Hampir dua jam aku dan Mas Yanuar dicerca beberapa macam pertanyaan. Sesekali aku menangis karena teringat kejadian demi kejadian antara aku dan Angga beserta keluarganya. "Baiklah kalau Mbak Suci dan Mas Yanuar tetap pada pendiriannya, akan saya proses. Namun, sekali lagi saya ingatkan, andai nanti berhenti di tengah jalan maka itu semua bisa dikenakan denda. Paham?" tanyanya mengulangi lagi hingga tiga kali. Aku mengangguk lalu dia pun meneruskan tugasnya dengan menerima laporan kami. Ada sedikit rasa lega di dalam dada sini, semua telah aku pikirkan matang-matang. Andai Angga masuk jeruji besi, itu bukan karena sikap sombong dari diriku, tapi sekedar memberikan kejutan kecil atas sikap mereka. Karena diam tak selamanya menjadi emas. Adakalanya seekor semut itu menggigit lawannya yang tengah menyakiti berulang kali, bukan begitu pembaca? Kami pulang seusai memberikan penjelasan secara rinci kepada pihak berwajib. Meskipun ada sedikit rasa takut yang mencoba mengusik ketenangan j
"Kayak orang pintar saja bisa tahu, sudahlah tidak akan ada apa-apa. Mungkin mau berganti musim jadi ya seperti aneh cuaca malam ini." Ibu menjawab sebentar lalu meneruskan tugasnya. Aku keluar memandang langit yang menghitam, bulan dan bintang yang biasanya selalu menghiasi indahnya malam tidak muncul juga. Mungkin benar apa kata Ibu, jika pergantian musim akan terjadi. Musim penghujan yang selalu dinanti oleh para petani akan datang. "Agus!" teriak Ayah dari dalam rumah, sontak aku kaget dan berlari menuju ke dalam. Diri ini mematung kala melihat Mas Agus yang tiba-tiba kejang dengan mata melihat ke atas. Wajahnya pasi, sedang Ibu membuat aku seperti tak bertulang. Tubuh itu luruh ke lantai dengan pandangan kosong. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena pandangan mata ini tiba-tiba gelap.Suara orang mengaji terdengar sayup-sayup di telinga, serta aroma khas minyak aromaterapi begitu mencuat seiring dengan terbukanya mata ini perlahan. Tak ada suara, hanya air mata yang terus
Kutuntun Ibu yang memang berniat ingin mensucikan raga anak lelakinya tersebut. Banyak dari anggota keluarga meminta beliau untuk tidak melakukan ritual itu, tapi Ibu tetap bersikukuh untuk melakukannya. Tangisan kami pecah kala memandang wajah yang tengah tertidur pulas itu, tak bisa berdiri dengan tegak meskipun niat dalam hati begitu kuat. "Bawa Ibumu masuk, biarkan Ayah sama yang lain meneruskan ini! Masuklah, Bu!" bisik Ayah lembut. Ibu setengah berontak saat tubuhnya aku gandeng untuk masuk ke dalam rumah, tapi berbagai macam bujukan dari saudara membuat hatinya akhirnya melemah dan menurut. Alhasil, Ibu tergugu di dalam kamar ketika menanggalkan pakaiannya yang basah karena memandikan Mas Agus barusan."Ibu, minum dulu! Jangan membuat Suci bersedih, kita jangan terlalu larut dalam kesedihan ini. Yang Mas Agus harapkan adalah doa dari kita yang masih hidup, semangat, Bu, ada Suci!" bisikku dengan mencium pipi beliau yang masih basah karena air mata. "Ibu belum siap ditinggal
Iya, aku hamil, Bu." Diraihnya kembali tubuh ini untuk berada di pelukannya, tangis kami pecah. Hingga tak terdengar jika ada ketukan di pintu dan terbukalah lebar. Ayah memandang ke arah kami berdua yang saling berpelukan. "Ayo keluar, jenazah Agus sudah mau diberangkatkan! Ikhlas, ya, percayalah jika Agus akan bahagia dan tenang di alamnya sana," ujar Ayah dengan memalingkan muka secepat mungkin. Pundak yang kokoh itu ku pegang saat hendak membuka pintu kamar. Ayah lalu terdiam mematung tanpa menoleh. Aku tahu jika hatinya terluka dalam, tapi dengan pintarnya Ayah menyembunyikan itu semua dari kami. Ku peluk erat tubuh itu dan sedetik kemudian berguncang keras. Ayah menangis tanpa suara. Lelaki hebat di depanku ini sedang mengeluarkan rasa sesak dalam hati sama seperti apa yang kamu rasakan."Ayah, jangan sembunyikan luka ini sendiri, kami tahu Ayahlah yang paling sedih di sini dan tidak sepatutnya Ayah menyimpannya dalam. Masih ada aku, Ayah kuat." Sebelum mengangguk, Ayah mem
Mbak Tika menoleh dan mengajak keluar mengikuti jenazah mas Agus yang sudah keluar dari rumah. Tangis keluarga pecah, bahkan Ibu pingsan saat iring-iringan pelayat mengantar ke tempat peristirahatan terakhir. Tubuh ini terasa melayang tinggi, bagaikan kapas putih yang terbang ke langit biru. Pandangan pun tiba-tiba menjadi buram dan suara-suara orang yang berbicara semakin lama semakin hilang. Akhirnya akupun …. Wangi aromaterapi menusuk hidung, perlahan kubuka mata ini dan melihat Ibu yang duduk di sampingku berbaring mengelus lembut punggung tanganku berulang-ulang dengan pandangan kosong. Lagi-lagi aku harus merasakan duka yang mendalam, apalagi melihat orang yang aku sayang seperti tidak bergairah. Kupeluk tubuh Ibu, tangannya pun membelai lembut rambut ini lalu mengecup pelan. Kami sama-sama terbawa suasana hati yang tidak pernah sekalipun terlintas selama ini. Mas Agus yang aku pikir sehat-sehat saja selama ini justru dia berpulang terlebih dahulu dan tanpa diduga-duga. Takd
"Siapa yang bilang seperti itu, Mbak?" tanya Ayah dengan menoleh ke arah kami semua, aku dan Bude Kusrini saling pandang karena kaget dengan pertanyaannya barusan. Tidak kami sadari jika Ayah ternyata sudah pulang dari pemakaman dan mendengar apa yang tengah kami perbincangkan. Sungguh di luar dugaan. Namun, bukankah itu adalah sebuah kebaikan? Supaya Ayah tahu lagi perbuatan dari saudaranya tersebut meskipun itu sangat memalukan karena banyak keluarga dari pihak Ibu yang akhirnya tahu akan sifat Bi Salimah sekeluarga?Ah, entahlah, disini aku sendiri menjadi seseorang yang serba salah. Harus memberitahukan tabiat salah satu keluarga supaya keluarga lain melihat jelas dan menilai sendiri siapa mereka. Namun, itu justru akan membuat Ayah semakin terpojok karena ulah dari adiknya. Kalau hanya diam saja, nanti Ibu yang merasa sakit, seperti seolah tidak ada yang membelanya. Aku menunduk, mengikuti alur yang sedang berjalan seperti hembusan angin yang menerpa wajah."Tuh, adik kamu! Kal
"Bukan ulah kami, Mbah. Namun, sikap dari mereka yang tidak mencerminkan sebagai saudara. Maaf, jika saya mengambil keputusan ini, tapi sekali lagi saya ucapkan, tidak ada yang bisa lagi menghina keluarga kami. Saya tidak akan melepaskannya begitu saja, kecuali mereka meminta maaf kepada Ayah, Ibu juga Mas Agus," jawab Mas Yanuar yang membuat Bude Kusrini menyunggingkan senyum."Bagus, lelaki seperti ini yang saya mau. Lakukan apa yang menurutmu baik!" Bude Kusrini menepuk pundak Mas Yanuar dengan membusungkan dadanya. Wanita itu terlihat sumringah kala mendengar perkataan suamiku. Mbah Darma pun berlalu pulang tanpa lagi menoleh ke arah kami yang masih berdiri di tempatnya. "Sudahlah, persiapkan saja untuk tahlilan nanti malam, untuk masalah ini nggak usah dilanjutkan. Nanti setelah tujuh harinya Agus baru kamu kasih pelajaran mereka, Bude mendukung penuh. Jangan gentar jika benar, bukan begitu Budi?" ujar Bude Kusrini. Sedangkan yang ditanya hanya diam dan menggandeng tangan Ibu,
Seminggu berlalu semenjak kepergian Mas Agus untuk selamanya. Ada sesuatu yang kurang di rumah ini. Apalagi Ibu yang setiap pagi seusai mengerjakan tugasnya, kini menjadi melamun dengan duduk di tempat Mas Agus kala masih hidup. Sungguh pemandangan yang membuat diri ini ikut bersedih. Bagaimana tidak? Keseharian beliau yang memang selalu merawat anak lelakinya tersebut kini harus selesai dan itu menyisakan banyak kenangan yang harus dihapus dari ingatan. Mengikhlaskan adalah cara untuk meredakan rasa rindu yang membuncah ketika sepenggal kisah masa lalu terngiang diantara hari-hari yang kaki lewati.Dan, selama itulah Bi Salimah sekeluarga juga Lek Kandar tidak pernah bertatap muka dengan kami sekeluarga. Entahlah, jarak antara kami semakin membentang. Terlalu jauh untuk didekatkan dan terlalu sulit untuk dieratkan, meskipun ada dua yang terkadang menjadi tali itu sedikit baik. Namun, bukan pada keluarga kami.Aku duduk di teras rumah menikmati semilirnya angin yang menyapa dengan se