengantar kami masuk.
“Azahra?” Suara yang sangat kurindu akhirnya terdengar, mengalir hangat seperti mentari pagi. Wanita paruh baya dengan baju putih itu mendekapku erat, menghapus jarak dan sepi yang membelenggu hari-hariku.
“Alhamdulillah, sehat, Bu. Ibu sendiri bagaimana?” suaraku lembut, membalas kehangatan pelukannya.
“Alhamdulillah, Ibu juga sehat, Nak. Ibu kangen sama kamu.” Ciuman demi ciuman menghujani wajahku, membangkitkan rindu yang telah lama terpendam. “Ini siapa, Nak?”
“Ini Satya, Bu, anak dari majikan Bapak dulu,” jawabku pelan.
Satya tersenyum, sedikit canggung tapi hangat. “Em… kebetulan saya ada dinas di Jakarta, jadi saya antar Zahra ke sini dari desa,” katanya singkat.
“Terima kasih ya, Nak Satya. Eh, ayok kalian duduk dulu,” Ibu mengajak.
Satya menolak dengan halus, “Em... Tidak usah, Bu, saya langsung pamit saja.”
Aku mengangguk, tak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.
“Azahra? Kamu sudah datang?” tanya suara lain.
Aku langsung saja menjabat tangan mbak Aiza sebagaimana menjabat tangan seorang adik pada kakaknya. Mbak Aiza memelukku hangat, aku masih bisa merasakan kasih sayangnya, masih sama seperti dahulu, tak kurang tak lebih.
“Dokter?”
“Bu Aiza." Satya mengangguk merespon mba Aiza.
“Ada perlu apa dok? Apa suami saya yang memanggil dokter ke sini?”
“Tidak Bu Aiza, saya hanya mengantarkan Azahra, kebetulan saya dari kampung dan Azahra satu kampung dengan saya.”
“Oh, begitu.”
Perbincangan kami diakhiri dengan pamit dari Satya. Dan kini aku akan menuntaskan rinduku pada ibu.
***
“Mbak Aiza, mau saya bantu Mbak?” suaraku mengusik keheningan, sambil berusaha membantu memasukkan barang-barang ke dalam keranjang.
“Boleh, minta tolong masukkan saja ke dalam keranjang itu, ya,” jawab Mbak Aiza sambil tersenyum tipis.
Ada sesaat diam yang terasa berat. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, “Mbak Aiza, ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada saya?”
Matanya menatap tajam, ada beban yang ingin ia ungkapkan. “Iya, aku pengen bicara hal penting, Azahra." Mbak Aiza menghentikan pembicaraanya, diam beberapa saat seperi sedang mengolah kata-kata yang sekiranya amat berantakan. "Ngomong-ngomong, kamu ada hubungan sama dokter Satya?"
Aku menatap mbak Aiza dalam, bukankah aku sudah menjelaskan bahwa Satya adalah anak dari majikan bapa?
"Hubungan yang melibatkan perasaan. Pacar?" Lanjut mbak Aiza.
Aku sedikit terkejut mendengar itu. Tapi melihat raut wajah mbak Aiza entah mengapa aku ingin tertawa, hingga akhirnya aku memutuskan untuk tersenyum kecil, “Satya? Kami teman kecil, Satya anak dari majikan Bapak dulu. Tida ada hubungan kusus di antara kami selain teman, mbak."
“Hem... Seperti itu."
"Iya, mbak."
"Em… kalau kamu sendiri, apa sudah ada calon?”
Aku kembali tersentak. Pertanyaan itu mengingatkanku pada masalah yang sedang melandakau kini. Aku terdiam entah berapa lama, sampai aku kembali lagi tersadar saat mbak Aiza menyentuh pundakku, menatap mataku dalam. "Maaf sebelumnya Azahra. Seharusnya aku enggak mempertanyakan ini."
Segera aku menggeleng pelan, menyulam senyum, "enggak papa kok, Mbak." Aku menarik napas panjang, suara hatiku bercampur baur, mengusahakan untuk tersenyum lebih lebar. “Saya belum ada calon Mbak, masih ragu juga.”
Mbak Aiza mengangguk, “Enggak papa, dulu Mbak juga gitu sebelum nikah sama Risam. Tapi setelah tahu Risam, ternyata menikah tidak seburuk itu, bahkan hari-hari yang Mbak lalui jadi lebih indah, sebab Risam.”
Aku menatapnya dengan kagum, “Mbak Aiza beruntung sekali.”
Mbak Aiza terdiam beberapa saat menatapku, kemudian menunduk dalam, "Iya... Aku beruntung Azahra." Menatapku kembali, "Aku beruntung sebab memiliki Risam." senyumnya di sulam simpul, manis dan hangat sekali.
“Eh... Tunggu sebentar ya,” katanya lalu beranjak ke pintu.
Beberapa saat kemudian, Mas Risam masuk, wajahnya ramah dan tenang. Ada sesuatu dalam tatapannya yang menguatkan keyakinan Mbak Aiza akan kebahagiaan yang datang bersamanya. Akupun melihat di mana letak keberuntungan mbak Aiza, dan aku yakin mas Risam-pun sama beruntungnya sebab mendapatkan mbak Aiza.
“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak
“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru
“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i
“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun
"Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu
“Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa