Antara impian dan pembayara budi. Bukan keinginanku untuk bisa memilih keduanya atau menyingkirkan salah satu di antara mereka. Hingga pada akhirnya aku sadar, jika kedua hal tersebut bukanlah sesuatu untuk di pilih.
View More“Bapak, Azahra kangen banget.” Aku menatap nisan yang sudah berdiri empat tahun lamanya. Sungguh, membaca namanya membuat hatiku semakin ingin memeluk sosoknya. Padahal sudah tiga tahun silam, tapi rasa itu tidak hilang. Aku mencoba mengukir senyum, melihat bunga segar yang baru saja kutaburkan. Aku sudah mengirim doa, semoga saja sampai dengan cepat, sebagai bentuk rindu dan baktiku.
“Azahra?” terdengar suara berat yang memanggil. Spontan aku menoleh, dan kala melihat siapa yang datang, aku bangkit dari posisi dudukku. Aku ingat betul siapa laki-laki berpawakan tinggi, putih, dan bermata sipit ini. Namanya Wangsasatya, laki-laki dari kalangan Cina Muslim yang dahulu adalah anak dari majikan Bapak. Kami saling mengenal baik, sebab Bapak sering mengajakku ke rumah besar itu, dan aku dengan Wangsasatya sering bermain di halaman luas rumah miliknya.
“Satya? Kamu kok ada di sini?”
Laki-laki itu tersenyum. “Mumpung aku lagi di rumah, pengen mampir ke makam Pak Adam. Eh, kebetulan ketemu kamu di sini. Ada sesuatu yang pengen aku berikan, soalnya kalau datang ke rumah, enggak mungkin bisa ketemu. Oh iya, kamu sekarang ini libur atau udah boyong dari pesantrenmu?”
“Aku lagi ambil cuti untuk beberapa hari.”
Dia mengangguk. “Tunggu aku sebentar, ya?” Dia mengajukan permintaan, tapi nadanya lebih condong seperti pertanyaan, apakah aku bisa menunggunya sebentar. Dengan raut ragu aku mengangguk pelan, kemudian mempersilahkannya untuk mengambil posisi lebih dekat dengan makam saat dia meminta celah untuk jalan.
Sama sepertiku, Wangsasatya menaburkan bunga segar yang ia bawa, menyiramkan air dari botol kaca, kemudian menengadahkan tangannya dan memejamkan mata untuk berdoa. Aku duduk di sampingnya dan membersamai bacaan surat yang dibacanya.
Dua puluh menit berlalu, dan kini aku sudah berada di samping mobil Wangsasatya. Dia sedang mengambil sesuatu dari mobilnya. Tidak membutuhkan waktu lama, Satya keluar dengan membawa sebuah barang. Langsung saja barang itu disodorkan padaku sebuah buku dengan judul Khadijah. Satya tidak berbicara apa-apa padaku. Hanya saja, secercah senyum disodorkan bersamaan dengan pemberian buku berukuran tebal itu.
Aku ikut menyusul senyumnya. Melihat buku itu membuatku berpikir kembali, bagaimana Satya yang berumur sepuluh tahun lalu gemar sekali membaca buku. Bahkan jika bermain pun akan membawa satu atau dua buku di genggaman tangannya. Buku membuatnya berpikir tidak pada umurnya. Bagaimana tidak? Wangsasatya kecil sudah mengetahui banyak sekali ilmu dan informasi hanya dengan membaca buku. Buku dongeng sudah habis dilahapnya, hingga ia meminta buku yang seharusnya dibaca oleh ilmuwan.
“Itu buku baru. Papa berikan sebagai hadiah ulang tahun ke delapan untukku. Dia beli dari Prancis kemarin.” Aku masih ingat obrolan kita di dalam rumah pohon Satya. Ia mengatakan hal demikian, sebab aku membolak-balik buku tebal miliknya. Aku tidak mengerti tentang buku-bukunya, dan kala itu tidak ingin mengerti. Sebab memandang buku berukuran tebal miliknya saja sudah cukup membuat mataku lelah. Bagaimana bisa laki-laki itu menghabiskan berjam-jam untuk membaca?
“Aku melihatnya di toko buku saat mencari buku minggu lalu.” Kalimat yang diucapkan Satya membuatku kembali dari lamunanku tentang masa kecil kita. “Saat melihat buku itu, aku mengingat kamu. Eh, lebih tepatnya cita-cita kamu dulu. Menikah dengan seorang pangeran, kemudian hidup bahagia di dalam kerajaannya,” ujarnya sambil mengukir senyum tak terlalu lebar.
Ah! Aku jadi malu. Dia ternyata masih ingat dengan cita-cita Azahra yang tak suka membaca seperti dia.
Aku mengambil buku yang sudah lama mengapung di udara. “Aku ambil, ya.”
Satya mengangguk. “Khadijah bisa menjadi panutan untuk menjadi ratu yang taat pada rajanya,” imbuh Satya. Dan lagi-lagi aku tersipu malu sebab itu.
“Oh iya. Mumpung kamu ada di sini, ayo mampir ke rumahku. Pasti Uti senang kalau kamu datang.”
Keluarga Satya sangat baik. Aku sudah dianggap sebagai putri mereka di sana. Mereka memberiku makanan yang sama dengan Satya, baju baru ketika pulang dari luar negeri, dan kasih sayang yang sepadan dengan yang mereka berikan pada teman kecilku ini. Dulu Bapak sering melarangku untuk ikut ke rumah besar itu, sebab terlalu sering Satya menangis tak mendapat pembelaan jika bertengkar denganku. Mungkin bukan hanya itu alasannya. Menurutku, Bapak takut jika mereka memaksa untuk memintaku, sedangkan aku anak satu-satunya.
Kini, kejadian itu menjadi lucu dan membuatku rindu. Azahra, anak perempuan yang tinggal bersama Bapak, yang selalu menunggu Ibu pulang membawa kue kering dan barang-barang bekas majikannya. Tapi hidupku yang mungkin terlihat perlu dikasihani, tak seburuk dan sesepi demikian. Itu semua berkat Satya dan keluarganya. Sungguh, aku dituan-putrikan di rumah besar milik Satya. Oleh sebab itu, dahulu aku sering bermimpi akan ada seorang pangeran yang menjemput tuan putri ini, dan membawanya ke istana yang sama besarnya dengan rumah Satya.
***
"Bagaimana kamu di pondok?” Orang paruh baya yang menggenggam erat tanganku ini sedari tadi tidak berhenti mengajukan pertanyaan tentang kabarku sepuluh tahun belakangan ini. Aku bisa melihat antusiasmenya menunggu jawabanku. Wanita cantik ini sangat merindukanku.
“Azahra tidak bisa pulang karena sibuk dengan murid-muridnya, Uti.” Satya datang dan langsung saja menyahuti pembicaraan kami. Satya tahu itu, sebab pembicaraan kami saling bertukar kabar. Sepuluh tahun memang sudah mengubah segalanya. Bahkan Satya sendiri sudah mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang dokter. Namun aku tidak pernah tahu jika menjadi dokter kandungan merupakan keinginannya.
"Oh iya to? Masyaallah, Azahra sudah menjadi ustazah ternyata.” Uti menepuk pipiku lembut.
“Pesanan datang!” Terlihat dari jarak lima meter, Mbak Ami mendekati kami dengan tatakan minuman yang diangkat tangannya setinggi telinga. Larinya terbirit-birit. Jangan khawatir jika minuman atau nampannya akan jatuh, sebab dia sudah profesional melakukannya.
Kuamati wanita yang kini sedang menata minuman di depanku dan Uti. Senyumnya terus mengembang dan kini malah kian lebar. Mbak Ami semakin cantik, apalagi dengan penampilan barunya. “Ah! Ini untuk menutupi uban,” begitu bisiknya kala kuberi pujian tadi.
“Ngomong-ngomong, sudah ada calon apa belum?”
Aku tersedak mendengar pertanyaan dari Uti. Seharusnya aku tidak perlu terkejut mendapati pertanyaan yang sudah sering kudengar. Apalagi ini adalah pertanyaan yang memang seharusnya dipertanyakan pada wanita yang sudah berusia matang. Bagi masyarakat desa, wanita berumur dua puluh lima tahun sepertiku seharusnya sudah bersuami dan menimang seorang anak.
Aku menatap Uti, menggeleng sambil tersenyum. “Belum ada pangeran yang menjemput Azahra, Uti.” begitu kataku.
“Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak
“Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru
“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i
“Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun
"Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu
“Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments