Home / Romansa / SENDIAKALA / 06 JANJI YANG TAK SAMPAI

Share

06 JANJI YANG TAK SAMPAI

Author: Lila Oktavia
last update Last Updated: 2025-10-01 21:01:44

“Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.

Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal ibu sudah mengerti. Bagaimana kerisauan hatiku, dan bagaimana gundah gulana yang sedang anaknya rasakan. Ibu paham dan ibu merasakannya. Setelah aku menyelesaikan doaku ibu menggenggam tanganku, menyulam senyum lebarnya, kemudian mencium tanganku yang didekapnya.

“Serahkan semua pada Allah, jika kita melibatkan Allah maka semua akan baik-baik saja, Nduk.”

Aku cukup bersyukur memiliki orang-orang baik dalam hidupku. Ibu memang kurang ikut ambil peran dalam Azahra kecil, tapi bersama ibu, dan doa dari ibu membuat Azahra dapat sekuat ini.

Tak pernah dalam langkah aku menyalahkan ibu yang hampir tak pernah ada kehadirannya, sebab bapak bilang sebab ibulah aku dapat mengambil langkah-langkah itu. Aku cukup sedih sebab tak bisa mengerti bagaimana keriput di wajah ibu mulai ada.

Kuraih tubuh ibu yang jelas lebih kecil daripada tubuhku, tapi rasanya nyaman berada di pelukannya, mendapat sentuhan hangat, dan belaian halus darinya. Inilah yang kurindukan. Aku menangis dalam kehangatan, kutumpahkan keluh kesah yang tak kubiarkan semua orang tahu akan hal ini. Ibu jelas paham bagaimana anaknya ketakutan dalam mengambil keputusan ini, sebab ibu tahu bagaimana takdir memperlakukan anaknya dalam hal rasa.

Sungguh, aku trauma akan hari-hari itu. Hari yang membuatku trauma berkali-kali, hari yang selalu membuatku enggan untuk melihat dunia baru. Takdir cukup sering membuatku merasa kehilangan. Tepat di mana pertunanganku akan digelar kudapati bapak meninggal. Padahal bapaklah orang yang menginginkan pernikahanku, bapak yang memintaku untuk menikah, dan bapak yang menanti hari kebahagiaanku itu.

Tak hanya itu. Setelah dokter menetapkan jam kematian bapak, tepat beberapa menit setelahnya aku mendapati kabar bahwa rombongan dari mempelai pria mengalami kecelakaan tragis yang memakan banyak korban jiwa. Bahkan Mas Haris, seorang pria yang memintaku dari bapak, seorang pria yang menjanjikanku kehidupan seperti pada dongeng yang bapak ceritakan juga meniadakan janjinya dengan kecelakaan itu. Ia membawa janji-janjinya bersama dengan Tuhan yang mengambil nyawanya.

Peristiwa itu sudah cukup membuatku hancur, cukup membuatku merasakan arti kehilangan, dan cukup membuatku berharap lebih. Akan tetapi takdir berkata lain, ia mendatangkan kembali sosok yang lebih indah, dengan janji yang lebih indah pula, walau tak ada pengharapan dariku tetap saja janji-janji dari seorang anak Kiyai yang berani memintaku pada Umi dan Abah masuk ambil bagian pada alur ceritaku. Kutulis agar aku andil pada semua makhluk yang Tuhan beri bagian.

Tapi kudeklarasikan dengan lantang bahwa aku menyesal telah menulisnya. Anak Kiyai yang justru sosoknya belum kuketahui jelas adanya, meninggal tepat di hari ia membuat janji ta’aruf itu. Penyakit yang ia derita membuat ia harus pergi lebih cepat dari dugaan, dan untuk yang kesekian kalinya aku merasa bahwa aku tidak pantas untuk dimiliki siapa pun. Aku bahkan mulai meragukan apakah dongeng-dongeng yang bapak ceritakan sebelum tidur itu benar nyata adanya. Kenapa tuan putrinya ini selalu saja gagal dijemput sosok pangeran.

Berkali-kali aku meminta maaf kepada Tuhan sebab sering kali aku marah pada takdir yang kuterima. Kusesali pemikiran kotorku, kuciptakan doa-doa panjang pada Tuhan, barangkali Ia menciptakan takdir yang demikian sebab Ia akan memberikan alur yang lebih indah pada kisahku. Barangkali juga bukan hanya sekedar pangeran yang menjemputku, tapi orang pilihan Tuhan yang jauh lebih baik dari pangeran-pangeran pada dongeng cinta bapak.

“Azahra takut…” ujarku pada sela-sela isakanku.

“Hei…” Ibu melepaskan pelukan, mendekap wajahku yang telah merah dan sembab, “Jangan terus-menerus berprasangka buruk pada Allah, Nduk…” Aku menghentikan isakanku, kemudian kembali menangis dan kian keras tangisanku. Melihat itu ibu langsung saja kembali mendekapku, kembali membawaku pada kehangatan dan kenyamanan yang dapat dengan mudah menghilangkan sesak di dada. “Semua akan baik-baik saja, percaya kepada Allah, berserah kepada Allah, semua akan baik-baik saja.” Ibu bergumam terus-menerus, hingga rasa sedihku diganti dengan rasa kantuk yang tiba-tiba saja meniadakan kesadaranku.

Sungguh, tak bisa berbohong, aku tahu ibu juga risau. Bahkan lebih risau daripada aku. Ibu juga merasa ketakutan, bahkan lebih takut daripada aku. Ibu juga terlihat gundah gulana, bahkan lebih gundah daripada aku. Ibu lebih bisa merasakan apa yang putrinya derita daripada diriku sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENDIAKALA   08 PERMINTAAN

    “Apa kamu mau membantu wanita lemah ini, Azahra?” tangis mbak Aiza pecah, tangannya semakin erat menggenggamku, dan matanya kian dalam menatapku, semua itu seolah mengharapkan bantuan besar dariku. tapi, bisa apa aku? Tanpa dijelaskan pasti semua tau bahwa mbak Aiza lebih berpunya di sini.“Ada masalah apa mbak? Sebisa mungkin saya akan bantu, mbak Aiza.” Jawabku yakin sambil menggenggam kembali tangan dinginnya itu.“Menikahkahlah dengan Risam.” Satu kalimat diselesaikannya dengan satu tarikan napas. Dan napasku berhenti mendengar apa yang baru saja diucapkannya, bahkan rasanya jantungku juga ikut berhenti berdetak karenanya. Sepontan saja ganggamanku pada tangannya terlepas, aku lemas sebab permintaan yang baru saja di berikan oleh mbak Aiza.Mbak Aiza tidak membiarkan tangannya terlepas dari ganggamanku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya kian erat dari pada tadi. “Aku sudah menikah lima tahun lamanya, Azahra. Memang kami menunda untuk memiliki anak

  • SENDIAKALA   07 SISI GELAP TERAS

    “Nduk, tolong tatakan jajanan ringan itu ke dalam piring ya, terus taruh di dapur.” Katering yang dipesan oleh mbak Aiza datang bersamaan, ibu membagi tugasnya denganku. Ibu menata makanan berat di meja makan, dan aku menyimpan jajanan ini untuk di hidangakn setelah makan. Katering yang datang membawa banyak sekali jenis makanan, ibu bilang keluar besar mbak Aiza akan datang dan makan malam di sini sebab itu semua harus tersajikan sebelum jam makan malam. “Bi, sudah siap semua?” Aku mendengar suara mbak Aiza kala jajanan sudah kutata rapi ke dalam piring. “Keluarga saya lima menit lagi mungkin akan datang, setelah ini makanan ringannya jangan lupa disiapkan juga, ya.” “Iya, mbak. Sudah beres semua, makanan ringannya juga sudah disiapkan Zahra.” Balas ibu. Belum saja ada beberapa detik ibu menyelesaikan kalimatnya, mas Risam masuk dengan menyampaikan jika keluarganya telah datang. Lebih cepat dari waktu yang diperkirakan, untung semua sudah siap. Mbak Aiza dengan mas Risam buru-buru

  • SENDIAKALA   06 JANJI YANG TAK SAMPAI

    “Nduk… bangun.” Setelah beberapa sentakan halus dari ibu aku terbangun. Dengan sedikit kesadaran aku bertanya pada ibu jam berapa sekarang, ibu menunjukkanku di mana letak jam dinding, dan betapa terkejutnya aku bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas. Kuucap istigfar berkali-kali sambil memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu.Beberapa kali kudengar ibu mendumel sebab aku yang tak kunjung bangun padahal sudah dibangunkan beberapa kali. Entahlah, aku merasa sangat lelah kala di pesantren, dan niatku untuk merebahkan badan sebentar kala berada di kamar malam ketiduran hingga tak sadar jika adzan magrib sudah berkumandang. Dengan segera kulaksanakan shalat magrib, membaca Al-Qur’an, dan tak butuh waktu lama adzan isya berkumandang. Kulaksanakan shalat isya berjamaah dengan ibu.Doaku mungkin cukup lama, tanpa kusadari ibu yang masih menggunakan mukena tengah duduk menghadapku, memperhatikan bagaimana anaknya memohon dalam kediaman. Seolah-olah tanpa kuceritakan segala hal i

  • SENDIAKALA   05 RUMAH WARNA WARNI

    “Nduk, bagaimana dengan lamaran Ustaz Alif? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?” Pertanyaan ibu membuatku berhenti memilah baju dari almari yang baru saja kutata tadi malam. “Ibu lihat dari kemarin kamu seperti resah, Nduk. Apa karena jawaban dari lamaran Ustaz Alif?” Ibu kembali menyodorkan kalimat tanya padaku.Aku mengambil asal baju yang dipegang oleh tanganku, kutarik dan kubawa untuk menghadap ibu yang sedang duduk di atas ranjang. Aku bingung harus dari mana menjawab pertanyaan ibu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar, berharap dengan demikian segala beban yang kubawa juga akan hilang.“Apa Azahra tolak saja ya, Bu, lamaran dari Ustaz Alif?” Tanpa berpikir dua kali, mulutku melontarkan sebuah pernyataan.Ibu memang terlihat terkejut, tapi tidak lama kemudian ia tersenyum, meraih tanganku untuk menuntunku duduk di sampingnya. Tatapan ibu yang seperti ini yang kurindu. Tatapan teduh yang dapat menenangkanku. Ini yang kucari. Perlahan risauku hilang, walaupun

  • SENDIAKALA   04 JEJAK DI RUMAH LAMA

    "Kalo minggu depan kamu masih di Jakarta, apa kamu mau nemenin aku ke toko buku? Setelah itu aku ajak kamu buat beli jus strowberi paling enak di jakarta, kamu masih suka jus stroberikan?""Hem... Boleh. Asal kamu enggak maksa aku buat baca buku tebal-tebal yang akan kamu belikan?"Satya tertawa kecil mendengar responku, "Enggak..." tertawanya semakin renyah megiringi perjalanan kota yang padat. Suara musik yang ia putar tak ada harga dirinya, bembicaraan kami lebih menarik dari pada mendengarkan musik dengan alunan indah itu.“Ini rumahnya?” Satya bertanya setelah memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Google Maps yang mengarahkan kami memberi perintah berhenti. Aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan sekitar. Di sinilah kami berhenti. Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan mantap, “Ya, ini rumah majikan Bu.”Aku turun dari mobil yang dikemudikan Satya. Sudah bukan pertama kali aku ke sini, jadi aku hafal setiap lekuk bangunan yang kini sedikit berubah. Awalnya aku ingin tu

  • SENDIAKALA   03 DI ANTARA DUA PILIHAN

    “Nduk, bagaimana shalat istiqarahmu?” Suara lembut di dalam telepon itu terdengar seperti sentakan untukku. Aku sedikit bergetar, kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadaku. “Ustaz Alif kemarin ke pondok, walaupun tidak bertanya mengenai jawaban lamarannya, tapi dari logatnya Umi tahu ia menunggu jawaban darimu, Nduk.” Aku masih diam mendengarkan, ambigu di sini.“Nduk, kenapa diam saja? Kamu baik-baik saja kan?"“E-Nggih, Umi. Azahra baik-baik saja.” Aku berbohong. Kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja, pikiran dan hatiku berdebat hebat. Padahal hanya persoalan memberikan jawaban iya atau tidak. Ah! Salah jika hanya sekedar jawaban, sebab ini adalah keputusan untuk melanjutkan masa depan.Beberapa hari ini pikirku selalu mengulang-ulang reka kejadian di mana seorang ustaz muda datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk memintaku kepada pengurus pesantrenku. Ustaz Alif, pengajar di salah satu pesantren yang memiliki hubungan kental dengan pesa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status