Share

Hancur

  Hujan di luar terdengar semakin deras. Sesekali diikuti kilatan petir menggelegar. Seolah alam ikut merasakan kepedihanku. Kepedihan seorang istri yang didzolimi, dan tercerai-berai hatinya.

"Dua kali."

Dua kata yang telah diucapkan pelan oleh suamiku, bak tamparan keras yang menghujam ulu hati. Perih, sakit tak terkira. Bagaikan ribuan jarum yang menancap bersamaan tepat dihatiku.

"Astaghfirullahal adzim," lirihku.

Aku hanya bisa terus beristighfar untuk sedikit meredakan hati yang kini remuk redam.

Ingin rasanya memukul, menendang, tapi apalah daya. Justru aku luruh, lemas lunglai tak berdaya. Seluruh tubuhku bergetar hebat seolah tidak sanggup menerima dahsyatnya rasa sakit yang kini harus ku rasakan.

"Maafkan, Mas, Sayang. Maafkan. Mas khilaf, Dek."  Mas Fajar pun ikut menangis tergugu. Dia bahkan bersujud tepat di kakiku. Hingga kurasakan tetes demi tetes air matanya membasahi kakiku.

"Kenapa, Mas bisa setega dan sekejam ini padaku, Mas, kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa harus aku yang kamu sakiti Mas?" Aku terus meracau begitu lirih.

"Mas benar-benar tidak ada niat untuk berbuat zina, Dek, tapi ternyata mas kalah oleh hawa nafsu. Mas terlalu terbawa perasaan. Mas tidak bisa mengendalikan diri. Ternyata memang benar, kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Mas menyesal. Hari itu, ketika mas mau mengantar Rina pulang, entah kenapa pintu mobil depan sebelah kiri macet dan tidak bisa dibuka. Hingga mas menyuruh Rina untuk duduk di belakang saja. Ketika mas sedang fokus menyetir, samar-samar mas mendengar isakan. Ternyata di belakang Rina sedang menangis sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Mas merasa iba. Akhirnya mas menepikan mobil ke pinggir dan mas pindah ke belakang untuk menenangkannya. Mas mencoba memberikan air minum agar tangisnya segera reda. Mas bertanya kenapa dia menangis? Dan ternyata dia sedang ada dalam masalah rumah tangga. Dia kembali menangis. Mas mengusap kepalanya pelan. Tapi tak disangka dia memeluk mas. Dia menumpahkan tangisnya di dada mas. Mas tidak sanggup menghindar. Hingga beberapa saat tangisnya mulai kembali mereda. Dia sedikit menarik diri dari pelukan mas. Susana yang sepi karena lebatnya hujan yang turun, seolah menguatkan keadaan kami yang terbuai bisikan setan. Saat itulah kami tergoda rayuan setan. Kami khilaf. Kami terbuai oleh keadaan, sampai akhirnya berbuat nista," beber Mas Fajar panjang lebar.

"Kamu bilang khilaf, Mas? Khilaf itu satu kali. Kalau dua itu kali itu doyan. Kalian benar-benar mur*han. Kamu baj*ingan, m

Mas. Aku jijik sama kamu. Aku ga mau lihat wajah kamu lagi, Mas!" Emosiku kembali meledak bersamaan dengan tenagaku yang mulai kembali sedikit demi sedikit.

"Maafkan, Mas, Dek. Kamu boleh memaki Mas. Kamu boleh pukul Mas sesuka hatimu. Ayo pukul, Dek, ayo tampar Mas sekuat tenaga!" lanjutnya lagi sambil memegang tanganku dan memukul-mukulkannya ke pipinya.

"Percuma, Mas. Semua itu tak kan bisa mengobati hatiku. Hatiku hancur. Kepercayaanku hancur. Pernikahan ini hancur. Kamu menghancurkan semuanya, Mas." Aku terus berkata dengan deraian air mata yang tak kunjung mengering.

"Apa salahku padamu, Mas? Apa kekuranganku? Delapan tahun aku setia menemanimu dalam susah ataupun senang. Aku selalu menuruti keinginanmu bahkan saat kamu menyuruhku untuk berhenti kerja, dan fokus mengurus Putra. Padahal saat itu keuangan kita sedang sulit. Gajimu pun sangat minim, sehingga aku harus benar-benar hidup sederhana bahkan terkadang kekurangan. Tapi aku tetap menurutimu demi baktiku padamu, Mas.  Tapi ini balasanmu? Kamu benar-benar kejam."

"Mas tau Mas salah dek. Mas tau Mas sudah benar-benar melukai perasaanmu. Kamu boleh melakukan apapun pada Mas. Tapi, Mas mohon ampuni Mas," ucapnya tergugu sambil bersujud kembali di kakiku.

"Kamu bahkan sedikit pun tidak mengingat anak kita, Putra saat melakukan perbuatan terkutuk itu, Mas."

"Maafkan, Mas, Dek. Mas telah mengecewakanmu dan juga anak kita. Mas gagal jadi suami dan ayah yang baik. Mas janji akan memperbaiki semuanya. Mas janji akan membahagiakanmu dan Putra."

"Baik kalau begitu. Tolong ceraikan aku. Aku mau kita berpisah. Aku jijik sama kamu. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Aku tidak sudi mempunyai suami seorang pezina sepertimu. Mungkin dengan begitu, aku bisa kembali bahagia."

******

Tidak ada seorang pun wanita yang ingin disakiti. Percayalah, cinta sebesar apapun akan langsung hilang ketika dirinya dikhianati. Yang tertinggal hanyalah luka, dan juga kecewa.

Delapan tahun hidup bersama dalam suka dan duka, bukanlah waktu yang singkat dan sebentar. Banyak kenangan indah, tawa, ceria, juga air mata.

Tapi kini, ikatan suci itu hampir karam. Nahkoda yang dipercaya untuk memimpin pelayaran bahtera rumah tangga itu telah kalah. Kalah oleh keindahan dan kenikmatan sesaat yang justru mampu menenggelamkan dirinya juga semua yang ada didalamnya.

Dikhianati oleh lelaki bergelar suami yang dari awal diharapkan mampu menjaga dan melindunginya, itu sangat sangat menyakitkan. Tak jarang hampir semua wanita yang mengalaminya akan memilih untuk berpisah. Seperti halnya aku kini.

"Aku mau kita bercerai. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri pernikahan ini," ucapku sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi.

"Kamu boleh melakukan apapun pada Mas, Dek. Tapi tolong jangan meminta berpisah. Mas sangat menyayangimu juga Putra. Kalian sangat berharga dalam hidupku." Bahu mas Fajar berguncang hebat.

"Kamu ga mungkin mengkhianatiku kalau kamu menyayangiku, Mas? Kamu ga mungkin berkhianat kalau kamu menyayangi Putra?" teriakku.

"Pokoknya aku mau kita berpisah. Aku sudah jijik melihat kamu Mas, aku jijik," lanjutku penuh emosi.

"Kasian Putra, Dek. Tolong pikirkan perasaan dan masa depan Putra?"

"Apa kamu mikirin masa depan dan perasaan Putra saat kamu memilih untuk berkhianat, Mas? Apa kamu ingat dia? Tidak kan? Kamu yang sudah menghancurkan perasaan juga masa depan Putra. Pergi kamu, Mas, pergi." Aku terus meracau sambil mendorong tubuhnya.

"Pergi kamu, Mas, pergi, pergiiii. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi," teriakku sambil turun dari ranjang, melempar bantal dan apapun yang ada di dekatku.

"Maafkan Mas, Dek. Tolong maafkan, Mas." Bukannya pergi dia malah berlutut di kakiku dengan terus berderai air mata.

Lagi aku mendorongnya agar menjauh dariku.

"Jangan sentuh aku, Mas. Aku jijik. Tanganmu itu sudah menyentuh setiap inci tubuh wanita lain. Aku tidak sudi disentuh lagi oleh tangan kotormu itu, aku tidak sudi," teriakku semakin kencang.

Aku kembali luruh, kepalaku serasa limbung, pusing karena terlalu banyak menangis. Tubuhku merosot ke lantai dengan isak tangis  yang masih menemani.

Di sela isak tangisku yang mulai mereda, samar terdengar isakan lain di luar sana.

Aku mulai melangkah untuk membuka pintu kamarku dan membiarkan Mas Fajar masih dalam posisi berlutut.

Setelah kubuka, terlihat Putra sedang menangis, kedua kakinya ditekuk menopang kepalanya yang menunduk menahan tangis.

Aku lupa, di rumah ini bukan hanya aku dan Mas Fajar. Tapi juga ada Putra. Dia pasti terbangun karena teriakanku dan kegaduhan antara aku dan ayahnya.

Selama ini, aku dan mas Fajar tidak pernah bertengkar seperti ini. Kalaupun ada pertengkaran kecil, aku justru lebih memilih mendiamkan mas Fajar.

Ya, selama delapan tahun pernikahan. Mas Fajar jarang sekali membuat kesalahan. Makanya kami jarang bertengkar. Aku lebih memilih mendiamkannya saat dia melakukan kesalahan. Seperti kalau dia terlambat pulang, saat pulang lupa membawa pesananku, atau sekedar lama tidak membalas pesanku. Ya, sebatas itu.

"Putra, kamu kenapa, Sayang? Kamu kok bangun sih sayang, kan tadi sudah tidur?" tanyaku sambil berjongkok mensejajarkan wajahku dengannya.

"Bunda sama ayah kenapa? Kok, Ayah sama Bunda nangis? Putra juga denger Bunda tadi teriak-teriak." Putra malah balik bertanya.

"Bunda sama Ayah ga apa-apa kok sayang. Bobo lagi yuk, bunda temenin!" Aku berjalan menuntun lengan Putra menuju kamarnya dan meninggalkan Mas Fajar yang masih duduk mematung sendirian.

Naik ke tempat tidur, Putra merebahkan kembali badannya. Tidak lupa kuselimuti tubuhnya agar tak kedinginan. Aku pun ikut merebahkan tubuhku disisinya. Kupeluk dia, kutepuk-tepuk pelan tubuhnya agar ia cepat tertidur kembali.

Setelah beberapa menit, Putra sudah kembali terlelap. Saat ku pandangi wajahnya, hatiku kembali berdenyut nyeri. Memikirkan nasibnya ke depan andai aku dan mas Fajar sudah benar-benar berpisah. Apalagi Putra sangat dekat sekali dengan ayahnya itu. Tak pernah sedikitpun menyangka, kalau semua ini akan terjadi dalam hidupku dan anakku. Alloh, sungguh ini ujian terberat dalam hidupku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status