Aku masuk kedalam rumah, ku naikkan ujung dasterku hingga sepinggang, kemudian kuikat kencang supaya tidak terjatuh dan mengganggu aksiku. Hiasan-hiasan dekorasi kamar pengantinku dulu, masih tersimpan apik di dalam koper. Aku akan segera memasangnya.Dengan cekatan, kamar kuhias seindah mungkin, tidak lupa kusediakan secangkir madu di atas meja, dan beberapa piring kecil untuk tempat lilin nantinya. Ku fikir, dengan mendekor kamar dengan konsep reman-remang, akan menambah romantisnya suasana.Sedang asik-asiknya mendekor, suara Adzan Ashar menghentikan aktifitasku sejenak. Setelah adzan Ashar berhenti, aku segera menyelesaikan pekerjaanku menghias atau mendekorasi kamar. Setelah selesai mendekor, aku shalat ashar, kemudian memasak makanan kesukaan Bang Kaylani. Ayam sambal.“Assalamualaikum.” Terdengar olehku ucapan salam dari suamiku, diiringi suara mobil. Sepertinya tu Bang Kaylani dan mobil yang membawa spring bed kami.“Waalaikum salam, ucapku meninggalkan ayam yang baru saja ku
Perpaduan gaun putih dengan nuansa gelap nan temaram, sangat serasi, membuat penampilanku menarik sempurna, pasti Bang Kay yang melihatku akan klepek-klepek.Ckleek, gagang pintu kamar terbuka. Kulihat Bang Kay tersenyum mengembang ke arahku. Dia datang mendekat dan mencium keningku. Sebelum kami betul-betul berbulan madu, aku dan Bang Kay terlebih dahulu saling merayu, dan memuji.“Indah sekali, matamu ini sayang … bagai bintang berkilau dimalam hari.” ucap Bang Kay.“Abang juga, semua yang ada pada diri Abang sangat mempesona.” balasku berbisik di telinga Bang Kay.Suara angin malam masuk dari celah-celah jendela, menambah khidmat nuansa bulan madu kami. Lama sekali malam ini kutunggu-tunggu, akhirnya terjadi juga setelah melalui malam yang panjang. Aku tidak sabar.“Maya pengen anak berapa dari Abang?” tanya Bang Kay di telingaku, masih sambil merayu.“2 Bang, kembar.” balasku. “Kalau Abang pengen punya anak berapa?” tanyaku kembali.“Sebanyak mungkin, Dek Maya, siap mengandung zur
Tekadku benar-benar sudah bulat. Aku tidak mau terus bertahan dan bersabar hidup dengan Bang Kaylani. Rasanya sudah cukup setahun aku bersabar untuk semua hal, dan untuk semua kekurangannya.Setelah semua barang-barangku ku masukkan ke dalam koper, tanpa berbasa-basi dan meminta izin kepada Bang Kay suamiku, aku pergi. Kutenteng koperku keluar dari rumah, walau rasanya agak berat membawa koperku itu, kupaksakan saja.“Dek, jangan pergi! Sudah malam ini Dek.” Bang Kay mengejarku dan menarik tanganku.“Lepaskan Bang! Biarkan Maya pergi, Maya tidak mau tinggal disini lagi.”“Iya sayang, tapi ini sudah larut malam, kalau Maya kenapa-kenapa nanti bagaimana.”“Biar! Maya sudah dewasa Bang! Maya bisa menjaga diri. ucapku tetap teguh pada pendirian.“Iya Dek, besok aja ya perginya.” ucap Bang Kay memelas. Matanya dibuat sesayu mungkin agar aku luluh.“Enggak Bang! Maya ga bisa bertahan lebih lama disini. Maya ga tahan lihat muka Abang!” bentakku, dengan suara tinggi. Dengan percaya diri, kuba
Selama mobil berjalan, aku dan pria berhati malaikat itu hanya diam. Larut dalam fikiran masing-masing. Kuedarkan pandangan ku ke sekitar jalanan, sangat sepi. Lani kucing persiaku, mahar pemberian Bang Kaylani, tidur dengan begitu nyenyaknya di dalam pelukanku. Ku belai lembut bulu halusnya.Melihat Lani, kucing Persiaku, mengingatkanku kepada Bang Kaylani, pada masa-masa kami bersama mengurus kucing persiaku, mengingat saat-saat menjengkelkan, saat kami harus menyesuaikan diri menerima seekor kucing dengan tingkah menyebalkan dan menyusahkannya di tengah-tengah kami. Banyak rasa yang kami rasakan bersama, ada suka dan duka, tangis dan tawa.“Bang … ternyata Abang menghilang untuk menjemput motorku toh Bang, ku kira Abang pulang karena tidak menyukai tingkahku. Andai saja Abang lebih cepat datang, tentu saat ini aku tidak akan berada disini. Mungkin, saat ini aku sedang berada di belakangmu, dan melingkarkan tanganku ke pinggangmu. Bang, apakah aku terlalu egois ingin meninggalkanmu,
Aku berdiri mematung sejenak. Aku berbohong, pada orang baik tadi. Rumahku bukan disini. Rumahku masih beberapa km lagi di depan. Aku sengaja turun disini, agar tidak terlalu merepotkan Mas Hanafi. Apalagi percakapan kami, semakin larut semakin gurih saja. Aku khawatir, ada yang ketiga. Bukan itu saja, aku ingin menjaga aib suamiku, aku tidak mau orang tuaku tau aku ada masalah dengan Bang Kaylani.“Meeong.” Lani kucing Persiaku menatapku.“Ngapain bangun? Tidur lagi!”ucapku mengusap kepala Lani.Aku berjalan kearah masjid, rencananya malam ini, aku istirahat saja disitu. Lalu, besok pagi-pagi aku naik ojek ke rumah orang tuaku. Sayangnya tidak di kota, kalau di kota, tentu aku akan memilih tidur dihotel.Kubuka gagang pintu Masjid, syukurlah tidak dikunci. Aku masuk, membawa koperku kedalam, lalu kutup kembali. Aku lupa membawa selimut, kuambil beberapa kain sarung yang tersedia di masjid untuk menutupi badanku. Cuaca terasa sangat dingin. Aku menggigil … gigiku, bergemelatuk sangkin
“Assalamualaikum Ma.”ucapku sesampainya di depan pintu.“Waalaikum salam, Loh, Maya? Pulang kok tidak mengabari? ucap Mama menyambutku. Mama sedang menyapu rumah, saat aku datang Mama sedang menyapu ruang tamu. Melihatku datang, Mama segera menghentikan aktifitas menyapunya, menyambutku dan mencium keningku. Maklum lah, aku adalah anak tunggal, dan anak kesayangan. Seperginya aku setelah menikah dengan Bang Kay, Sepupu laki-lakiku yang tinggal menemani Mama dan Papa, sedari kecil diasuh oleh Mama dan Papa karena Bibiku sudah meninggal.“Ayah, mana Ma?”tanyaku karena tidak melihat Ayah. Tidak mungkin berangkat ke kantor, jam masih menunjukkan pukul 7.25 pagi.“Ayahmu, belum bangun. Tadi setelah Shubuh tidur lagi. Katanya kepalanya sakit karena sepertinya tensinya naik.”jawab Mama.“Oh gitu Ma,” ucapku. Aku berjalan ke arah sofa. Kemudian duduk melepas penat, dan disusul oleh Mama.“Dimana Kaylani? Kok tidak ikut mengantarmu kesini?”“Bang Kay, ga bisa ikut Ma, kan dia masuk kerja. Maya
"Ma, sini Maya kasih tau apa sebenarnya masalah yang Maya dan Bang Kaylani hadapi. Maya Ma, sama Bang Kaylani, sejak malam pertama, dia cuma cium Maya, tapi dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi karena baru menikah, Maya sabar aja Ma, Maya terus berusaha godain dan rayu Bang Kay, semua cara Maya cobain Mah, tapi Bang Kay selalu menghindar, dan alasan-alasan yang dia buat tidak bisa Maya protes Ma. Apalagi Ayah pernah berpesan " Jangan ngelawan sama suami, taat sama suami, hormati suami." Mana bisa Maya bertahan, apalagi Mama tau sendirikan Bang Kay itu gantengnya mirip Omar Borkan pangeran Arab itu. Tapi Maya ga bisa berbuat apa-apa Ma, setiap malam Maya godain Bang Kaylani, selalu berujung penolakan. Maya merasa lebih buruk dari wanita tunasusila Ma. Sampailah setahun lamanya Maya bersabar, akhirnya Bang Kay memberitau alasannya kenapa terus menolak untuk melakukan kewajibannya, alasan Bang Kay mahar belum di bayar, setelah Mahar di beli, susahnya nyar
Hari ke dua di rumah Mama ...."Ya Allah, istri orang jam 9 belum juga bangun." ucap Mama membuka pintu kamarku, walau sudah siang, aku masih sangat mengantuk. Dengan malas aku membalikkan tubuh, yang semula telungkup menghadap Mama, kemudian senyum cengengesan."Maya masih ngantuk Ma, ga tau kenapa badan Maya masih capek." ucapku, kemudian tidur kembali." Ya Allah Maya, ini udah jam sembilan. Bangun! Kok malah tidur terus malu sama Ayam yang bangun jam 5 pagi. Malesnya ke bangetan. Jangan-jangan kamu benaran hamil?" ucap Mama menarik selimutku."Ih, engga Ma! Maya ga hamil tau. Tapi emang belum baikan dari semalam." ucapku."Kalaupun sakit ga usah di parah-parahin lah Maya, bawa olahraga! Nanti keringatan sehat lagi tu. Ayah kamu nunggu kamu itu di meja makan. Buruan sana!""Ayah ga kerja Ma?""Enggak, sudah punya karyawan baru, sepupumu Riki juga udah handal ngelola grosir Ayahmu" ucap Ibu."Kegeser dong Maya entar lagi dari Ahli waris." ucapku bercanda."Makanya, cepetan kasih Mam