Akhirnya mereka tiba di rumah nenek Ranti, neneknya Wina yang kini sudah berusia 65 tahun, nenek Ranti tinggal bertiga dengan Wenti yang adalah adik papahnya Wina, yang sudah menjanda. Suaminya telah meninggal karena sakit dan di karuniai satu anak laki - laki yang masih SD. Nenek Ranti walau sudah berumur, kondisi badannya masih bugar, karena nenek Ranti selalu menjaga pola makannya dan sering berolahraga.
Malam semakin dingin, mengalahkan dinginnya Kota Bandung, itu karena kediaman Nenek Ranti memang dekat pegunungan, yang memang terkenal cuaca dinginnya, dengan kesejukan dan keindahan alamnya, sementara Sari dan Wina memilih beristirahat dikamar, agar besok bisa bangun pagi dan jalan - jalan berkeliling disetiap tempat yang bagus pemandangannya, yang tidak terlalu jauh dari kediaman nenek Ranti.
Keesokan harinya, Wina dan Sari setelah sarapan meminta ijin kepada orangtua Wina dan nenek Ranti, untuk bersepeda, menikmati udara sejuk pagi hari dan keindahan alam yang terbentang mempesona.
Mereka berdua sangat menikmati disetiap perjalanan, mengayuh sepeda masing - masing dan sesekali berhenti untuk berselfie ria dengan spot yang mereka fikir sangat bagus.
Terdengar teriakan Wina, saat melihat sepeda yang dikendarai Sari akan menabrak seekor kambing yang melintas tanpa terduga. "Sari! Awas, itu kambing!"
Mendengar teriakan Wina membuat Sari dengan cepat menekan rem ditangannya.
Wina berseru menghampiri Sari dengan sepedanya, "Jangan melamun, Non."
"Siapa juga, yang melamun, kambingnya muncul tiba - tiba gitu, untung remnya tokcer," dengan Napas yang masih terengah - engah menahan kaget.
"Ngeles aja nih, nona cantik."
"Win, kita mau kemana lagi, nih?"
"Gunung batu jonggol, pemandangan disana sangat mengagumkan,dengan ketinggian 875 mdpl, kita dapat melihat kemegahan gunung pangrango, itupun kalau kita sampai dipuncaknya, mau coba."
"Masa sih, ya udah, ayo kesana..." tukas Sari dengan manja.
"Ayoo..." balas Wina penuh semangat.
Merekapun segera mengayuh sepeda mereka, tidak berapa lama, mereka sudah berada disana, setelah menitipkan sepeda kepada pemilik warung yang berada disekitaran situ, mereka berjalan menuju puncak, untungnya Wina sudah mempersiapkan membawa minuman dan snack, karena tahu perjalanan menuju puncak gunung lumayan terjal dan jauh, pasti akan terasa dahaga dan lapar.
"SubhanAllah, Cantik sekali pemandangan disini, sungguh memanjakan mataku." ungkap Sari penuh kekaguman.
"Kita selfie yuk, kapan lagi punya spot sebagus ini," tukas Wina.
Merekapun menghabiskan waktu di gunung batu jonggol dengan menikmati pemandangan gunung pangrango, dengan riang dan gembira, tiada hentinya bercanda.
"Pulang yuk, takut Nenek kuatir kita kelamaan diluar." ucap Wina.
"Masih betah, Wina..."
"Mau nginep disini? tuh, kan ga mau pulang, ya sudah aku pulang duluan nih," balas Wina sembari tersenyum meledek Sari.
Sari tertawa geli melihat respon Wina "Ih ga mau lah, ngapain nginep disini, nanti ada yang nyulik lagi."
Merekapun kembali kerumah Nenek Ranti, menikmati kembali pemandangan disepanjang perjalanan pulang, mereka melupakan sejenak proposal yang belum kelar, terutama bagi Sari, persoalan - persoalan yang kemarin membuatnya terluka karena kisah cintanya yang kandas, seketika benar - benar terlupa.
Singkat cerita, liburan merekapun sudah berakhir, dan jiarah kemakan kakeknya Wina sudah dilaksanakan, sehingga malam ini, mereka semua prepare untuk besok pagi kembali ke Kota Bandung.
Didalam kamar, Sari membuka pembicaraan kepada Wina, " Win, aku sampai lupa, ingin menghubungi Angkasa."
"Telpon Rama sekarang, mumpung belum terlalu malam."
"Tapi...kamu yang ngomong, aslinya, aku ga enak, baru telpon langsung nanya soal Angkasa, sebenarnya kalau ga penting - penting amet, aku males telpon Rama, takut salah arti."
"Okey, tapi kata - katanya, gimna aku aja ya, jelasin jangan soal yang terjadi?"
"Jelasin aja," sembari memberikan HP kepada Wina, untuk menelpon Rama.
"Hallo Ram, sorry ganggu malam - malam."
"Iya, sorry, siapa ya?"
"Ini Wina temannya Sari."
"Sari, mana ya?"
"Permatasari Nugraha."
Rama menjawab dengan gugup, mendengar nama wanita idamannya. "Oh...eh..iya, kamu, temannya yang waktu itu duduk bareng Sari dikantin, bukan?"
"Iya, tuh apal." balas Wina."
Rama mendadak bersemangat merespon telephon Wina, fikirnya, karena Wina temannya Sari, siapa tahu bisa membantunya untuk dekat dengan Sari. "Ngomong - ngomong, Wina ada perlu apa, ya? kalau Rama bisa bantu pasti akan Rama bantu dengan senang hati."
"Pasti bisalah, bantuan yang sangat mudah, kok."
"Apa?" balas Rama dengan penasaran.
"Rama, aku boleh minta nomornya Angkasa? soalnya ada perlu."
"Boleh, nanti aku kirim, ya."
"Makasih, Rama, jangan lupa kirim sekarang nomornya, ya."
"Iya, pasti, ngomong - ngomong, kamu teman dekatnya Sari, ya, tolong sampaikan salam dari aku, ya."
"Iya, nanti aku sampaikan salam dari kamu."
"Makasih, Wina."
"Iya, sama - sama, ya sudah kalau begitu, sekali lagi makasih ya."
Rama berseru dengan cepat, karena takut telponnya keburu dimatikan. "Win, ini nomor kamu, kan, aku save, ya? boleh apa tidak?
Wina melirik kearah Sari, sekan meminta jawaban atas pertanyaan Rama, Sari yang mendengar pertanyaan Rama, karena memang telponnya di loudspeaker, berbisik ke Wina. "Bilang saja ini nomor kamu, ya, kalau dia nanya lagi."
Rama kembali bertanya, karena merasa tidak ada jawaban dari Wina, dan merasa aneh kenapa harus lama menjawabnya, Rama berasumsi positif saja, mungkin Wina keberatan nomornya dia save. "Kalau tidak boleh, tidak apa - apa, setelah ini akan aku hapus nomornya."
"Iya boleh, kok, ya sudah dulu, ya, sudah malam mau tidur, jangan lupa nomor Angkasa kirim."
"Okey, tunggu saja."
Setelah menutup telephonnya, tidak berapa lama, Rama sudah mengirim nomor Angkasa.
Sari langsung menelpon Angkasa, karena kalau dinanti - nanti takutnya keburu malam.
"Hallo, ini benar Angkasa?"
"Iya, maaf ini siapa, ya?"
"ini, Sari."
"Sari, yang waktu itu dikantin kampus, bukan?"
"Iya, betul, maaf Angkasa aku ganggu nggak?"
"Nggak kok, ngomong - ngomong kok tau nomor aku?"
"Dapet dari Rama."
"Sari, ada perlu apa, ya, apa ini soal Rama?"
"Bukan soal Rama, aku ada perlu aja sih, sama kamu"
"Kirain mau bahas soal Rama, perlu apa, ya?"
"Angkasa, Terimakasih karena kamu sudah menyelamatkanku kemarin, sebagai ucapan terimakasihku, aku ingin mentraktirmu makan, kamu besok malam ada acara tidak?
"Kamu tidak perlu segitunya, kemarin aku tidak sengaja saja menolong kamu, kebetulan saat itu aku yang dekat dibelakang kamu."
"Tolong jangan menolak tawaranku, Angkasa."
"Baiklah kalau kamu memaksa, aku boleh tidak, ngajak Rama?"
"Iya boleh, nanti aku kabarin lagi, besok sore, karena sekarang aku masih di Bogor, rencana besok pagi - pagi pulang, takutnya kejebak macet dijalan ga enak sudah buat janji, takutnya batal atau kemaleman."
"Kamu lagi di Bogor, emang ga cape, langsung ketemuan malamnya, kalau tidak sempat besok malam, ga apa - apa, lain waktu saja."
"Gak cape kok, orang cuma tinggal duduk, yang nyetirkan bukan aku."
Angkasa tersenyum mendengar ucapan Sari, sepolos itu. "Iya, ok, sampai ketemu besok malam, ya."
Telephonpun dimatikan, Sari menghela napas lega, seakan beban fikirannya telah terangkat, setidaknya sudah berterimakasih kepada orang yang sudah menyelamatkannya.
Wina yang memperhatikan daritadi, melihat Sari sudah menutup telephonnya, langsung bertanya.
"Bagaimana respon Angkasa?"
"Ya gitu deh, baik kok orangnya dan enak diajak bicara, aku jadi merasa lega, walau awalnya aku takut dia ga merespon."
"Syukurlah, setidaknya, sahabatku sudah tidak kefikiran terus, soal bagaimna ya, harus gimana ya, cuma untuk bilang makasih.
Semalaman mereka mengobrol, apa saja jadi bahan obrolan, namanya wanita segudang pembahasan, kalau belum cape ngomong terus saja tiada jeda mengobrol, sesekali melihat foto mereka yang di ambil di puncak emerlad memilah - milah yang tercantik untuk di pasang di sosial media mereka, tak terasa malam semakin larut, merekapun akhirnya tertidur.
Ayam telah berkokok, menandakan pagi sudah menjemput, meninggalkan malam dengan gelapnya, untuk menyapa sang pagi yang cerah, Wina dan Sari telah bersiap - siap untuk kembali ke Bandung, setelah dirasa semuanya rapi dan tidak ada yang tertinggal, merekpun berpamitan kepada nenek Ranti dan tante Wenti.
Kali ini diperjalanan, mereka berdua tidak tertidur, asik bercanda dan melihat semua hal disepanjang jalan.
Mobil mereka berhenti sejenak, di tempat pusat oleh - oleh kota Bogor, karena Wina yang meminta kepada orangtuanya, untuk berbelanja oleh - oleh, pesanan teman - temannya, Sari ikut membeli oleh - oleh untuk orangtuanya, ingat kalau ibunya sangat suka manisan Bogor, dan kue brownise talas.
Oleh - olehpun sudah dibeli, mereka melanjutkan perjalanan.
"Oh iya Win, aku lupa bilang, kalau malam sekarang, aku mengundang Angkasa makan dicafe biasa kita nongkrong."
"Oh, ya...terus Angkasa mau?"
"Mau, tapi katanya mau ngajak Rama juga, kamu ikut ya, Win?"
"Pasti ikutlah, apalagi ada yang mau traktir makanan," seru Wina dengan semangat.
Pukul sebelas siang, mereka sudah tiba di Bandung, setelah mengantarkan Sari, Wina kembali kerumahnya untuk istirahat karena nanti malam harus menemani Sari ketemu Angkasa dan Rama.
Keduanya telah tiba di Purwakarta, Angkasa mengajak Sari untuk masuk bersamanya, kedalam rumah Bayu, yang sudah menunggunya didalam, sebelumnya, memang Angkasa sudah menghubungi Bayu. "Hai, bro...apa kabar lu," sapa Bayu sambil menjabat tangan Angkasa dan Sari. Mereka sudah hampir tiga tahun tidak bertemu, Angkasa pindah ke Bandung, walau memang beberapa kali Angkasa berziarah ke makam ayahnya, tidak pernah bertemu Bayu karena sedang berada diluar kota, sebagai anak pemilik usaha sate maranggi dibeberapa kota membuat Bayu jarang berada di rumah, sibuk membantu ayahnya. Bayu dan Angkasa sahabat semenjak kecil, dulu rumah Angkasa, tidak jauh dari rumah Bayu hanya terhalang empat rumah, Bayu mempersilakan mereka untuk duduk. Reni datang dari arah dapur, membawa kopi hangat dan beberapa cemilan untuk disuguhkan. Angkasa melihat Reni seraya berkata. "Kamu Reni, kan?" "Iya, kak," jawab Reni. "Sudah besar sekarang, ya," ucap Angkasa.
Langkah kaki semakin terdengar jelas, Sari menoleh kearah pintu, ternyata Hans dan Wina baru kembali dengan membawa bungkusan plastik ditangan Hans, setelah meletakan diatas meja, Hans pergi kedapur, sementara Wina menghampiri Sari seraya berkata. "Lama, ya, sorry, tadi ada kecelakaan ditikungan depan, buat macet jalan, makan bakso yuk, laper nih."Sari bangkit dari duduknya, kini berdiri disebelah Wina, Hans sudah membawa empat mangkuk dan sendok memberikannya kepada Wina dan Sari, mereka segera menyantap bakso, sesekali mata Angkasa dan Sari saling beradu pandang dengan bibir yang tersenyum.Setelah selesai makan, mereka mengobrol sejenak saling bercerita seputar skripsi, yang mana dua minggu lagi harus sudah dikumpulkan dan presentasi didepan para dosen penguji, Hans diminta oleh Wina untuk memberi masukan karena Hans yang memang sudah berpengalaman dalam membuat skripsi, karena sudah lulus lebih dulu sehingga lebih paham, Hans bersedia membimbing mereka dan ingin b
Angkasa tetap diam tidak menjawab, namun tak memberikan penolakan, saat Sari membersihkan darah yang kering, memberinya betadine dan menutupnya dengan plester, Sari menatap wajah Angkasa begitu dekat jantungnya serasa berdetak dengan cepat, dengan jemari lentiknya perlahan mengkompres wajah Angkasa dibagian luka lebamnya, Angkasa tetap diam pandangannya menatap keluar jendela dan tangannya yang menggenggam gelas yang masih berisi alkohol akan ia teguk, Sari dengan cepat meraih gelas di tangan Angkasa. "Sudah ya, jangan minum lagi, kamu sudah mabuk, aku gak perduli kamu mau marah karena aku melarangmu minum, yang jelas semua demi kebaikanmu juga," ucap sari dengan nada yang lembut. Angkasa sama sekali tidak marah ia hanya diam dan menatap Sari, pandangan mata mereka beradu, Sari dengan cepat mengalihkan pandangannya, dan seraya berkata kepada Hans. "Hans, ini sudah selesai, kalau begitu aku dan Wina pamit pulang." "Sebaiknya tinggal dulu sebentar lagi, lagian
Singkat cerita, seminggu sudah Sari tak lagi mendengar tentang Angkasa, hatinya begitu sangat merindukan Angkasa, hanya sepenggal kenangan yang terukir dalam ingatannya, saat pertama kali bertemu dan beberapa kali Angkasa selalu menyelamatkannya, hingga pada akhirnya saling dekat.Hari ini jadwal cek-up Sari ke Dokter, ditemani Wina mereka segera ke rumah sakit, Sari sudah pulih dan merasakan badannya baik - baik saja begitu juga tangannya yang luka, sudah tidak terasa sakit dan ngilu, Setelah selesai dari rumah sakit, Wina mengajak Sari ke cafe Story di daerah Dago, agar Sari bisa refresh setelah seminggu lebih tidak pergi kemana - mana, Sari yang memang sedang tidak ingin sendiri dan butuh hiburan juga, akhirnya mau pergi bersama Wina, setelah menelpon Bundanya, untuk minta ijin, Sari dan Wina kini menuju Cafe Story, dengan menggunakan mobil Wina, Sari terlihat murung, duduk disebelah Wina yang sedang menyetir mobil."Kamu kenapa, Say?" tanya Wina yang sesekali mempe
Wina dan Sari saling lirik, lalu mereka tertawa, Hans semakin bingung jadinya, Wina yang melihat kebingungan diwajah Hans, seraya menjelaskan."Hans, kamu gak usah khawatir kita akan ribut, karena kita memang begini, sudah biasa, lagian cuma karena kata - kata, masa persahabatan kami jadi rusak, benar gak, Sar?""Yupsss..."Hans tersenyum lega, karena mereka hanya saling bercanda, ternyata mengobrol dengan cewek gak semudah yang Hans bayangkan, Hans sudah mikir terlalu jauh, melihat Wina dan Sari yang tertawa dengan riang dan saling bercanda, walau sebenarnya kadang ada kata - kata yang bisa saja jadi ribut, tapi mereka memang sama - sama mengenali sifat masing - masing, jadi obrolan apapun tidak hambar dan tidak memicu jadi emosi, wanita seperti ini yang Hans cari, semakin kagum saja Hans kepada Wina, karena bagi Hans, wanita yang selalu tertawa riang dan bisa menyikapi setiap obrolan tanpa harus emosi, itu akan memberikan energi positif baginya.Hans, m
Mereka berempat menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menikmati cemilan dan jus, diselingi bercanda dan ketawa - ketawa, Sari begitu bahagia memiliki orangtua yang sangat menyanyanginya dan sahabat yang begitu tulus kepadanya, tak terasa waktu sudah hampir malam, setelah makan malam bersama, akhirnya mereka bergegas untuk istirahat, Wina tidur seranjang dengan Sari, sementara orangtua Sari, dibawah menggelar kasur karpet, Suasana Rumah Sakit yang sepi membuat mereka tidur dengan nyenyak.Suara Adzan Subuh terdengar berkumandang, Bunda Sari bangun lebih dulu untuk mandi, begitupun Ayah Sari dan Wina mereka mandi bergantian, sementara Sari belum bisa untuk mandi sendiri sehingga dibantu ibunya membersihkan tubuhnya, dengan dilap basah dan memapahnya kekamar mandi untuk wudhu, mereka melaksanakan Sholat Subuh berjamaah, untuk Sari sendiri duduk dikursi roda, karena belum kuat lama - lama berdiri, badannya masih terasa lemah, setelah melaksanakan Sholat berjamaah, mereka merapi